Pemerintah kembali mengebut program mobil listrik nasional untuk mengejar target produksi 2.200 unit pada lima tahun mendatang. Kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset mulai digalakkan. Tak cukup dengan aturan, proyek mobil listrik butuh sosialisasi yang masif. Kendala utama masih pada investasi dan ketersediaan bahan baku
Inovasi itu datang dari kampus! Geliat itu ditunjukkan Universitas Indonesia (UI) yang berhasil merancang mobil listrik. Penghujung tahun lalu, kampus UI meluncurkan Molina (Mobil Listrik Nasional) Mev-02 Urban A, mobil listrik berjenis hatchback. Mobil listrik hasil modifikasi tim riset UI itu dibuat berbekal sasis Daihatsu Ayla.
Molina Mev-02 mempunyai spesifikasi enam (6) baterai lead acid berdaya 10,8 kWh dengan tegangan 72 volt. Konversi mencakup penggantian mesin dengan motor listrik bersumber daya DC. Mobil konon dapat melaju hingga kecepatan 80 kilometer per jam dengan jarak tempuh 30-40 kilometer.
Hanya saja mobil listrik kali ini tidak menggunakan baterai berjenis lithiom ion, namun baterai lead acid yang dinilai murah dan memiliki power density yang cukup baik. Bagi UI, terobosan ini penting bagi masyarakat yang ingin mengubah mobil berbahan bakar minyak menjadi mobil listrik.
Molina Mev-02 bukan produk mobil listrik pertama besutan kampus kuning. Sebelumnya Fakultas Teknik UI juga meluncurkan EV Bus sebagai pelopor bis penumpang berkapasitas besar dan bertenaga listrik pertama di Indonesia. Tak hanya itu, Tim Molina UI juga merancang tiga jenis kendaraan listrik lainnya yakni: Makara Electric Vehicle (MEV) 01, City Car konversi (MEV) 02 dan City Car konversi (MEV) 03.
Guru Besar Teknik Universitas Indonesia (UI), Prof. Danordono Agus Sumarsono mengatakan partisipasi kampus sangat penting untuk “membumikan” mobil listrik. Beberapa kampus termasuk UI menjadi lembaga pendidikan terdepan yang berlomba-lomba melakukan riset mobil listrik. Makara Electric Vehicle (MEV) jadi contoh inovasi lokal mobil listrik yang berasal dari kampus.
“Inovasinya kita sebut MEV, teman-teman [doktor] muda yang membuat motor listriknya. Bahkan magnet kita masih impor itu yang kita coba kurangi. Prototipe sudah ada tinggal diproduksi oleh manufaktur,” ujar Danordono ketika dihubungi GATRA review pada 6 Juli 2020.
Dosen di Departemen Teknik Mesin UI itu menyebutkan salah satu tantangan kendaraan listrik yakni komponen inti yang masih impor. “Tantangan dari produk yaitu baterainya kemudian motor listriknya masih impor. Kendaraan listrik harus segera digunakan, tinggal kebijakan pemerintah apakah mau mendukung industri dalam negeri atau tidak. Makanya sekarang kendaraan-kendaraan yang sudah ada menengahi dengan hybrid,” tambahnya.
Danardono mengatakan proyek mobil listrik di kampus berhasil karena mendapat sokongan dari Layanan Beasiswa dan Pendanaan Riset Indonesia (LPDP) dan beberapa hibah lainnya. Selain merancang produk yang sudah ada, dirinya menyebutkan pihak kampus juga turut dilibatkan dalam riset bus listrik TransJakarta.
“Kita sudah kerja sama dengan PT MAB (Mobil Anak Bangsa) dan sebentar lagi mereka akan coba di bus TransJakarta. Kita akan coba mengkonversikan yang sudah ada yakni kendaraan berbahan bakar solar menjadi bus bertenaga listrik. Karena kalau tidak ada [kerja sama] dengan manufaktur susah, kita hanya riset aja,” ujar peraih doktor Bidang Energi dari University of Orleans, Perancis itu.
