Jakarta, Gatra.com - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan kebali menggelar sidang perkara gugatan atas Surat Presiden (Supres) Joko Widodo (Jokowi) tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Selasa 25 Agustus atau pekan depan.
PTUN Jakarta menetapkan sidang dilanjutkan pada Selasa mendatang setelah pada sidang Selasa (18/8), hanya memeriksa satu orang saksi fakta yang diajukan YLBHI, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KASBI), dan Merah Johansyah selaku penggugat.
Pada persidangan kemarin, penggugat menghadirkan satu orang saksi fakta yakni Ketua Umum (Ketum) Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi), Nining Elitos. Adapun total saksi fakta yang diajukan rencananya sebanyak 4 orang.
Majelis hakim menetapkan agar hasil sidang tidak bisa dipublikasikan karena saksi fakta belum semuanya didengarkan keterangannya di persidangan. Ini agar para saksi tidak saling mengetahui keterangan saksi lain.
Perkara ini bergulir di PTUN Jakarta setelah para penggugat mendaftarkan permohonan dengan Nomor 97/G/2020/PTUN. JKT. Sidang perdana digelar pada Selasa (18/8).
Direktur YLBHI, Asfinawati, kepada wartawan menyampaikan, pihaknya menilai bahwa terjadi pelanggaran prosedur dan substansi dalam penyusunan RUU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah.
Secara prosedur, pemerintah tidak terbuka dan tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini. Kemudian, mengabaikan prinsip yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Para penggugat menilai bahwa keterlibatan para pengusaha sangat besar dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini. Atas dasar itu, para pemohon seperti dalam laman sipp.ptun.jakarta.go.id, meminta majelis hakim mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.
Kemudian, menyatakan batal atau tidak sah surat presiden Republik Indonesia kepada Ketua DPR RI yang disampaikan pada 12 Februari 2020 perihal penyerahan kewenangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang disertai dengan penunjukan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
Selanjutnya, mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang disampaikan pada 12 Februari 2020 tersebut.
"Menghukum para tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini," demikian permohonan para pemohon di laman tersebut.