Lebanon mengalami krisis politik dan ekonomi pasca-ledakan Pelabuhan Beirut. Kabinet runtuh dan ekonomi bangkrut. Negara donor lebih memilih lembaga di luar kendali pemerintah untuk menyalurkan bantuan.
Ledakan di pelabuhan Beirut menelanjangi Lebanon. Negara bekas jajahan Prancis ini tiba-tiba menjadi sorotan dunia. Semua persoalan rumit di negara yang dihancurkan perang saudara ini, menjadi konsumsi global. Tidak ada lagi yang menutupi krisis ekonomi dan politik negara itu. Terbenam dalam utang miliaran dolar dan sistem politik yang rapuh.
Gelombang protes usai ledakan 2.700 ton amonium nitrat di pelabuhan Beirut, berhasil mendorong kabinet Perdana Menteri Hasan Diab mundur. Presiden Michael Aoun menerima pengunduran diri itu, tetapi meminta kabinet tetap menjalankan pemerintahan sebagai pelaksana tugas sampai kabinet baru terpilih.
Kabinet Diab memang gagal mencegah bencana itu. Namun yang lebih krusial, mereka dianggap tidak mampu lagi mengangkat negara itu dari kubangan krisis ekonomi.
Kabinet itu mengawali kerjanya dengan harapan tinggi pada Januari tahun ini. Diab seorang akedemisi senior. Kabinetnya didominasi teknokrat yang digambarkan bakal mampu mencegah keruntuhan ekonomi skala penuh, kerusakan warisan dari banyak pemerintahan sebelumnya.
Dalam waktu singkat, kabinet baru harus menerima realitas bahwa negara itu sudah bangkrut. Kebiasaan membiayai defisit dengan utang, menjadikan Lebanon sebagai negara debitur terbesar ketiga dunia dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 178%.
Ujian pertama datang pada Maret, saat obligasi sebesar US$30 miliar jatuh tempo. Pemerintahan Diab gagal membayar. Mereka kemudian meminta talangan dari IMF (International Monetary Fund) sebesar US$10 miliar.
Upaya negosiasi dengan pemilik dana buntu. Gagal negosiasi dan terkunci dari pasar utang internasional, bank sentral mulai mencetak uang secara serampangan untuk membiayai pengeluaran negara. Akibatnya, nilai pound Lebanon ambruk dan inflasi melambung.
"Kami berada di jalur yang sama seperti Venezuela," kata Nasser Saidi, mantan Menkeu Lebanon kepada laman Bloomberg, pekan lalu. Venezuela mengalami kehancuran ekonomi yang sangat akut.
Harga-harga di negara yang sangat tergantung pada impor ini, termasuk bahan pangan, sudah naik hingga 250% dalam satu tahun terakhir. Ledakan di Pelabuhan Beirut dipastikan membuat harga-harga akan makin menggila. Apalagi infrastruktur pelabuhan ikut hancur, sehingga Saidi memprediksi impor akan anjlok hingga 70% tahun ini. Pada 12 Agustus lalu, Presiden Lebanon menyebut bahwa ledakan itu menimbulkan kerugian hingga US$15 miliar atau 28% dari PDB tahun lalu.
Namun rakyat Lebanon menyadari kebinet ini bukan satu-satunya yang harus disalahkan. "Setiap orang yang bertanggung jawab atas bencana ini harus dihukum, tidak hanya pemerintah ini. Mereka hanya memerintah negara selama sembilan bulan. Bagaimana kita bisa menyalahkan mereka?" tutur Hassan Hammoud, seorang pemilik restoran berusia 45 tahun mengatakan kepada Wall Street Journal. "Harus seluruh rezim, seluruh sistem."
***
Negara yang remuk redam akibat perang sipil hingga 1990 itu, berjalan dengan sistem politik yang rapuh dan sektarian. Presiden harus dari Kristen Maronit, Perdana Menteri harus Muslim Sunni, dan Ketua Parlemen Muslim Syiah. Sistem ini nyatanya melumpuhkan negeri itu, sedangkan para pemimpin sektarian justru berhasil membentuk wilayah kekuasaan efektif dan mengarahkan sumber daya yang dimiliki kepada konstituen dengan imbalan suara serta kesetiaan.
Para politisi lebih banyak bertengkar sesama mereka. Ada saja yang diributkan. Mulai dari soal di mana pembangkit listrik akan dibangun, sampai di mana sampah dibuang. Namun mereka tidak peduli lampu lalu lintas hanya sesekali hidup dan lampu jalanan tidak pernah dimatikan.