Dirinya berpandangan konversi mobil konvensional ke mobil listrik merupakan keniscayaan. Solusi pemerintah untuk kendaraan listrik merupakan jawaban atas persoalan kelangkaan bahan bakar fosil. “Jadi tujuan perubahan dari bahan bakar fosil ke elektrik sebenarnya karena pertama cadangan fosil minyak kita terbatas, di dunia juga terbatas. Dan itu tidak melihat waktu lagi sudah pasti akan terus, ada wabah enggak ada wabah [Covid-19] tetap akan terus,” tandasnya.
Basis Riset Dorong Industri Molina
Masa depan mobil listrik di Indonesia cukup mendapat “angin segar” dengan ditekennya Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Perpres tersebut merupakan implementasi kebijakan yang tertuang dalam aturan sebelumnya yakni Perpres Nomor 2 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan RUEN, pemerintah menetapkan target penggunaan kendaraan listrik sebanyak 2.200 unit untuk roda empat dan 2,1 juta untuk roda dua paling lambat pada 2025.
Dalam aturan terbaru ini juga dimasukkan beberapa insentif fiskal seperti pembebasan tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Untuk mengebut capaian produksi kendaraan listrik nasional, pemerintah melalui Kemenristekdikti telah memfasilitasi enam perguruan tinggi negeri (UI, ITB, UNS, UGM, ITS dan Udayana) untuk melakukan riset Mobil Listrik Nasional.
Ketua Tim Teknis Mobil Listrik Nasional (Molina), Agus Purwadi mengatakan saat ini pengembangan studi Molina telah mencakup komponen inti mobil listrik termasuk baterai. Penguasaan komponen tersebut menurutnya akan membantu pengembangan mobil listrik ke tahap lebih lanjut.
“Kami saat ini tengah mengembangkan komponen inti lainnya. Di antaranya motor dan inverter yang tengah dirancang perguruan tinggi. Di sini kami ingin mulai dari komponen intinya, itu kita kuasai dulu,” kata Agus saat dihubungi GATRA review pada 28 Juni 2020.
Perkembangan Molina, terang Agus, sempat terhenti saat momen pergantian pemerintahan pada penghujung 2019. Setelahnya tim kembali melanjutkan riset sesuai Peta Jalan Kendaraan Listrik yang tahun ini ditargetkan masuk tahap pra komersialisasi produk.
“Peta jalan fase satu memang demikian. Namun akhirnya peta jalan itu kita revisi karena di roadmap terakhir itu sudah termasuk pendanaan dari LPDP. Karena programnya berjalan tidak sesuai timeline juga,” ujarnya.
Selanjutnya di peta jalan fase kedua, sambung Agus, tahun 2020 seharusnya sudah memasuki tahap pengembangan desain dan purwarupa pertama. Bila merujuk timeline, pada 2023-2034 Molina ditargetkan sudah bisa berproduksi massal.
“Tahun ini kita fokus menguasai komponen kunci dulu, fokus riset di situ. Pada identifikasi komponen tersebut, semua perguruan tinggi yang terlibat telah dibagi tugasnya untuk mengembangkan ke arah komponen kunci,” terang Agus.
Dirinya mengatakan komponen inti sedapatnya diaplikasikan di berbagai jenis kendaraan mulai kendaraan roda dua, roda tiga, dan angkutan massal. Untuk tahap awal ini, Agus mengurai pihaknya belum akan berorientasi pada konsep City Car disebabkan perjalanan Molina menurutnya masih panjang.
Terlebih infrastruktur pendukung untuk Molina City Car masih jauh dari harapan. “Dan juga harga baterai masih mahal. Jadi makanya kita fokus ke roda 2, roda 3 dan angkutan massal seperti bus TransJakarta misalnya,” ucapnya.
