Padang, Gatra.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), telah menerima sebanyak 3.865 laporan pengaduan dugaan pelanggaraan kode etik Pemilu. Jumlah itu sudah delapan tahun, sejak Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) menjadi DKPP tahun 2012.
Khusus tahun ini, hingga 4 Agustus 2020, DKPP telah menerima 138 pengaduan, dan kemungkinan jumlah itu bisa terus bertambah. Hal ini seriring semakin dekatnya menuju pesta demokrasi 9 Desember 2020 dalam rangka pemilihan kepala daerah (Pilkada). Setiap daerah memiliki risiko dan kemungkinan yang sama.
"Makanya saat ini DKPP berkonsentrasi memastikan KPU dan Bawaslu bisa bekerjasama secara maksimal, sesuai peraturan berlaku dalam mengawasi keberlangsungan Pemilu,"kata Anggota Dewan Kehormatan DKPP, Alfitra Salam kepada awak media di Padang.
Selain itu, sejak tahun 2012 hingga saat ini, DKPP telah memberhentikan penyelenggara Pemilu sebanyak 641 orang. Kemudian yang diberhentikan dari jabatan ketua sekitar 55 orang, mendapat teguran 2.215 orang. Lalu, DKPP juga sanksi rehabilitasi yang cukup besar yakni 3.422 orang. Sanksi itu diberikan DKPP, dan paling besar rehabilitasi 58 persen.
Alfitra mengakui, Pemilu di Indonesia sangat berbeda dibanding negara lain, sebab selain KPU, juga terdapat Bawaslu dan DKPP. Hadirnya Bawaslu dan DKPP dalam Pemilu ini, karena masyarakat merasa kecewa terhadap KPU pada masa Orde Baru. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu sangat rendah.
Bukan itu saja, kata Alfitra, pengawasan Pemilu di Indonesia juga sangat banyak. Mulai dari pengawasan di tempat pemungutan suara (TPS), kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, hingga sampai ke tingkat nagari (desa). Maka pengawasan Pemilu di Indonesia ini sudah head to head, dari TPS, KPPS, hingga ada PTPS.
"Kita sebenarnya mewariskan klausa Orde Baru, bahwa masyarakat tidak percaya kepada KPU, sehingga muncul institusi Bawaslu. Jadi konsen kami, KPU dan Bawaslu harus betul-betul bekerja sesuai aturan," pungkasnya.