Selat Taiwan kembali memanas dengan aksi pamer kekuatan militer Cina dan Taiwan. Bagi Cina, reunifikasi adalah harga mati. Taiwan pasang taktik buang waktu.
Dalam urusan dengan Taiwan, Cina sebagai negara berkekuatan militer yang berlipat kali lebih besar, memiliki banyak opsi. Sejarah menyebutkan, sejak pasukan nasionalis pimpinan Chiang Kai-Shek tersingkir ke Taiwan pada 1949, Cina melalui People’s Liberation Army (PLA) sudah menyiapkan "misi reunifikasi". Sejak saat itu, setiap pemimpin Cina punya misi menyatukan kembali Taiwan ke dalam Cina. Namun setiap pemimpin negara itu sadar, aksi militer terhadap Taiwan akan memicu reaksi dari Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan itu.
Presiden Xi Jinping pernah menyiapkan upaya reunifikasi damai ketika naik ke puncak kekuasaan pada 2012. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil setelah Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik terpilih sebagai Presiden Taiwan pada 2016. Tidak seperti pendahulunya, Ma Ying-jeou, yang ramah kepada Beijing, Tsai menolak mengakui "konsensus satu-Cina". Perempuan pertama yang jadi Presiden Taiwan ini, lebih condong opsi merdeka.
Awal tahun ini, Tsai terpilih lagi. Beijing gusar. Kepada BBC, Tsai mengatakan, "Kami tidak perlu menyatakan diri sebagai negara merdeka. Kami sudah menjadi negara merdeka dan kami menyebut diri kami Republik Tiongkok (Taiwan)."
Sejak itu, Selat Taiwan memanas. Militer Cina gencar menggelar aksi provokasi. Aksi itu ditanggapi Amerika Serikat (AS) dengan mengirim kapal-kapal perangnya melintasi selat selebar hampir 200 kilometer itu. Tercatat dalam tujuh bulan pertama ini, armada AS sudah mondar-mandir tujuh kali. Namun PLA yakin, kekuatan gabungan dari armada kapal induk, angkatan udara, dan rudal darat, akan menjadi "perisai kuat" untuk mencegah AS serta armada lain memasuki Selat Taiwan. Hal itu diungkapkan Zhou Chenming, Peneliti dari Yuan Wang, lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi militer di Beijing.
Beijing, kabarnya pasang sikap tidak akan melepas tembakan pertama yang akan menandai konfrontasi militer di kawasan itu, kecuali para pemimpin "kehilangan harapan penyatuan kembali secara damai". Tidak jelas berapa lama Beijing bersedia menunggu penyatuan kembali secara damai. Namun beberapa analis berpendapat, PLA akan menunggu sampai kapal induk pertama yang dibuat di dalam negeri, Shandong, dan kapal induk generasi berikutnya, sudah berada pada kapasitas operasional, sesuatu yang paling tidak butuh lima tahun.
Xi mungkin berencana mencapai tujuannya di Selat Taiwan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, menurut Ahli Hubungan Internasional Universitas Nottingham, Deng Yuwen, ketegangan saat ini dengan AS dapat mendorongnya mempercepat proses reunifikasi.
***
PLA sudah menumpuk senjata jika sewaktu-waktu diperlukan. Menurut Rand Corp., lembaga think tank AS, PLA memiliki 40 pangkalan sepanjang pantai tenggara menghadap Selat Taiwan, yang memungkinkan mengerahkan 1.000 pesawat tempur beroperasi di Taiwan. Adapun AS dapat mengerahkan 144 jet tempur generasi pertama dari kapal induk. Dengan kondisi itu, di atas kertas sulit untuk mencapai superioritas udara dan laut. "Cina akan dapat dengan cepat mengumpulkan sejumlah besar pesawat, rudal, kapal, dan pasukan dari seluruh negara untuk pertempuran," kata Analis Riset Pertahanan Internasional Senior di Rand, Timothy Heath.
"Jangkauan pendek dan akses ke daratan akan memungkinkan pasokan lebih mudah dan penggunaan senjata jarak pendek," Heath menambahkan. Ia mengatakan, perang juga akan menempatkan pusat-pusat industri Cina di sepanjang garis pantai dalam risiko.
Profesor Ilmu Sosial dan Kebijakan di Universitas Yuan Ze, Chen Ching-pu, berasumsi tidak akan terjadi perang besar-besaran. Perang semacam itu butuh waktu dan usaha tidak sedikit. Pada saat Cina menguasai Taiwan, AS dan sekutunya sudah punya cukup waktu untuk mempertahankan negara itu. "Jadi, jika tujuan Cina adalah memaksa Taiwan untuk berunding atau menerima suatu bentuk tertentu [satu negara, dua sistem], kemungkinan besar akan menggunakan taktik psikologis," kata Chen.
