Home Teknologi Tancap Gas Teknologi Mobil Listrik

Tancap Gas Teknologi Mobil Listrik

Evolusi mesin dalam dunia otomotif berkembang cepat. Mesin berbahan bakar fosil mulai ditinggalkan karena boros dan merusak lingkungan. Namun, ekspansi mobil listrik global yang sedang naik daun terganggu oleh munculnya pandemi.

Imajinasi manusia berbuah kemajuan teknologi memang luar biasa. Tak ada yang menyangka, teknologi kendaraan berbahan bakar fosil dengan teknologi 2 tak, 4 tak, dan diesel yang terbilang sudah “final” masih membuka peluang hadirnya penemuan dan inovasi baru. Tengok saja mobil yang dirilis lima atau 10 tahun lalu, jika masih digunakan saat ini pasti masuk kategori ketinggalan zaman alias jadul. Kini, warga dunia mulai masuk pada era peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.

Beragam prediksi pun bermunculan, berupaya mengambarkan apa yang akan terjadi di masa depan, mobil jenis apa yang akan banyak dipakai. Salah satunya muncul dari studi dari Bloomberg New Energy Finance (BNEF), yang memprediksi jenis kendaraan pada 2040. Penelitian menyebut, di masa itu setengah dari total pasar otomotif dunia akan didominasi kendaraan listrik.

Praktis, angka penjualan diprediksi melonjak tajam dalam 20-an tahun ke depan. Meski penjualan pada 2017 baru menembus angka 1,1 juta unit, pada 2025 jumlahnya meningkat 10 kali lipat hingga 60 juta unit pada 2040. Penggunaan kendaraan listrik pada kendaraan umum pun makin berkembang merambah taksi, ride hailing, dan car sharing.Begitu juga dengan varian mobil listrik. Saat ini, bisa dikatakan baru ada sekitar 150-an model kendaraan listrik yang tersebar di seluruh dunia. Jumlahnya akan melonjak hingga 289 model pada 2022, dengan beberapa merek otomotif akan mengonversi beragam modelnya ke listrik pada 2025.

Perjalanan Teknologi Mesin Mobil

Industri otomotif dunia menunjukkan perkembangan pesat. Pabrikan besar sudah memulai misinya menemukan mobil yang bisa berjalan sendiri tanpa pengemudi, atau populer disebut mobil otonom, hingga mesin penggerak tenaga listrik. Teknologi transportasi roda empat bertransformasi dari sistem 2 tak, 4 tak, dan diesel yang mengandalkan internal combustion engine (ICE) alias pembakaran dalam. Sumber tenaga gerak berasal dari pengembangan gas panas bertekanan tinggi hasil campuran bahan bakar dan udara, berlangsung dalam ruang bakar.

Sosok terkenal dalam teknologi mesin 4 langkah yaitu Nikolaus August Otto, insinyur asal Jerman yang pada 1867 mengembangkan “siklus otto” empat langkah. Temuannya itu banyak digunakan dalam ragam kendaraan hingga saat ini. Sementara itu, mesin diesel muncul pada 1892 oleh insinyur Jerman lainnya, Rudolph Diesel. Dengan rancangan mesin yang lebih berat dibandingkan dengan mesin bensin, mesin diesel banyak diterapkan pada alat berat, lokomotif, dan mesin berkapasitas besar.

Seiring waktu, mesin dua tak mulai tidak lagi digunakan. Mesin ini dianggap tidak efisien dan memiliki emisi gas buang yang tinggi, tidak memenuhi standar Euro 2. Uni Eropa (European Union -EU) memiliki standar penggunaan teknologi transportasi ramah lingkungan sejak awal 1990 dengan mengeluarkan aturan yang mewajibkan penggunaan katalis pada mobil bensin, atau sering disebut standar Euro 1. Lalu bertahap memperketat menjadi standar Euro 2 (1996), Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009), dan Euro 6 (2014).

Mesin 4 tak kemudian berkembang dengan banyak konfigurasi. Setidaknya, ada lima konfigurasi. Di antaranya mesin segaris (inline), mesin V, mesin flat (boxer), mesin W, hingga mesin wangkel (rotary). Semuanya diciptakan demi menciptakan torsi, kecepatan dan efisiensi. Beragam jenis konfigurasi mesin 4 tak itulah yang paling populer dan banyak dikembangkan produsen kendaraan seperti Mercedes, Toyota, Honda, dan Ford dalam industri otomotif.

Lingkungan Memaksa Perubahan

Mesin pembakaran dalam, meskipun secara teknologi paling sempurna, masih menyisakan persoalan karena menghasilkan emisi gas buang yang berdampak buruk pada lingkungan, utamanya pencemaran udara. Gas buang dengan kombinasi karbon, timbal, diyakini berdampak buruk pada kesehatan manusia. Alasan lainnya, karena harga bahan bakar minyak dunia yang terus berfluktuasi.

