Yogyakarta, Gatra.com - Penyerangan acara midodareni di Solo menambah daftar panjang kasus kekerasan dan intoleransi atas nama agama di Indonesia. Pelaku harus ditindak karena Presiden Joko Widodo sempat menyerukan bahwa intoleransi tak mendapat tempat di NKRI.
Hal itu disampaikan Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, komunitas pelestari gagasan Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang berpusat di Yogyakarta.
“Peristiwa ini menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman,” tutur Alisa lewat pernyataan tertulis yang diterima Gatra.com, Senin (10/8).
Alissa mengingatkan, peristiwa intoleransi juga terjadi pada masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. “Hal ini sungguh ironis mengingat Presiden Joko Widodo pernah menyerukan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, sekitar dua ratus orang menyerang acara midodareni di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Pasar Kliwon, Solo, Sabtu (8/8). Massa tiba-tiba mendatangi lokasi dan memaksa tuan rumah membubarkan acara tersebut. Mereka juga merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga.
Tiga orang dilaporkan menjadi korban tindakan brutal kelompok tersebut, sehingga harus menjalani perawatan medis akibat luka-luka yang diderita. Penyerang meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.
Alissa menjelaskan midodareni merupakan tradisi yang dilakukan oleh banyak masyarakat Jawa untuk menyiapkan hari pernikahan. Adapun Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. “Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif,” ujarnya.
Atas peristiwa ini, Jaringan Gusdurian menyatakan perlu langkah konkret dari berbagai pihak agar kasus intoleransi atas nama agama tidak ada lagi. “Jaringan Gusdurian mengutuk peristiwa penyerangan tersebut karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun,” kata dia.
Kepolisian pun diminta untuk menuntaskan kasus ini melalui mekanisme konstitusi. “Sebagai lembaga negara, kepolisian harus menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial yang hanya akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang. Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku,” katanya.
Jaringan Gusdurian meminta pemerintah daerah menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan. “Setiap jengkal wilayah Indonesia harus memberikan rasa aman kepada penduduknya. Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga negara tersebut,” kata salah satu putri Gus Dur ini.
Tokoh agama setempat juga diminta untuk bahu membahu menebar gagasan agama yang penuh rahmah atau kedamaian. “Intoleransi terjadi salah satunya karena adanya ideologisasi nilai-nilai eksklusivisme yang dibalut dengan semangat keagamaan. Padahal sejatinya agama mengajarkan manusia untuk mensyukuri perbedaan sebagai karunia dari Allah SWT,” tuturnya.
Dengan kejadian ini, masyarakat diajak untuk terus merawat semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan para pendiri bangsa. Sejak didirikan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan adat istiadat.
Seluruh warga negara Indonesia semestinya tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda. “Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan,” katanya.