Yogyakarta, Gatra.com - Dinasti politik menjadi budaya politik di masa lalu yang bertahan di era demokrasi. Semua Presiden RI lekat citranya sebagai sosok elite, kecuali Jokowi, meski kini justru disebut tengah membangun dinasti politik.
Hal ini disampaikan sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Sri Margana dalam ‘Dialog Sejarah: Riwayat Dinasti Politik’ gelaran Historia secara daring, Sleasa (28/7).
“Di masa lalu, dinasti politik itu bukan fenomena tapi kebiasaan, praktik budaya sehari-hari. Kekuasaan diwariskan dari generasi berikutnya dan keluarga menjadi penguasa di suatu wilayah,” tutur Margana.
Menurutnya, kekuasaan berdarah keturunan ini termasuk praktik feodalisme yang terjadi di Eropa dan Indonesia, baik di sistem kerajaan Hindu dan Buddha maupun Islam.
“Ketika kita memilih jalan demokrasi, ada revolusi di bidang politik. Sistem pemerintahan menganut demokrasi. Tapi kultur tidak bisa disistemkan. Jadi harus melalui edukasi, perjalanan panjang. Apalagi kalau tradisi itu tidak 1-2 tahun, tapi berabad-abad,” tuturnya.
Margana menjelaskan, teori dan lembaga demokrasi bisa dibentuk. Namun pengisi lembaga demokrasi tersebut masih memiliki kultur feodal. “Gapnya di situ. Lembaga modern tapi orang yang menjalankan feodal. Pendidikan politik tidak sampai membentuk kultur politik,” katanya.
Menurut dia, kerajaan memiliki konsep kekuasaan dewa raja, yakni raja dianggap sebagai perwakilan atau punya sifat kedewaan. Raja-raja Majapahit contohnya dinilai jadi titisan Dewa Wisnu. “Maknanya, apapun titah dia jadi undang-undang. Harus dipatuhi,” katanya.
Pada masa kerjaaan Islam, seperti Mataram, konsep ini bertahan. Mataram mengadopsinya dan mengganti gelar raja sebagai khalifatulah, wakil Tuhan di bumi. “Konsepnya mirip. Tidak ada perubahan konsep kekuasaan dari kerajaan Hindu ke Islam,” ujarnya.
Selain itu, kerajaan di negeri agraris menjadikan tanah sebagai sumber daya. Maka keluarga kerajaan mendapat tanah. Namun bukan luasan tanah itu yang bernilai, melainkan orang-orang yang hidup di atas tanah itu. Konsep ini disebut cacah.
“Di masa demokrasi dengan sistem elektoral, sumber daya seperti cacah juga jadi pertimbangan. Transformasinya, dulu ditunjuk langsung, sekarang dengan sistem pemilihan. Perebutan sumber daya mempengaruhi pertarungan pemilihan,” ujarnya.
Secara kultural, menurut Margana, pemimpin dicitrakan harus dari keturunan elite, bangsawan, atau orang suci. Pandangan ini tetap bertahan sejak masa kerajaan hingga kini, termasuk pada citra para Presiden RI.
Sukarno dikaitkan dengan sosok ulama HOS Tjokroaminoto; Soeharto dengan istrinya, Hartinah, seorang bangsawan Solo; Habibie tokoh intelektual, Gus Dur figur ulama, Megawati putri presiden, dan SBY seorang tentara. “Jokowi pengecualian karena tidak memiliki hubungan dengan elite,” katanya.
Namun belakangan sejumlah pihak menilai Jokowi membangun dinasti politik karena putra dan menantunya maju di pilkada. Jokowi membantah hal itu karena anaknya, Gibran Rakabuming Raka, juga ikut berkompetisi dan bisa tidak terpilih.
Margana menilai hal itu berpulang pada etika si politisi. “Persoalannya sekarang, kembali ke etika dan kultur politik. Oke, semua berhak (mencalonkan diri). Tapi harapannya ada kesadaran kultural, etika, dan ini tidak diatur di UU,” ucapnya.