Solusi yang diambil untuk terus menekan konsumsi dan gejolak harga bahan bakar dunia yakni menggunakan mobil hibrida. Dilansir dari dari Digital Trends, mobil ini dilengkapi dengan mesin penggerak elektrik dan mesin pembakaran internal yang bekerja sama menggerakkan mobil.

Mesin hibrida ini, sebagai sebuah inovasi otomotif, menyimpan berbagai kelebihan dibandingkan dengan mesin konvensional. Salah satunya irit bahan bakar minyak, rendah emisi gas buang, minim getaran mesin, hingga performa akselerasi yang impresif. Untuk teknologi ini, Toyota dapat dikatakan sebagai pelopor untuk urusan komersial. Pada 1997, Toyota meluncurkan mobil hibrida pertamanya, Toyota Prius, yang menghasilkan empat generasi. Teknologi hibrida ini kemudian dipasang di mobil Toyota lainnya, seperti Camry dan Alphard.

Namun di balik kelebihannya, ada kekurangan dari sisi ekonomis. Hibrida dipercaya merupakan teknologi transisi dari motor bakar ke mobil listrik, hingga kemudian tren penggunaannya akan turun seperti penggunaan mesin konvensional yang secara perlahan ditinggalkan. Apalagi, ada kesepakatan mengacu pada United Nation Convention on Climate Change (UNFCC) yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2015 silam. Setiap negara yang meratifikasi harus menurunkan emisi sampai 29% pada 2030.

Pada titik inilah kemudian tren kendaraan listrik mulai mendunia. Perkembangan industri baterai menjadi kunci. Industri otomotif berbasis tenaga listrik pun mulai bermunculan, dengan Cina sebagai negara dengan produksi baterai terbesar di dunia. Populasi kendaraan berbasis tenaga listrik menjadi semakin populer karena kesadaran lingkungan semakin tinggi.

Bagaimana tidak, mobil listrik diklaim bebas emisi karena tanpa pembakaran layaknya kendaraan berbasis bahan bakar fosil. Kendaraan ini juga bebas polusi suara, karena nyaris tidak ada suaranya ketika berjalan. Dari sisi pemenuhan kebutuhan bahan baku, jauh lebih efisien dibandingkan dengan mobil lainnya.

Tren global itu juga mulai masuk ke Indonesia. Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, tak menampik bahwa mobil listrik akan mendunia cepat atau lambat. Satu satunya yang menghalangi ekspansinya adalah pandemi covid-19. “Development mobil listrik memang agak tersendat,” katanya kepada GATRA REVIEW. Di Indonesia, ia melanjutkan, sah-sah saja jika ada yang mau masuk industri mobil listrik. Apalagi Indonesia punya target 20% pengguna mobil listrik pada 2025.

Tujuan pengadaan mobil listrik itu, menurutnya, harus dipahami seutuhnya, yakni mengejar efisiensi transportasi serta mereduksi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang mulai menipis. “Lagi pula mobil listrik memang tidak ada emisi, tapi itu yang jenis 100% plug-in hybrid electric vehicle. Yang masih hybrid, plug-in hybrid, masih ada emisi, yaitu baterai. Setelah dipakai, baterai ini jadi limbah beracun. Ini yang harus kita pikirkan,” katanya. Tak hanya itu, sumber utama pembangkit listrik juga harus diperhatikan. Jika masih menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, emisi masih tinggi. “Saya melihat ini rangkaian yang cukup kompleks. Perlu kerja luar biasa karena segmennya besar dari pembangkit, penggunaan, dan recycle baterai,” katanya.

Jika ditinjau dari cost structure, lanjut Yohannes, ongkos produksi transportasi listrik masih terbilang mahal. Biaya mesin pembakaran dalam mencapai US$15.000, sementara hybrid sebesar US$18.000 dan plug in hybrid sebesar US$23.000. Untuk mobil listrik murni membutuhkan hingga US$28.000 atau hampir dua kali lipatnya dibandingkan dengan mesin pembakaran dalam.

Toh, menurutnya, Indonesia punya peluang besar nan mewah karena punya sumber daya pembuatan baterai di dalam negeri, misalnya nikel dan kobalt. Tapi perlu kerja keras dan nilai investasi yang tidak sedikit, karena baterai khusus mobil listrik ini terbilang teknologi canggih. Perlu kerja sama dengan perusahaan besar yang memang membutuhkan baterai. “Jadi cost structure mobil listrik ini memang mahal, mudah-mudahan ditemukan teknologi luar biasa sehingga bisa bikin baterai agar kompetitif,” ujarnya.

Harapan itu tentu bukan pepesan kosong belaka, karena teknologi selalu mencari jalan keluarnya sendiri. Artinya, kisah pencarian teknologi transportasi listrik belum akan habis cerita. Suatu saat kelak bakal tercipta teknologi canggih yang selain ramah lingkungan juga ramah di kantong.

Sandika Prihatnala

1129