Kesiapan infrastruktur menjadi syarat mutlak bagi Indonesia menyongsong kehadiran mobil listrik. Pemerintah menargetkan sebanyak 1.000 unit SPKLU tersedia pada 2023. Kolaborasi lintas instansi dan BUMN diperlukan untuk mendorong pelaksanaan. Sejauh apa peran swasta berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur kendaraan listrik?
Implementasi mobil listrik harus didukung kesiapan infrastruktur. Hal itu dicontoh dari Jepang yang terlebih dulu menyiapkan stasiun pengisian daya sebelum penggunaan mobil listrik skala besar. Komponen infrastruktur yang dimaksud yakni Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Tak hanya itu produksi baterai lithium juga penting disiapkan sebagai komponen utama mobil listrik.
Mengenai infrastruktur stasiun pengisian daya, PLN telah menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan pasokan listrik untuk mobil listrik nasional. PLN sebelumnya berpengalaman mendistribusikan fasilitas kelistrikan untuk transportasi massal kereta listrik. Selanjutnya pemerintah ikut mendorong pihak swasta berinvestasi dalam pembangunan SPKLU.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) tengah menyiapkan aturan turunan dari Perpres Nomor 55 Tahun 2019. Tak hanya itu, Kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan itu juga tengah menyusun peta jalan pengembangan infrastruktur kendaraan listrik nasional.
Asisten Deputi Industri Penunjang Infrastruktur, Kemenko Marves, Firdaus Manti mengatakan terdapat beberapa poin yang dibahas di dalam roadmap kendaraan listrik. Di antaranya pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) atau charging station, dan juga sistem swab baterai kendaraan listrik.
“Tujuannya memetakan kebutuhan SPKLU dan pengembangan charging station-nya, baik untuk R4 (kendaraan roda empat) maupun R2 (kendaraan roda dua),” ujar Firdaus ketika dihubungi GATRA review pada 5 Juli 2020.
Firdaus menjelaskan dalam roadmap kendaraan listrik, pemerintah memperkirakan kebutuhan sebanyak 390 SPKLU tahun 2021, 600 SPKLU tahun 2022, dan 1.000 SPKLU tahun 2023. Perkiraan kebutuhan SPKLU itu didasarkan perkembangan jumlah kendaraan listrik yang mengaspal tiap tahunnya. Dan juga estimasi dari lokasi SPKLU terbangun di POM bensin, rest area, jalan tol, bandara, pelabuhan, universitas, tempat pariwisata, mall, dan tempat umum lainnya.
Sementara itu dalam pembangunan charging station, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggandeng PT Len Industri (Persero) dan PT PLN (Persero). Angka kebutuhan itu menurutnya masih berupa kalkulasi yang perlu dimatangkan.
Diketahui sejak 2019, Indonesia telah menyediakan sebanyak 9 SPKLU yang tersebar di empat kota besar yakni Jakarta, Tangerang, Bandung, dan Bali. Hampir seluruh SPKLU tersebut berjenis normal charging, kecuali SPKLU yang tersedia di kantor-kantor PLN. “Tahun ini di 2020, PLN merencanakan 168 SPKLU. Sedangkan tahun 2022 sampai 2024 mencapai 1.558 SPKLU,” ujarnya.
Selain menggandeng PT Len Industri (Persero) dan PLN untuk membangun infrastruktur SPKLU, pemerintah juga mengajak pelaku usaha bekerja sama membangun fasilitas penggantian baterai atau swab battery. Sebab menurutnya penyediaan fasilitas penggantian baterai murni urusan bisnis antara pemerintah dan pelaku usaha.
“Roadmap lebih ke arah peta jalan pengembangan teknologi dan industri. Kalau untuk insentif tarif listrik dan lain-lain diatur dalam Permen ESDM & PMK. Standarisasi dalam bentuk SNI sedang disusun BSN,” sambungnya.
