Peneliti BUMN: Kompetensi Komisaris BUMN belum Terpenuhi
OPINI
Oleh: Toto Pranoto (Peneliti BUMN Research Group LMUI)
Jakarta, Gatra.com - Perbincangan dan diskursus tentang fungsi dan efektivitas Dewan Komisaris dalam pengawasan BUMN ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Pemicunya tentu adalah perombakan masif yang dilakukan Menteri BUMN sejak awal jabatan atas jajaran Direksi dan Dekom BUMN. Terakhir tentu bom yang diledakan oleh Ombudsman terkait rangkap jabatan ASN dan TNI/Polri sebagai Dewan Komisaris BUMN. Disebutkan bahwa terdapat 397 Komisaris BUMN rangkap jabatan.
Seberapa penting sebenarnya fungsi Dewan Komisaris dalam struktur organisasi BUMN? Dalam UU No.19/2003 tentang BUMN pasal 31 disebutkan tugas Dekom adalah mengawasi kinerja Direksi dan memberikan nasehat kepada Direksi. Apabila arah perusahaan dianggap sudah bertentangan dengan target kinerja yang sudah ditetapkan, maka Dekom berhak menegur Direksi. Dekom juga memiliki hak mengusulkan pemecatan Direksi kepada RUPS apabila terjadi pelanggaran yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan hidup korporasi.
UU BUMN tidak mengatur kualifikasi anggota Dewan komisaris secara mendetail. Dalam pasal 28 UU BUMN disebutkan bahwa syarat Komisaris BUMN adalah memiliki integritas, dedikasi serta memahami masalah manajemen perusahaan. Dalam Permen BUMN No.PER 02/MBU/02/2015 barulah diatur persyaratan pengangkatan anggota Komisaris BUMN, diantaranya calon Komisaris BUMN adalah perorangan yang cakap, tidak sedang pailit, tidak pernah dihukum pidana yang merugikan keuangan negara, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha persero/perum dimana yang bersangkutan dicalonkan dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Diatur juga bahwa calon anggota Dekom bukan pengurus partai politik atau calon legislatif. Bakal calon Komisaris dari Kementrian teknis atau instansi pemerintah lain harus berdasarkan surat usulan dari instansi yang bersangkutan.
Untuk menjalankan tugasnya Dekom dibantu oleh beberapa Komite yang melakukan asistensi teknis terkait analisis kinerja korporasi dan direksi meliputi Komite Audit, Komite Nominasi & Remunerasi, Komite Pemantau Risiko. Komite ini sangat bermanfaat dalam memberikan asupan terkait tugas pengawasan Dewan Komisaris. Apalagi latar belakang anggota Dekom beragam. Dengan kelengkapan ini mestinya tidak ada alasan kalau kinerja pengawasan Dekom terhadap kinerja korporasi plat merah dan direksi menjadi lemah .
Temuan Ombudsman yang di rilis ke publik menyebutkan bahwa kinerja Dekom BUMN cenderung lemah karena alasan konflik kepentingan, masalah kompetensi, jual beli pengaruh dan transparansi penilaian. Bagaimana realitas di lapangan? Apakah penempatan ASN eselon 1 di BUMN strategis seperti PLN atau Pertamina potensial menimbulkan benturan kepentingan? Tentu saja Pemerintah berkepentingan menjaga kepentingannya di BUMN tersebut karena fungsinya bukan semata profit oriented, tetapi juga ada penugasan PSO untuk kepentingan publik . Menteri BUMN dalam beberapa hal juga melakukan tour of duty bagi eselon 2 Kementerian BUMN sebagai Komisaris/ Direksi di BUMN dengan tujuan memberikan “sense of business” kepada regulator supaya paham realitas di dunia usaha sehingga pembuatan kebijakan (policy making) tidak menimbulkan gap. Bagaimana menjaga kepentingan supaya peran Komisaris dari ASN tidak merugikan kepentingan kompetitor? Saya kira dalam iklim transparansi saat ini dan berfungsinya lembaga pengawas seperti Ombudsman atau KPPU dapat menjaga netralitas.
Masalah kompetensi Komisaris BUMN memang masih merupakan momok yang harus diselesaikan. Bukan rahasia umum banyak kualifikasi komisaris ideal yang belum terpenuhi terutama terkait kompetensi dasar pengawasan dan pemahaman atas bisnis BUMN yang diawasi. Sebaiknya ke depan rekrutmen calon Dewan Komisaris BUMN harus mengikuti tahapan asesmen (fit & proper test) seperti yang sudah dijalankan untuk pemilihan calon Direksi BUMN.
Terkait jual beli pengaruh, apakah dikaitkan dengan profil Dekom yang berasal dari latar belakang partai politik? Menurut saya sepanjang calon tersebut memiliki komitmen untuk non aktif dari kegiatan politik partai dan yang bersangkutan dianggap kompeten dalam bidang pengawasan BUMN, maka sah saja calon tersebut bisa direkrut sebagai Komisaris BUMN. Kecuali setelah pengangkatan sebagai Komisaris BUMN ternyata yang bersangkutan masih aktif dalam kegiatan politik/partai , maka Komisaris tersebut bisa diberhentikan karena melanggar aturan yang berlaku. Apakah pemegang saham mayoritas mampu menegakkan aturan tersebut? Mudah-mudahan dapat terwujud dengan monitoring ketat dari publik .
Penilaian kinerja Dewan Komisaris dilakukan oleh pemegang saham dalam forum RUPS . Biasanya pertanggungjawaban Dekom dilakukan secara kolegial. Sesuai praktik GCG maka setiap anggota Dekom harus mengisi tingkat kehadiran dalam rapat regular maupun rapat luar biasa. Ada batas berapa banyak anggota Dekom boleh bolos rapat atau kunjungan pengawasan lapangan. Jadi aturan ini bukan formalitas tetapi kewajiban yang harus dipenuhi. Kalau kinerja anggota Dekom tidak mampu memenuhi batas minimal kewajiban yang diatur, maka RUPS boleh memecat anggota Dekom tersebut. Apakah pernah ada kejadian seperti itu? Saya belum pernah mendengarnya. Entah karena alasan “ewuh pakewuh” atau alasan lain. Ke depan dengan tantangan tanggung jawab Dekom yang semakin besar maka Pemerintah sebagai pemegang saham terbesar di BUMN wajib mengevaluasi kinerja Dekom dengan lebih tegas.
Kekuatan korporasi milik negara tentu tidak hanya ditentukan oleh karakter Dekom atau direksinya, tetapi juga harus tercermin dari kekuatan kelembagaannya. Disini penting dicanangkan konsistensi dalam penegakan implementasi tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Riset dalam ASEAN GCG Scorecard beberapa tahun lalu menunjukkan kelemahan korporasi Indonesia terutama pada pilar Disclosure dan Transparancy. Yaiut masih terbatasnya jumlah komisaris independen, kurangnya tenaga ahli independen di Komite Nominasi dan Remunerasi, pemilihan BOC dan BOD dianggap masih memiliki kelemahan, lemahnya disclosure atas insider trading, serta kelemahan pada disclosure konstitusi perusahaan. Padahal beberapa penelitian, seperti yang dilakukan Abravanel (2006) menunjukan perusahaan publik yang menerapkan GCG dengan baik akan mendapatkan harga premium dari investor sampai dengan 20%. Jadi pembenahan karakter profil Dewan Komisaris BUMN harus seiring juga dengan perbaikan kualitas kelembagaannya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Lets do it.