Pekanbaru, Gatra.com - Berkas Tim Kelompok Kerja Penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Pekebun di Provinsi Riau periode 12-18 Agustus 2020 itu cuma 13 lembar, itupun copian lusu.
Tapi kalau angka-angka pada lembaran lusu itu benar-benar dikaji, alamat segera membikin mata melotot. Sebab sebenarnya, harga beli TBS pekebun --- petani plasma dan swadaya --- sangat moncer kalau tidak dijejali oleh potongan-potongan tak lazim.
Misalnya begini; anggap saja harga Free On Board (FOB) Crude Palm Oil (CPO) Rp9.068,18 dan Kernel (Inti Sawit) Rp4.743,51. Rendemen --- kadar minyak --- CPO 0,2049 dan Kernel 0,0496. Ongkos angkut CPO ke pelabuhan dipatoklah Rp186,40 perkilogram.
Ini berarti, harga bersih CPO di pabrik adalah Rp8.881,78 dan Kernel Rp4.743,51. Tapi entah kenapa kemudian, perusahaan menambahkan biaya pemasaran CPO untuk dalam negeri sebesar Rp42,34 perkilogram, meski biaya pemasaran itu ada dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Pekebun.
Mau tak mau, harga bersih CPO di pabrik, menjadi Rp8.839,44. Padahal untuk menentukan harga TBS Pekebun menurut Permentan nomor 1 tahun 2018 tadi adalah gabungan dari hasil pengalian harga bersih masing-masing produk di pabrik, dengan rendemennya.
Itulah makanya, gara-gara dikurangi biaya pemasaran itu, harga TBS Pekebun hanya Rp2.046,48. Beda kalau ongkos pemasaran tadi tidak dibebankan kepada Pekebun, harga TBS yang bisa dinikmati masih di angka Rp2.055,15.
Ini baru hitung-hitungan pada CPO. Kalau diulik lebih jauh, masih ada sederet beban yang ditimpakan kepada Pekebun. Katakanlah biaya pengolahan TBS sebesar Rp123,39 perkilogram. Biaya penyusutan --- nilai ekonomis peralatan pabrik yang menyusut --- Rp32,49 perkilogram dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) Rp49,72 perkilogram.
Singkat cerita, setelah semua ongkos-ongkos tadi dikurangi, ketemulah harga beli TBS Pekebun Rp1.840,87.
Di hitungan kedua ini, muncul sederet pertanyaan; haruskah pekebun yang menanggung beban penyusutan pabrik? Sebab kalau dihitung-hitungan, potongan penyusutan dalam seminggu, mencapai Rp1,9 miliar. Jika begitu ceritanya, sama saja Pekebun yang punya pabrik itu.
Namun yang paling menjadi pertanyaan adalah beban untuk BOTL. Sebab di BOTL ini, ada ongkos-ongkos yang aneh.
Pada lampiran Permentan Nomor 1 Tahun 2020 tadi disebutkan bahwa poin-poin pengeluaran dalam BOTL tadi antara lain; Cost Of Money (bunga dan biaya bank, asuransi keamanan pengiriman uang) yang nilainya hingga 1,33 persen, penyusutan timbangan CPO dalam transportasi 0,30 persen serta kegiatan penetapan harga TBS, pembinaan pekebun dan kelembagaan Pekebun 1 persen.
Dari data Tim Pokja penetapan harga TBS Pekebun di Riau periode 12-18 Agustus 2020 disebutkan bahwa total TBS Petani yang dibeli adalah 59.357.264 kilogram.
TBS ini menghasilkan CPO sebanyak 8.863.080 kilogram dan Kernel 450.000 kilogram. Hitungan ini baru hanya dari 10 perusahaan yang bersepakat dalam penetapan harga TBS itu meski di Riau, ada sekitar 192 Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Nah, terkait ongkos BOTL tadi, kalau yang dipotong adalah Rp49,72 perkilogram TBS (2,63% x Harga TBS x Total TBS Pekebun yang dibeli 10 PKS), maka duit yang terkumpul sudah lebih dari Rp2,9 miliar seminggu. Kalau sebulan, angka ini membengkak menjadi Rp11,6 miliar.