Dengan dibangunnya infrastruktur dan baterai kendaraan listrik di dalam negeri, ia berkeyakinan Indonesia akan mandiri. “Indonesia bisa menjadi pemain global supply chain komponen utama seperti baterai karena Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti nikel (nikel sulfat), mangan dan lain-lain, yang merupakan bahan baku cathode untuk baterai kendaraan listrik,” tutup Firdaus.
Gebrakan Swasta Bangun SPLU Mandiri
Salah satu pihak swasta yang menyatakan komitmen terhadap penggunaan mobil listrik yakni Bluebird. Bluebird Group berencana mengoperasikan 200 unit mobil listrik hingga 2020. Sejak April tahun lalu, armada taksi biru telah mengoperasikan mobil listrik. Meski sudah melayani 25 mobil untuk Bluebird dan 5 mobil untuk Silverbird, kenyataannya penggunaan mobil listrik tidak mudah.
“Syarat pertama, sesuai apa yang kita sampaikan saat itu bahwa ini masih bagian dari R&D Bluebird. Karena secara operasional lebih efisien operational cost-nya, tetapi biaya akuisisi asetnya kan jauh lebih mahal. Di samping itu kita juga harus membangun charging station sendiri. Nah itu kendala utama dari investasi yang terlalu besar,” ucap Direktur Bluebird, Adrianto Djokosoetono saat dihubungi wartawan GATRA review M. Guruh Nuary.
Pihak Bluebird menyatakan pemberlakuan mobil listrik merupakan strategi bisnis perusahaan untuk mengikuti perkembangan zaman. “Sesuai amanah perusahaan bahwa kita perlu berinovasi dan berkontribusi lebih dari sekedar perusahaan transportasi. Karena kita yakin bisa menjadi katalis dalam hal ini. Karena kita punya skala dan kemampuan untuk melakukan riset, mudah-mudahan kita yakin ini berhasil mendorong kendaraan listrik sebagai pilihan masyarakat,” katanya.
Armada Bluebird, terang Adrianto, saat ini sudah mempunyai 14 charging station yang salah satunya dipasang di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. “Kita tidak berbasis SPLU jadi memang [terpasangnya] di kantor kita. Kita punya total 14 charging station dan satu kita alokasikan khusus di Airport Soetta karena Bluebird dan Silverbird juga melayani airport,” kata Adrianto.
Sejatinya Bluebird telah mematok target untuk meluncurkan 200 taksi listrik tahun ini. Akan tetapi pandemi yang belum berakhir, menjadikan rencana tersebut dievaluasi. “Kita belum bisa putuskan lagi bagaimana karena kita tetap harus recover setelah pandemi Covid-19 ini. Karena tadi kembali lagi, itu masih merupakan R&D kita,” ujarnya.
Guru Besar Teknik Universitas Indonesia (UI), Prof. Danordono Agus Sumarsono berpendapat pemerintah harus menyiapkan beberapa terobosan untuk mengebut infrastruktur kendaraan listrik. “Memang pemerintah harus siap-siap untuk itu, kita harus mempersiapkan antara lain kemampuan pembangkit listrik itu sendiri yang bisa mencukupi sejumlah kebutuhan listrik yang besar,” katanya.
Dirinya mengatakan kendaraan listrik harus segera diwujudkan mulai dari sistem transportasi remote seperti bus TransJakarta, kereta api, dan taksi. Tak hanya itu, pemerintah menurutnya juga harus memantik kesadaran masyarakat dengan memberikan edukasi akan pentingnya mobil listrik.
“Masyarakat harus kita berikan pembelajaran bahwa suatu saat mesin mobil bahan bakar itu di samping sudah habis juga merusak lingkungan. Diharapkan nanti itu sumber pembangkitnya tidak lagi dari fosil tetapi dicari sumber-sumber yang sustainable,” ucapnya.
