Yogyakarta, Gatra.com - Kekerasan seksual ternyata tetap terjadi ketika pekerja bekerja dari rumah atau menjalani work from home (WFH) selama pandemi Covid-19. Perusahaan penerap aturan pencegahan kekerasan seksual masih minim.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring ‘Kekerasan Seksual di Tempat Kerja’ gelaran Pusat Kajan Law, Gender, and Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (30/7).
“WFH tak membuat pelecehan seksual hilang. Misalnya dengan kiriman gambar porno lewat Whatsapp,” ujar Imelda Riris, peneliti Never Okay Project, lembaga yang mendorong penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja.
Menurutnya, pelecehan seksual melalui konten visual selama WFH itu bagian dari sejumlah bentuk kekerasan seksual yang meliputi tindakan fisik, lisan, isyarat tubuh, tulisan dan gambar, hingga pelecehan psikologis atau emosional.
"Pelecehan seksual secara psikologis ini seperti permintaan atau ajakan yang tak diinginkan. Pacaran di tempat kerja itu tak dilarang, tapi kalau ada ajakan kencan yang sudah ditolak tapi terus diulang, itu pelecehan,” tuturnya.
Menurut dia, kekerasan seksual di tempat kerja terjadi karena adanya relasi kuasa dan berkaitan dengan jabatan seseorang. Selain itu, kentalnya budaya menyalahkan korban. “Pelakunya paling banyak bos atau atasan, setelah itu teman kerja sebaya, kemudian klien,” katanya.
Riris menjelaskan, survei Never Okay Project pada 2018 menemukan hanya 19% perusahaan punya aturan khusus soal pencegahan kekerasan seksual. Dari 315 responden dalam survei saat WFH 2020, cuma 15% perusahaan yang punya aturan khusus itu. “Sangat minim komitmen pemberi kerja untuk menghapus kekerasan seksual,” katanya.
Pada 2018, hanya 4% pekerja perempuan yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual. Adapun 44% pekerja perempuan pernah mengalaminya dalam bentuk pelecehan fisik.
Bukan hanya perempuan, pekerja laki-laki juga mengalami pelecehan seksual dan hanya 23% yang tidak mengalaminya. “Ada asumsi laki-laki senang dengan hal berbau seksual. Ternyata enggak dan mereka risih,” katanya.
Selama WFH 2020, survei menunjukkan pekerja perempuan sering menerima candaan seksis. Sementara pelecehan pada pekerja laki-laki berupa kiriman konten seksual.
“Banyak pekerja tidak bisa membedakan pelecehan seksual dan tidak tahu harus bagaimana. Hanya 14% penyintas berani lapor ke bagian sumberdaya manusia di perusahaannya. Meski mulai ada yang berani menegur saat terjadi pelecehan ringan,” katanya.
Pengajar Fakultas Hukum UGM Nabiyla Risfa Izzati menjelaskan aturan tentang pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja selama ini hanya berupa Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 2011. “Surat edaran itu hanya pedoman yang tidak mengikat,” kata dia.
Ia berkata, mengutip riset Fair Wear Foundation 2016, banyak pengusaha di Indonesia, khususnya di industri garmen, tak ingin mengembangkan aturan itu karena punya konsekuensi memberatkan perusahaan.
Riset lain dari Federasi Buruh Lintas Pabrik menemukan hal senada. “Ternyata dirasa memecat perempuan (korban kekerasan seksual) lebih mudah dan murah daripada seorang manajer yang bertindak tidak patut,” kata Nabiyla.
Kondisi ini menjadikan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting. “RUU-PKS mengakui bahwa kekerasan seksual berspektrum sangat luas, termasuk pelecehan dan eksploitasi seksual di tempat kerja. Ini jauh lebih progresif dari aturan yang sekarang ada,” katanya.