Menurutnya perjalanan Molina terbantu dengan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019. Dengan adanya beleid tersebut tim lebih mudah melakukan percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
“Setelah aspek legalnya terpenuhi, akhirnya ada LPDP dan pendanaan dari Kemenkeu. Nah kami memang sudah semangat mau speed up di tahun ini, tapi sayangnya terlanjur ada pandemi Covid-19, jadi akhirnya slow down lagi,” katanya.
Ke depan pihaknya berharap agar menjamur industri mobil listrik nasional. “Kalau market-nya sudah bisa tumbuh. Maka diharapkan bisa diproduksi di dalam negeri. Seperti yang kita lihat tadi kan harusnya pengembangan ini sudah bisa meluncur tapi dengan kondisi sekarang (Covid-19), kita reduksi dulu, kita ada perubahan strategi”.
Minimnya Investor Mobil Listrik
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM) BPPT, Prof. Eniya Listiani Dewi mengatakan keberadaan industri mobil listrik di tanah air didukung oleh Kemenperin melalui roadmap percepatan kendaraan listrik nasional. Namun pengembangan mobil listrik, terang Eniya, bukan tanpa hambatan. Minimnya investor dan belum adanya industri lokal yang memulai produksi mobil listrik massal jadi tantangan tersendiri.
“Perpres sudah ada untuk didorong tapi industri lokal hanya Gesit untuk motor dan bus oleh MAB [Mobil Anak Bangsa]. Mobil listrik roda 4 belum ada,” kata Eniya ketika diwawancara GATRA review pada 3 Juli 2020. Dalam roadmap tersebut, pemerintah masih mengkaji apakah implementasi proyek akan langsung ke mobil listrik atau melibatkan komposisi hybrid.
“Kalau penetrasi langsung ke elektrik, Kemenperin khawatir industri kita itu mati. Kalau Kemenperin membuat roadmap hybrid dia menyetujui kendaraan asing banyak masuk ke Indonesia. Ini berbeda dengan instruksi Perpres karena targetnya tidak melalui hybrid tapi langsung full baterai,” ujar Eniya.
Wanita peraih Habibie Award 2010 itu mengatakan tantangan lain dari penggunaan mobil listrik yakni harga jualnya yang mahal. Untuk mobil merk Tesla, Hyundai Ioniq, dan BMW i3 dijual di atas Rp500 juta. Pemerintah menurutnya harus punya visi memproduksi mobil listrik sendiri. Indonesia memiliki karoseri dan industri yang cukup, tinggal kemampuan produksi baterai yang harus ditingkatkan.
“Belum ada mobil listrik yang siap produksi. Dulu Ahmadi dan Tucuxi itu belum produksi hanya prototipe saja dan hingga saat ini industrinya belum ada,” jelas Eniya. Sementara untuk motor listrik, Indonesia sudah mampu memproduksi Gesits yang diproduksi Pindad.
Eniya menjelaskan mengkonversi mobil ke listrik secara komponen lebih sederhana. Anatomi yang disiapkan yakni motor listrik, baterai serta komponen elektronik yang bisa diproduksi lokal. Ia menyebutkan perlu dorongan yang kuat dari pemerintah serta sosialisasi di masyarakat.
“Semua sudah dijamin insentifnya sudah ada impor dan masih bisa dijadikan merek nasional sampai 2023 tidak ada yang tertarik. Sayapun bertanya-tanya siapakah yang menahan. Apakah ada yang tidak mau kendaraan listrik menjadi tren di Indonesia? Padahal anak muda di Indonesia lebih suka healthy-lifestyle,” ucap pemegang gelar Doctor of Engineering dari Universitas Waseda Tokyo itu.
Andhika Dinata, Ucha Julistian Mone, dan Wahyu Wachid Anshory
(Artikel ini tayang di Majalah GATRA review Edisi I/12, Juli 2020)