Dosen Teknik Mesin UI itu mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber daya dan kekayaan alam yang besar. “Tinggal sumbernya dari mana seperti baterai kebetulan sumber daya alam kita besar, apakah suplainya akan mencukupi. Yang namanya kendaraan hybrid itu kita sudah buat prototipenya roda empat kecil dari baja, pokoknya teknologi kita enggak kalah, tinggal bagaimana sumber daya manusia”.
Kolaborasi Wujudkan Infrastruktur Kendaraan Listrik
Ketua Tim Teknis Mobil Listrik Nasional (Molina), Agus Purwadi mengatakan untuk mendukung ekosistem Kendaraan Berbasis Listrik (KBL) maka perlu infrastruktur termasuk penyediaan charging station atau SPLU.
“Untuk tahap pertama ini kan penugasan diberikan ke PLN untuk menyiapkan charging station. PLN mestinya juga sudah menggelar beberapa charging station dalam waktu dekat tetapi karena pandemi dan ada masalah keuangan jadi tertunda,” kata Agus saat dihubungi wartawan GATRA review Ucha Julistian Mone pada 28 Juni 2020.
Agus menerangkan untuk infrastruktur pendukung KBL seharusnya ada grand design dimana pada 2030 ditargetkan banyak charging station dan SPLU yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia. “Dan seharusnya kalau tidak ada pandemi ini sudah diimplementasi. Karena infrastruktur ini kan syaratnya keseriusan. Kalau tidak ada infrastruktur, orang akan bertanya pindah ke mobil listrik masak POM bensinnya [SPLU] enggak ada?. Jadi tidak boleh belakangan harus dikedepankan, targetnya 1.000 unit dalam waktu dekat,” ujarnya.
Untuk mendukung pembangunan SPLU menurutnya harus ada langkah taktis dari pemerintah khususnya BUMN terkait. “Makanya yang bagus Pertamina ini inisiatif. Mereka akan dorong sisi sepeda motor dan baterai swab. Dalam waktu dekat mereka akan trial di Jabodetabek. Mudah-mudahan pandemi juga sudah longgar”.
Di kesempatan berbeda, pengamat energi, Vicarna Yasier mengatakan pemerintah harus mengebut ketertinggalan di bidang mobil listrik. Roadmap saja tidak cukup bila tidak diimplementasikan dalam terapan produk dan ketersediaan infrastruktur. “Mobil listrik sudah digalakkan sejak zaman Dahlan Iskan. Baru kemudian masuk Tesla dan berbagai merk lainnya. Cuma sekarang jalan enggak? Ini yang perlu ditagih lagi. Dulu ada Gesits [motor listrik] tapi sekarang sudah ganti jubah,” ujar Yasier dalam keterangannya kepada GATRA review awal Juli lalu.
Direktur Utama PT Opintech Djojo Indo itu menyebutkan tantangan dalam pembangunan infrastruktur kendaraan listrik berupa Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yakni pengurusan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPL) dan perizinan lainnya. Banyak dari kalangan pemerintah daerah (pemda) dan stakeholder yang belum memahami skema dan aturan pembangunan SPKLU.
Dirinya menyatakan biaya pembangunan satu unit SPKLU berkisar antara Rp700 juta hingga Rp1 miliar. Nilai investasi itu jauh lebih kecil dari pembangunan SPBU sehingga membuka peluang bagi investor untuk membangun infrastruktur lebih banyak. “Nilai investasi satu SPKLU dengan kapasitas mesin 20 kWh sebesar Rp729 juta. Komponen biaya yang cukup besar yakni sewa tempat senilai Rp200 juta setahun sedangkan mesin estimasi harga Rp200 jutaan, semuanya sudah termasuk shelter,” katanya.
Yasier menyebutkan PLN dan swasta sudah seharusnya bersinergi untuk melengkapi infrastruktur kendaraan listrik. “Swasta tentu sangat siap dengan kebijakan mobil listrik. Tergantung sekarang pemerintah mau seperti apa. Perpresnya sudah ada namun implementasinya belum terlihat, aturan-aturan turunannya juga belum ada”.
