Cilacap, Gatra.com – Dalam lembar sejarah kemerdekaan RI, Yogyakarta pernah dua kali menjadi ibu kota negara yang masih berusia sangat muda. Penyebabnya adalah pendudukan Belanda atas ibu kota negara, Jakarta, pada 1946 dan 1949.
Pemindahan ibu kota tentu saja tak sekadar pemindahan para pemimpin negara. Selain petinggi, tentu dokumen-dokumen rahasia dan penting negara pun turut serta dipindah. Pada masa itu, transportasi masih jadi barang langka. Sementara, pemindahan dokumen itu harus dilakukan diam-diam.
Mengetahui kesulitan itu, seorang pengusaha keturunan Tionghoa di Majenang Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Oey Kim Tjin, pemilik usaha armada transportasi EMTO merelakan sejumlah armadanya digunakan untuk mengangkut dokumen penting negara tersebut. Oey Kim Tjin sendiri memiliki armada bekas kendaraan tempur semenjak sebelum kemerdekaan RI.
“Nama awalnya EMTO, kemudian berubah menjadi GS EMTO. Itu terlibat dalam pemindahan dokumen negara,” kata Cucu Oey Kim Tjin yang kini mendiami rumah peninggalan kakeknya, Yoseph Budhi Wiharja.
Dari cerita kakeknya, kala itu armadanya tak dibayar. Dokumen dipindah dari Jakarta menuju Yogyakarta yang memang merupakan jalur distribusi barang dagangan Oey Kim Tjin.
“Ada yang memakai kereta, ada juga yang dengan truknya kakek saya,” ucapnya.
Menurut dia, kakeknya sebelumnya adalah seorang pengusaha hasil bumi. Cengkih, pala, merica, dan berbagai hasil pertanian itu dikirim ke Bandung dan Jakarta. Sementara, dari Jakarta dan Bandung, ia membawa pakaian, lampu, barang keperluan rumah tangga, dan barang dagangan lainnya.
Kepemilikan kendaraan itu juga tak lepas dari masa pendudukan Belanda. Oey Kim Tjin dipercaya pemerintah kolonial untuk mendistribusikan logistik untuk markas-markas Belanda di sisi Jawa selatan. Kendaraan tersebut merupakan kendaraan tempur yang diubah sesuai dengan kebutuhan, sebagai alat angkut barang sipil.
“Tapi kakek saya ibaratnya berkhianat kepada Belanda. Logistik itu banyak yang diselundupkan untuk para pejuang,” ujarnya.
Pada masa kemerdekaan, Oey Kim Tjin mendapatkan dua bintang jasa. Pertama adalah dari Legiun Veteran Republik Indonesia. Penghargaan kedua dari Presiden RI pertama, Sukarno. Hingga saat ini, armada tersebut masih ada, meski sudah berganti nama dan kendaraan, yakni ESTU.
“Kalau kendaraan tuanya sudah punah semua. Sayang sekali. Di sini pernah dibakar. Yang ketinggalan cuma roda pedati dan delman,” ujarnya.