Opsi yang tersedia, antara lain mengambil alih pulau lepas pantai Taiwan, menyegel Selat Taiwan, menyerang bandara dan fasilitas lainnya untuk melumpuhkan Taiwan, atau menggabungkan serangan presisi sasaran di Taiwan dengan perang dunia maya, informasi, serta perang psikologis. Chen mengatakan, taktik semacam itu dapat melemahkan perlawanan publik Taiwan.
Di sisi lain, mantan Instruktur Akademi Angkatan Laut Taiwan di Kaohsiun, Lu Lu Li-Shih, memprediksi PLA akan menggunakan rudal untuk menyerang pangkalan militer Taiwan dan mendorong pemerintah Taipei datang ke meja perundingan sedini mungkin. "PLA tidak akan membiarkan militer Taiwan menggunakan taktik membuang-buang waktu untuk membiarkan pertempuran berlangsung selama lebih dari seminggu, yang akan membantu AS dan sekutunya mendapatkan waktu untuk campur tangan, menjadikannya pertempuran tanpa akhir," tuturnya.
Mantan Direktur Biro Keamanan Nasional Taiwan, Tsai Te-sheng, setuju bahwa serangan Cina Daratan dirancang untuk memaksa pihak otoritas Taiwan bernegosiasi. "Saya telah membaca sejumlah dokumen [rahasia] yang menunjukkan bahwa Cina komunis tidak ingin menghancurkan atau sepenuhnya mencaplok Taiwan," katanya seraya menambahkan, "Banyak gerakan militer Cina bertujuan intimidasi psikologis terhadap Taiwan, dengan pesan bahwa kemerdekaan adalah jalan buntu dan sangat berisiko."
Dalam beberapa minggu terakhir, hampir setiap hari militer Cina memasuki wilayah udara Taiwan. Pengamat menilai, ini bagian dari upaya membuat Taiwan merasa tidak berdaya dan mengarahkan frustasi mereka terhadap para pemimpin di Taipei.
Rosyid
- - - - - -
"Banyak gerakan militer Cina bertujuan intimidasi psikologis terhadap Taiwan, dengan pesan bahwa kemerdekaan adalah jalan buntu dan sangat berisiko."
- Tsai Te-sheng, mantan Direktur Biro Keamanan Nasional Taiwan
- - - - - -
Boks
Adu Gertak Cina-Taiwan
Perang psikologis Cina melawan Taiwan sudah berlangsung lama. Sejarah mencatat, pada 1995 dan 1996, Cina sengaja melakukan tes rudal balistik di dekat pantai Taiwan untuk menakut-nakuti penduduk pulau itu.
Selama delapan tahun kekuasaan Ma Ying-jeou yang pro rekonsiliasi (2008-2016) , tidak ada ada pesan agresif yang muncul dari Cina Daratan. Masa-masa ini dianggap sebagai bulan madu kedua negara.
Hanya saja pada Juli 2015, televisi yang dikelola pemerintah Cina, CCTV, menyiarkan video yang tidak biasa. Video yang dibuat lewat simulasi komputer itu memperlihatkan tentara PLA menyerang Kantor Presiden Taiwan di Taipei. Menurut catatan Nationalinterest, penayangan video ini adalah pesan untuk mengintimidasi pemilih Taiwan agar tidak mendukung kandidat oposisi Tsai Ing-wen yang pro kemerdekaan.
Akhir Januari 2016, beberapa hari setelah Tsai terpilih, media Cina menyiarkan laporan yang disebut operasi militer skala besar di Provinsi Fujian tepat di seberang Taiwan. Bagi pemerintah Taiwan, ini adalah pesan agar Taiwan berhati-hati.
Pada Februari 2016, delegasi cendekiawan Taiwan dari Forum Taipei, sebuah lembaga think tank berbasis di Taipei, diundang mengunjungi sejumlah lembaga think tank Cina di Beijing dan Shanghai. Selama kunjungan, anggota delegasi diminta membaca artikel daring yang telah beredar di berbagai departemen yang berhubungan dengan urusan Taiwan.
Menurut artikel tersebut, penyatuan lintas selat yang damai tidak lagi memungkinkan dan Cina dapat mempersiapkan diri untuk perang dengan Taiwan, yang akan diluncurkan antara Januari dan Mei tahun depan. Setelah kembali ke Taiwan, Su Chi, Ketua Forum Taipei saat itu dan mantan Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Taiwan, mengungkapkan perincian artikel itu kepada media Taiwan. Dengan memanfaatkan figur high profile semacam itu dari Taiwan, Cina dapat memperoleh eksposur lebih besar dan menambah kekuatan pada pesannya.
Rosyid