Jakarta, Gatra.com – Rencana Kementerian Pertahanan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan program pendidikan militer dan bela negara dalam kurikulum perguruan tinggi berujung polemik. Beberapa kalangan menentang gagasan tersebut karena dinilai “memiliterkan” perguruan tinggi.
Pro kontra perlu tidaknya pendidikan bela negara di kampus juga mendapat tanggapan dari legislatif. Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan konstitusi memang mengamanatkan bela negara sebagai hak dan kewajiban setiap warga negara. Dalam upaya itu negara memfasilitasi warganya yang ingin turut serta dalam usaha pembelaan negara.
“Bela negara ini bisa berbentuk Pendidikan Kewarganegaraan, pelatihan dasar militer sebagai calon komponen cadangan, pengabdian sebagai anggota TNI atau pengabdian sesuai profesi. Pendidikan kewarganegaraan ini berbentuk Pendidikan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang dapat dilakukan dalam lingkup dunia Pendidikan, masyarakat dan dunia pekerjaan,” ujar Sukamta dalam keterangannya kepada Gatra.com, Selasa (18/8).
Dalam konteks tersebut, terang Sukamta, penyelenggaraan program bela negara di lingkungan perguruan tinggi memang diperlukan, tapi bukan berbentuk pendidikan militer. “Karena pendidikan militer itu hanya wajib bagi warga yang lulus seleksi awal komponen cadangan. Untuk mendaftar menjadi komponen cadangan sendiri sifatnya sukarela. Pemaksaan di sini bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia,” katanya.
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Polhukam itu menambahkan dalam UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) diatur soal komponen pendukung dan komponen cadangan. Pada pasal 17 disebutkan bahwa komponen pendukung itu bersifat sukarela. Demikian juga padal pasal 28, diatur bahwa komponen cadangan juga bersifat sukarela.
“Artinya, tidak ada wajib militer di sini. Bagi perguruan tinggi dipersilakan untuk menyelenggarakan PKBN atau tidak. Jika kampus ingin menyelenggarakan, bisa misalnya dengan menghidupkan kembali mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan modifikasi program sedemikian rupa tidak hanya teori tatap muka di kelas, bisa dikombinasi dengan pendidikan outdoor misalnya. Tapi juga bukan berbentuk pendidikan militer karena bukan dilakukan dalam rangka mencetak para kombatan,” ujarnya.
Doktor lulusan Manchester Inggris itu menjelaskan bahwa ancaman negara sekarang tidak hanya berbentuk ancaman militer tetapi juga ancaman ekonomi, ideologi, wabah penyakit, siber, dan seterusnya. “Program bela negara tidak selalu dilakukan untuk mencetak para kombatan, tapi juga untuk mencetak generasi bangsa yang tangguh yang siap bela negara dengan bidang keahliannya masing-masing,” katanya.
Yang terpenting, terang Sukamta, adalah negara mampu menumbuhkan kesadaran mahasiswa untuk hidup berbangsa dan bernegara serta menanamkan nilai-nilai dasar bela negara yang meliputi cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, setia pada Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara serta punya kemampuan awal bela negara.
“Dari sini kita harapkan akan terbentuk generasi muda penerus bangsa yang tangguh dan siap membela negara dalam berbagai bidang dan spektrum yang luas. Entah berkorelasi langsung atau tidak, semoga program bela negara ini bisa menyumbang peningkatan kualitas HDI (indeks pembangunan manusia) bangsa Indonesia sehingga kita mnejadi bansga yang semakin kuat dan mandiri,” tutup wakil rakyat Dapil Yogyakarta itu.