Ia mengatakan pembangunan infrastruktur kendaraan listrik seringkali terhambat ego sektoral lintas instansi. Pemerintah melalui PLN kerap mengklaim sudah membangun puluhan ribu SPLU namun tidak banyak yang bisa difungsikan sebagai charging station mobil listrik. “Semestinya tidak ada ego sektoral ya untuk memajukan kendaraan listrik ini. Baik PLN, Pertamina dan BUMN lain harus melihat ini sebagai langkah maju. Kita jauh ketinggalan sebetulnya,” ujarnya.
BPPT Penggerak Roadmap Infrastruktur Kendaraan Listrik
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM) BPPT, Prof. Eniya Listiani Dewi mengatakan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019 dapat menjadi lokomotif pembangunan infrastruktur kendaraan listrik. Menurut Eniya, pemerintah sudah memiliki peta jalan percepatan kendaraan listrik termasuk charging station sampai tahun 2023 dimana unsur TKDN harus dipenuhi sebanyak 40%.
BPPT, sambungnya, berperan mengawal pembangunan infrastruktur charging station berkolaborasi dengan PLN dan Pertamina. PLN berperan dalam penyediaan listrik dan Pertamina sebagai pendukung charging station yang disisipkan di lokasi-lokasi SPBU.
“Saat ini BPPT menekankan manufakturing charging station di PT Len. Saya minta Len dan PLN agar tidak tender untuk asing. Karena sesuai Perpres, PLN yang disupport Pertamina telah membuat roadmap. Tahun ini seharusnya ada 168 titik charging station untuk mobil. Tapi karena [virus] corona diperbaiki lagi targetnya,” ujarnya.
Eniya mengatakan pihaknya telah meminta kepada PLN untuk membuat skema bisnis untuk lokasi charging station di SPBU Pertamina beserta lokasi khusus seperti: bandara, mall, kafe, serta tempat strategis lainnya yang zero emisi. “Konsepnya PLN belum mengerjakan ini tapi Pertamina sudah membuat feasibility study kalau misalnya ditaruh di SPBU juga tapi ada area khusus yang berbeda,” ucapnya.
BPPT menurutnya terus mendorong industri lokal agar bisa membuat charging station dimana PT Len Industri (Persero) menyanggupi TKDN sebesar 25-30%. Untuk memenuhi target di tahun 2023 dengan 40% TKDN dan menjamin market, pemerintah berencana untuk memberikan insentif khusus dan keringanan pajak.
“Sehingga secara harga kita akan bersaing dengan asing karena komponennya bisa dibuat di Indonesia. Masalah payment berapa harga listrik yang dikeluarkan sudah ada PLN yang biasa mengeluarkan tarif listrik yang [besarannya] masih digodok dan sebentar lagi keluar,” ucap peraih gelar Doctor of Engineering dari Universitas Waseda Tokyo itu.
Terkait baterai lithium, BPPT mendukung hasil kerja tim riset yang berupaya mengembangkan lithium untuk fast charging tetapi untuk skala kecil dari motor listrik Gesits. Meski demikian hingga 2023, pelaku industri masih diperbolehkan melakukan impor baterai dari luar meski harganya selangit.
“Masih ditolerir impor tidak masalah sampai 2023 karena harganya 60%. Kalau dari bahan baku [baterai] kita sudah ada pabrik di Morowali untuk nikel. Paling tidak dari tingkat material dasar sudah mulai diolah ke material baterai. Tapi dari pabrik itu masih dikirim lagi ke Cina dan kembali lagi ke kita dalam bentuk baterai,” pungkas Eniya.
Andhika Dinata, Qonita Azzahra dan Wahyu Wachid Anshory
(Artikel ini tayang di Majalah GATRA review Edisi I/12, Juli 2020)