Kalau satu persen saja dari harga TBS per mingguan penetapan harga TBS itu menjadi biaya pembinaan Pekebun dan kelembagaan Pekebun sesuai Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tadi, maka dalam sepekan, Pekebun dan lembaganya mendapat gelontoran duit Rp1,12 miliar atau Rp4,48 miliar dalam sebulan.
Celakanya, dari penelusuran Gatra.com, tidak sepeserpun duit ini mengalir ke Pekebun maupun kelembagaan Pekebun. Lalu di mana duit ini ngendon?
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, hanya bisa nyengir saat berbincang dengan Gatra.com terkait sengkarut penetapan harga TBS Pekebun itu, kemarin.
Bagi Gulat, Riau ketinggalan dalam regulasi perkelapasawitan khususnya soal regulasi yang terkait dengan kepentingan Petani. Provinsi lain yang luas kebun sawitnya hanya seperdelapan luas kebun sawit Riau, sudah punya Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur tataniaga TBS.
“Riau sebagai provinsi terluas kebun sawitnya di Indonesia --- mencapai 3,38 juta hektar. Angka ini setara dengan 20,68% dari 16,3 juta hektar luas kebun sawit di Indonesia --- belum punya Pergub tentang TBS. Mestinya, sejak Permentan 01 Tahun 2018 terbit, sudah harus ada Pergub sebagai turunan. Entah apalah kerja Gubernur dan Kepala Dinas Perkebunan sebelumnya,” Gulat ngedumel.
Kalau saja Pergub sudah ada sejak 2018 kata Gulat, alat kontrol penetapan harga TBS di Riau yang digelar saban sepekan, sudah ada. “Apkasindo berharap Riau segera menerbitkan Pergub Tataniaga TBS itu, biar pertanyaan-pertanyaan petani sawit yang mengelola 1,89 juta hektar (56%) kebun sawit di Riau tentang standar Penetapan Harga TBS dan kemana pemanfaatan dana potongan TBS seperti Dana BOTL, terjawab,” katanya.
Sebab kata Gulat, betapa besar beban yang ditanggung oleh Pekebun atas penjualan TBSnya, termasuklah itu potongan timbangan TBS Pekebun di PKS, khususnya PKS Komersial yang mencapai 12%.
Faktor koefisien cangkang hanya Rp10, itu pun hanya kesepakatan di bawah tangan lantaran Pergub belum ada. “Padahal saat ini harga jual cangkang cukup menggiurkan. Mencapai Rp850 perkilogram, hampir mendekati harga TBS,” katanya.
Lantaran itulah kemudian Gulat berharap semua pihak yang terkait dengan perkelapasawitan di Riau segera duduk bersama membahas tataniaga TBS itu.
“Ini sangat berbahaya jika dibiarkan terus. Kalau mau cepat, bandingkan saja Pergub Tataniaga TBS provinsi lain yang sudah ada. Intinya, dengan Pergub Tataniaga TBS akan jelas bagaimana perhitungan, tahapan penetapan harga TBS dan potongan-potongan yang mengurangi harga TBS Pekebun. Gubernur Riau harus bergerak cepat dan saya yakin Pak Gubernur Riau pasti berpihak kepada Pekebun. Apalagi saat ini semua terdampak Covid-19. Pekebun butuh perhatian serius pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan Tataniaga TBS yang sangat multy player effect itu,” ujar Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.
Di sisi lain, Ketua Komisi II DPRD Riau, Robin Hutagalung, meminta supaya BOTL segera dibuka lebar-lebar. “Bagaimana konstruksinya, bagaimana pemanfaatannya dan bagaimana pertanggungjawabannya, harus dijelaskan. Itu hasil keringat Pekebun, lho,” tegas Robin.
Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Riau, Dr. M. Nurul Huda, SH.,MH, malah menduga ada permainan oknum-oknum yang terlibat di dalamnya, “Ini bukan duit sedikit. Sangat berarti bagi para Pekebun. Saya minta ini segera dibuka dan diusut penggunaannya,” pinta Nurul.
Sayang, hingga berita ini dirilis, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) wilayah Riau maupun kepala Dinas Perkebunan Riau, belum juga menjawab pertanyaan tertulis yang dilayangkan Gatra.com.
Abdul Aziz