Jakarta, Gatra.com - Kendaraan listrik digadang menjadi kendaraan masa depan. Indonesia tengah membidik penggunaan mobil dan motor listrik beberapa tahun ke depan. Namun sosialisasi dan kampanye kendaraan listrik terhalang pandemi wabah corona. Padahal Presiden Joko Widodo belum lama ini sudah meneken perpres kendaraan listrik untuk menggenjot ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM) BPPT, Prof. Eniya Listiani Dewi mengatakan dengan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019, presiden berharap saat dibangun ibu kota baru sudah tersedia kendaraan listrik. Menurut Eniya, pemerintah sudah memiliki peta jalan percepatan kendaraan listrik termasuk charging station sampai tahun 2023 dimana unsur TKDN harus dipenuhi sebanyak 40%.
BPPT menurutnya akan terus mengawal pembangunan infrastruktur charging station berkolaborasi dengan PLN dan Pertamina. PLN berperan dalam penyediaan listrik dan Pertamina sebagai pendukung charging station yang disisipkan di lokasi-lokasi SPBU.
“Saat ini BPPT menekankan manufakturing charging station di PT Len. Saya minta Len dan PLN agar tidak tender untuk asing. Karena sesuai Perpres; PLN yang disupport Pertamina telah membuat roadmap. Tahun ini seharusnya ada 168 titik charging station untuk mobil. Tapi karena [virus] corona diperbaiki lagi targetnya,” ujarnya.
Eniya mengatakan dirinya telah meminta kepada PLN untuk membuat skema bisnis untuk lokasi charging station di SPBU Pertamina beserta lokasi khusus seperti: bandara, mall, kafe, serta tempat strategis lainnya yang zero emisi. “Konsep ini PLN belum mengerjakan ini tapi Pertamina sudah membuat feasibility study kalau misalnya ditaruh di SPBU juga tapi ada area khusus yang berbeda,” ucapnya.
BPPT menurutnya terus mendorong industri lokal agar bisa membuat charging station dimana PT Len Industri (Persero) menyanggupi TKDN sebesar 25-30%. Untuk memenuhi target di tahun 2023 dengan 40% TKDN dan menjamin pasar, pemerintah berencana untuk memberikan insentif khusus dan keringanan pajak.
“Sehingga secara harga kita akan bersaing dengan asing karena komponennya bisa dibuat di Indonesia. Masalah payment berapa harga listrik yang dikeluarkan sudah ada PLN yang biasa mengeluarkan tarif listrik yang [besarannya] masih digodok dan sebentar lagi keluar,” ucap peraih gelar Doctor of Engineering dari Universitas Waseda Tokyo itu kepada Gatra.com.
BPPT menurutnya sudah lebih awal membangun charging station yakni fast charging station 50 kW di kantor BPPT, Thamrin, Jakarta dan smart charging station 20 kW di B2TKE-BPPT Puspiptek, Tangerang Selatan. Selain itu juga dibangun di kantor PT Len. Pengoperasian itu menurutnya masih dalam tahap uji coba disebabkan fast charging yang baik itu berada dalam kapasitas 75 kW hingga 100 kW.
“Untuk di atas 75-100 kW kabelnya harus didinginkan karena dengan arus besar akan timbul panas. Untuk mencapai ultra fast charging yang 150 kW di satu lokasi satu colokan di Indonesia belum ada. Saya kasih target untuk di PT Len bisa 75 KW. BPPT bekerja sama dengan Len untuk transfer teknologinya,” ucapnya.
Terkait baterai lithium, BPPT mendukung hasil kerja tim riset yang berupaya mengembangkan lithium untuk fast charging tetapi untuk skala kecil menyuplai motor listrik Gesits. Meski demikian hingga 2023, pelaku industri masih diperbolehkan melakukan impor baterai dari luar meski harganya sangat mahal.
“Masih ditolerir impor tidak masalah sampai 2023 karena harganya 60%. Kalau dari bahan baku [baterai] kita sudah ada pabrik di Morowali untuk nikel. Paling tidak dari tingkat material dasar sudah mulai diolah ke material baterai. Tapi dari pabrik itu masih dikirim lagi ke Cina dan kembali lagi ke kita dalam bentuk baterai. Indonesia paling tidak berproses. Di BPPT targetnya di charging,” pungkas Eniya.
Reporter: Wahyu Wachid Anshory
Editor: Andhika Dinata