Hubungan AS-Cina kembali memanas. Sejumlah pihak khawatir, tak lama lagi akan terjadi konfrontasi militer di Pasifik. Donald Trump dan Xi Jinping didorong untuk melakukan diskusi positif.
Perang Dingin AS dan Cina
Cina mengambil alih gedung konsulat Amerika Serikat di Kota Chengdu pada Senin, 27 Juli 2020. Beijing sekaligus memerintahkan agar fasilitas yang ada dikosongkan. Tindakan tersebut merupakan aksi balasan atas penutupan kantor konsulat Cina di Houston, Texas, Kamis, 23 Juli 2020, atas tuduhan spionase dan pencurian kekayaan intelektual. "Partai Komunis Cina hari ini berbeda dengan kondisi mereka 10 tahun lalu. Partai kini telah memiliki pandangan bahwa mereka bermaksud menghancurkan ide-ide Barat, demokrasi Barat, dan nilai-nilai Barat," ujar Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo.
Ketegangan Cina-AS telah mencapai tingkat paling akut sejak keduanya menormalkan hubungan diplomatik lebih dari empat dekade lalu. Pada 1972, Richard Nixon menjadi Presiden AS pertama yang menjejakkan kaki di Cina setelah beralih menjadi negara komunis sejak 1949.
Selama puluhan tahun ini, keduanya kerap berselisih paham pada banyak isu: hak asasi manusia, nuklir, ekonomi, termasuk soal Taiwan dan Tibet. Namun mereka masih bisa hidup berdampingan untuk menstabilkan ekonomi global dan bekerja sama dalam isu-isu kritis, termasuk perubahan iklim dan pencegahan pandemi. Era itu tampaknya sudah berakhir.
Dilaporkan LA Times, sekarang ada konsensus bipartisan di AS, tentang perlunya kebijakan lebih keras terhadap Cina. Bahkan para cendekiawan dan pembuat kebijakan yang telah menghabiskan hidup mereka membangun hubungan lebih dekat dengan Cina dan meyakini keterlibatan AS bisa mendorong reformasi demokratis, kini merasa kecewa.
Pada saat bersamaan, pendekatan "palu godam" pemerintahan Donald Trump yang dinilai memulai perang dingin dan tidak memberikan ruang untuk dialog, bersifat kontraproduktif dan tidak jujur dalam kepeduliannya terhadap rakyat Cina. Ini juga berbahaya dan dapat menyebabkan konflik langsung.
"Keretakan antara Amerika Serikat dan Cina terancam menjadi jurang dalam. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa pertukaran aksi, tuduhan, atau tindakan yang dirancang untuk membuat hidup negara lain susah atau untuk memamerkan keunggulan sistem politik masing-masing," tulis peneliti Hinrich Foundation yang juga CEO dari Konsultan Risiko Geopolitik Cognoscenti Group, Dr. Alan Dupont, dalam situs The Diplomat.
Dalam pertahanan, perdagangan, teknologi, hak asasi manusia, dan kategori lainnya, tindakan dan pembalasan di satu sisi atau yang lain, telah meningkat tajam di bawah pemerintahan Presiden Trump. Meski ia berulang kali mengungkapkan kekaguman terhadap Presiden Cina, Xi Jinping, terkait cara menangani pandemi Covid-19. Sanjungan yang dinilai sejumlah analis sebagai upaya Trump mendapat dukungan Cina agar ia bisa memenangkan pemilu November mendatang.
"Ini adalah persaingan serius. Amerika harus menghadapinya dengan serius. Anda tidak bisa menghadapkan lawan ambisius dengan sejumlah amatiran yang kebetulan adalah pejabat dan juga menduduki posisi presiden. Pemerintah yang menempatkan agenda pribadi di atas kepentingan negara," demikian kritik Profesor Hubungan Internasional di Universtas Harvard, Stephen M. Walt.
Anggota Kongres garis keras dari Partai Republik, seperti Josh Hawley dan Matt Gaetz, telah membunyikan alarm peringatan konflik. Adapun kaum progresif dan moderat memperingatkan "perang dingin baru" dan menyerukan dialog baru untuk mengelola hubungan. Meskipun strategi mereka berbeda, semua kelompok ini melihat hubungan Cina-AS sebagai hal yang sangat penting.
***
Ketika novel coronavirus (2019-nCoV) merebak, Trump dan bawahannya menyalahkan Cina karena dianggap sengaja menyebarkannya. Trump telah berulang kali menggambarkan virus dalam istilah rasis dan stigma, antara lain dengan menyebutnya sebagai virus Wuhan, virus Cina, dan Kung Flu.
