Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres baru tentang Badan Intelijen Negara (BIN). Perpres yang baru diundangkan tanggal 20 Juli itu yakni Perpres Nomor 79 Tahun 2020 yang mengatur penambahan Deputi di BIN menjadi sembilan (9) Deputi. Dengan demikian, lembaga telik sandi itu akan memiliki unit kerja baru yakni Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur.
Di dalam Perpres, Deputi VIII BIN mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan dan/atau operasi intelijen pengamanan aparatur. Hal itu terkait dengan tupoksi BIN dalam rangka pengamanan negara lewat tiga (3) lingkup tugas yakni penyelidikan, pengamanan dan penggalangan.
Sebelumnya BIN memiliki delapan (8) Deputi yakni: Deputi Bidang Intelijen Luar Negeri, Deputi Bidang Intelijen Dalam Negeri, Deputi Bidang Kontra Intelijen, Deputi Bidang Intelijen Ekonomi, Deputi Bidang Intelijen Teknologi, Deputi Bidang Intelijen Siber, Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi dan Deputi Bidang Analisis dan Produksi Intelijen.
Pengamat intelijen dari Universitas Indonesia (UI), Ridwan Habib mengatakan perpres tersebut mendorong intelijen melakukan pengawasan secara baik terhadap personel yang bekerja di birokrasi atau lembaga pemerintah. Pembentukan Deputi 8 menurutnya sesuai dengan perpres yang diteken presiden.
“Fungsinya [Deputi 8] sesuai perpres yang baru adalah sebagai koordinator proses penelusuran rekam jejak atau clearance terhadap calon pejabat aparatur pemerintah,” ujar Ridwan dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (30/7).
Baca juga: Perpres 73/2020, Penguatan Telik Sandi, Perang Covid-19
Menurutnya dengan Perpres baru ini BIN berwenang mencoret nama pejabat yang tidak memenuhi kriteria Pancasilais. “Bioadata, rekam jejak, tingkah laku para calon pejabat ini akan dianalisa dulu oleh Deputi 8 dan jika tidak sesuai dengan Pancasila dan NKRI bisa dicoret atau tidak diberikan rekomendasi,” katanya.
Deputi 8 juga berwenang melakukan penelusuran kegiatan calon pejabat termasuk afiliasi organisasi yang diikuti. “Ini menunjukkan presiden sangat mempercayai BIN dalam menjaga jangan sampai ada aparatur negara yang ideologinya bukan Pancasila, ini terobosan baru,” ujarnya.
Meski demikian untuk menjaga hak asasi manusia dan asas objektifitas, Deputi 8 menurutnya perlu diisi oleh ahli yang menguasai pemeriksaan latar belakang dan aneka ideologi transnasionalis di Indonesia. “Para petugas di Deputi 8 harus bisa membedakan berbagai aliran keagamaan maupun kepercayaan, termasuk ciri khusus, tokoh, dan kebiasaan kebiasaannya, supaya akurat,” ucap Ridwan.
Alumni S2 Intelijen UI itu mencontohkan seseorang tidak bisa divonis radikal hanya dari penampilan luar atau cara berpakaian saja. “Harus diteliti dulu latar belakang pemikirannya, jangan hanya penampilan luar tapi juga behaviournya,” katanya.
Ridwan menilai Deputi 8 BIN akan sangat menentukan karakteristik birokrasi Indonesia di masa depan. “Semoga dijabat oleh orang yang sangat paham tentang berbagai aliran ideologi dan mau mendengar masukan berbagai kalangan termasuk akademisi,” pungkasnya.