Sistem yang koruptif seperti itu, membuat negara-negara donor enggan memercayakan bantuannya lewat pemerintah. Untuk memastikan bantuan kemanusiaan menyentuh mereka yang paling membutuhkan dan tidak masuk kantong para politisi beserta kroninya, negara donor memutuskan menyalurkannya lewat lembaga amal swasta serta lembaga bantuan internasional.
Hingga pekan lalu negara-negara donor sudah berkomitmen membantu hingga US$300 juta. Bantuan itu digalang langsung Presiden Prancis, Emmanuel Macron, pada 9 Agustus lalu. Hanya sepersekian dari biaya yang diperlukan untuk membangun kembali kota dan pelabuhan.
Macron menjadi pemimpin asing pertama yang menjenguk Beirut dan meninjau langsung pusat ledakan. Di tempat itu, ia menyampaikan pesan tegas kepada para pemimpin politik agar membuat kontrak sosial baru. Perubahan spesifik akan membuka pintu bagi miliaran dolar dari negara donor.
Ini bukan yang pertama negara-negara dunia mencoba menyelamatkan Lebanon. Pada 2018, dalam sebuah pertemuan di Paris, menghasilkan komitmen bantuan hingga US$11 miliar. Syaratnya, dana akan dikucurkan jika ada perubahan-perubahan mendasar. Sayangnya para politisi mengabaikan permintaan itu.
Dalam pandangan The Jerusalem Post, bantuan ke Beirut juga menjadi instrumen negara-negara donor untuk mendapatkan prestise dan pengaruh. Misalnya Rusia, Turki, Qatar, Iran, UEA, dan Arab Saudi, ingin menunjukkan kemampuan mereka serta menunjukkan dukungan kepada pendukung mereka di Lebanon.
Beberapa negara juga ingin mendukung agama minoritas di Lebanon, seperti hubungan Armenia dengan komunitas Armenia. Iran memainkan peran kunci mendukung Hizbullah, sedangkan Prancis memiliki hubungan yang lama dengan orang Kristen di Lebanon.
Turki ingin menumbuhkan pengaruhnya di Lebanon untuk menggantikan Arab Saudi. Bantuan cepat Rusia dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka menggantikan AS sebagai negara di kawasan yang dapat memberikan dukungan dan keahlian. Bantuan tidak hanya untuk menunjukkan dukungan, tetapi juga mencoba menyusun narasi dan masa depan Lebanon.
Hizbullah yang didukung Iran, merupakan kekuatan politik penting di Lebanon. Milisi yang kabarnya lebih kuat dari tentara Lebanon ini, dikritik menjalankan sistem negara dalam negara. Bahkan kini ada tudingan bahwa Hizbullah bertanggung jawab atas serangan itu. Jauh-hauh hari, kelompok yang menyatakan diri sebagai musuh Israel itu menegaskan, tidak tahu-menahu soal itu. Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah berseloroh, ia lebih mengenal Pelabuhan Haifa Israel daripada Pelabuhan Beirut.
Rosyid
Lembar Fakta
Lebanon
Lebanon menjadi titik silang beragam peradaban dari Timur dan Barat sepanjang sejarah, menghasilkan keragaman budaya yang unik. Berikut beberapa fakta tentang Lebanon yang merdeka dari Prancis pada 1943:
1. Negara terkecil di Timur Tengah setelah Bahrain
Luas sekitar 4.036 mil persegi, sedikit lebih kecil dari Timor Leste. Negara kelima lebih kecil di Asia, unggul dari Maldives, Singapura, Brunei Darussalam, dan Bahrain.
2. Penghasil wine lezat
Lembah Bekaa dan jalan menuju Baalbek dipenuhi ladang anggur dan pabrik wine. Kawasan ini sudah ribuan tahun menjadi pengghasil wine yang lezat.
3. Kaya peninggalan Romawi
Lebanon menjadi salah satu situs paling kaya dengan artefak peninggalan Romawi. Salah satu peninggalannya, yaitu Kota Byblos, sekitar 30 kilometer di utara Beirut. Sebelum kaum Roma, kota ini menjadi rumah kaum Phonecia. Hingga kini, kota ini diklaim sebagai salah satu wilayah tertua yang ditinggali terus-menerus di muka bumi. Artinya, kota ini sudah eksis sejak 8.800 tahun sebelum Masehi.
4. Pantai indah Beirut
Ibu Kota Lebanon ini, diklaim punya pantai indah. Salah satu yang terindah di tepi Laut Mediterania. Setara dengan Cannes, St Tropez, dan Valencia.
Sumber: The Telegraph