Pada 4 Juli, Trump mengatakan bahwa Cina, "Harus bertanggung jawab penuh." Pemerintah AS juga telah menghentikan bantuan dana dan memutuskan hubungan dengan WHO, yang dituduh menerima kekurangan dalam respons awal Cina terhadap wabah tersebut. Terbaru, Departemen Kehakiman AS menuduh para peretas Cina berusaha mencuri informasi penelitian AS tentang vaksin virus.
Cina tentu menampik serangan pemerintah terhadap virus dan mengkritik tanggapan buruk pemerintah AS terhadap wabah tersebut. Para propagandis Cina juga telah mempromosikan teori tandingan bahwa tentara AS mungkin merupakan sumber asli virus selama kunjungan ke Wuhan Oktober lalu, seperti dilansir New York Times.
Padahal nyaris sepanjang pemerintahan Trump, AS dan Cina berada dalam posisi panas akibat perang dagang. Pada 2016, Trump menang kampanye saat melempar tuduhan bahwa Cina mengeksploitasi hubungan perdagangannya dengan AS. Cina dinilai lebih banyak menjual daripada membeli. Saat telah menjabat, Gedung Putih menetapkan serangkaian tarif tinggi untuk barang-barang Cina.
Tak hanya sektor ekonomi, keduanya juga ribut masalah teknologi. Cina telah lama dituduh mencuri teknologi AS. Trump meningkatkan tuduhan dengan upaya memasukkan perusahaan teknologi terbesar Cina, Huawei, ke dalam daftar hitam internasional. Trump menekan negara-negara yang hendak melakukan kerja sama dengan Huawei. Alasannya, Huawei disebut sebagai upaya Cina menyusup ke infrastruktur telekomunikasi negara lain demi keuntungan strategis.
Direktur Keuangan Huawei, Meng Wanzhou, bahkan ditahan di Kanada sejak Desember 2018 dengan surat perintah ekstradisi ke AS atas tuduhan penipuan. Belakangan, Inggris menyatakan keberpihakannya kepada AS dalam melarang produk-produk Huawei dari jaringan nirkabel berkecepatan tinggi 5G yang sedang dikembangkan.
Wanzhou hanyalah satu dari sekian banyak individu yang terjebak dalam konflik AS-Cina. Mulai dari Dalai Lama di Tibet, massa demonstran pro demokrasi Hong Kong, hingga rakyat Taiwan, kerap menjadi topik lobi politik kedua negara. Belum lagi isu HAM terkait Muslim Uighur. AS memberlakukan sanksi pada sejumlah pejabat Cina, termasuk anggota senior Partai Komunis, atas pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang.
Di AS, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk membatalkan visa ribuan mahasiswa dan peneliti pascasarjana Cina yang memiliki ikatan langsung dengan universitas yang berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Rakyat.
Jurnalis pun tak luput jadi korban. Trump dengan tajam membatasi jumlah warga Cina yang dapat bekerja untuk organisasi berita Cina di AS. Cina membalas dengan memerintahkan pengusiran para Jurnalis The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal. Beijing berjanji akan mengambil langkah-langkah lain yang menyarankan hambatan lebih lanjut terhadap akses pers AS di Cina.
Di sisi lain, keduanya punya masalah laten yang tak kunjung selesai: Laut Cina Selatan. Pemerintahan Trump makin menantang pernyataan kedaulatan Cina dan kontrol atas sebagian besar Laut Cina Selatan, termasuk jalur pelayaran maritim yang vital. Baru minggu lalu, Pompeo, yang menggambarkan Cina sebagai ancaman keamanan utama, memutuskan bahwa sebagian besar klaim Beijing di Laut Cina Selatan, "Benar-benar melanggar hukum." Dengan demikian, membuka potensi konfrontasi militer antara pasukan angkatan laut Cina dan AS di Pasifik.
"Untungnya, kita masih berada di kaki bukit dari Perang Dingin II, daripada ketinggiannya yang memuncak. Masih ada waktu untuk meratakan kurva permusuhan yang melonjak dan membalikkan momentum menuju konflik," ujar Dupont optimistis. Ia mengacu pada fakta bahwa AS dan Uni Soviet dahulu menemukan cara untuk bekerja sama dan menghindari perang besar, ketika keduanya terlibat konfrontasi multidekade.
Flora Libra Yanti