Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, menjamin program bantuan social (bansos) yang disalurkan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19 mematuhi prinsip-prinsip akuntabilitas.
GATRAreview.com - Untuk mengetahui apa saja persoalan yang dihadapi Kemensos terkait penyaluran bansos bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dan bagaiamana upaya Kemensos untuk menuntaskan persoalan tersebut, tim Gatra review dan Gatra TV secara khusus mewawancarai Juliari pada Senin, 8 Juni lalu, di ruang kerjanya, Gedung Kemensos, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Berikut petikannya:
Bagaimana evaluasi Kemensos terhadap penyaluran bansos untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 yang digulirkan sejak April lalu?
Evaluasi bansos tunai ya. Itu memang tidak mudah. Karena kita harus memastikan bahwa yang menerima bansos tunai dalam bansos khusus Covid-19 ini bukan penerima bansos lain. Contohnya bansos yang dari Kemensos ada PKH (Program Keluarga Harapan), ada BPNT (Bantuan Pangan Non-Tunai). PKH dan BPNT kan bansos reguler. Karena memang kita menyasarnya pada keluarga-keluarga yang terdampak Covid-19. Sementara penerima manfaat bansos seperti PKH dan BPNT itu, mau ada Covid-19 atau enggak, mereka dapat. Ternyata dari evaluasi kami, seringkali [penyaluran bansos] di media dikritik. Itu memang tidak mudah. Kelihatannya mudah di permukaan, tapi bagi kami-kami yang di lapangan itu menemukan warga yang benar-benar terdampak dan tidak menerima bansos apa pun itu tidak mudah.
Selain itu, yang membuat sedikit rumit adalah pada saat bersamaan, bansos-bansos dari tempat lain datang. Contohnya pemerintah provinsi juga mengeluarkan bansos hasil realokasi anggarannya. Kemudian pemerintah kabupaten/kota juga memberikan bansos. Makanya dari awal, sebenarnya waktu kami melakukan koordinasi dengan daerah, kita minta supaya tolong kita dikasih jalan dulu, sehingga nanti [bansos] yang dari daerah itu untuk menyapu atau menyisir yang belum kebagian bansos [dari pusat]. Terakhir juga ada dana desa. Itu bisa juga digunakan untuk bantuan langsung tunai. Jadi memang tidak terlalu mudah di lapangan untuk mencari keluarga-keluarga penerima bansos.
Terkait dengan penyaluran bansos, ada sejumlah pemberitaan yang menyebut penyaluran belum merata dan ada yang belum menerima bansos. Bagaimana menurut Anda?
Seringkali diberitakan ini tidak terima, itu tidak terima. Saya tantang lagi, mohon maaf nih, kadang-kadang yang terima 100 orang, dari jumlah itu yang tidak terima tiga orang. Nah, yang dijadikan berita yang tiga orang ini. Kemudian ada juga yang lewat survei. Kita tidak bilang survei itu salah, tapi kita mau tahu juga siapa yang disurvei? Kalau mereka yang bukan penerima bansos, mereka bisa saja ngomong kurang ini, kurang itu. Tapi, ya itulah survei.
Harus diyakini bahwa kami bekerja keras bukan cuma di kantor, tapi juga di lapangan. Dan evaluasi kami, daerah juga harus koordinasi agar di lapangan lebih baik. Artinya memang saya berharap bahwa bansos-bansos yang diturunkan daerah itu menjadi yang terakhir dulu, biar yang dari pusat ini turun dulu, sehingga nanti di periode berikutnya, pendataan lebih baik. Jadi evaluasi kami terkait koordinasi daerah dengan pusat dalam hal ini Kemensos, harus lebih cepat dan intens terkait masalah data-data penerima bansos. Itu yang paling krusial menurut saya.
Bagaimana cara Kemensos melakukan penyaluran banos agar tetap sasaran?
Kalau penyalurannya, Kemensos gandeng PT Pos (PT Pos Indonesia), penerima diberi tunai. Mereka, petugas PT Pos, memakai ID (identifikasi) dan membawa undangan, dikasihkan langsung bansos tunainya Rp600.000, bisa di kantor kelurahan atau balai desa, tapi petugasnya dari PT Pos. Jadi dari segi penyalurannya sendiri lancar sekali, hanya memang di awal-awal itu koordinasi data itu. Contohnya begini, tiba-tiba sudah berjalan hampir tiga minggu, 150 kabupaten/kota minta datanya ditarik. Banyak ya, 150 loh.
Apa data yang minta ditarik itu terkait Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang sempat ramai diberitakan media karena datanya dianggap tidak update?
Banyak media salah mengutip. Dari awal saya sudah sampaikan DTKS itu bukan satu-satunya data yang mereka bisa gunakan. Artinya begini, kami dari awal membuka daerah untuk tidak menggunakan DTKS. Karena kami juga paham, kalau hanya menggunakan DTKS, kita mudah sekali, tidak usah tanya daerah lagi, langsung saja sikat, selesai.
Dan awalnya itu ketika ada instruksi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), mendorongnya ke arah situ. Karena, dari KPK kan juga ada statement bahwa DTKS itu suka enggak suka, percaya enggak percaya, adalah data yang paling reliable untuk warga yang miskin. Dan akhirnya KPK mendukung mengeluarkan surat edaran, memberikan data di luar DTKS juga boleh. Jadi saya tidak menyalahkan daerah, ya. Tapi mohon maaf, ada di beberapa daerah yang mereka juga kesulitan ternyata. Buktinya apa? Ya, daerah terlalu lama memberikan datanya. Saya sering turun ke bawah, banyak daerah itu yang tidak terlalu mudah menemukan warga kurang mampu.
Apa contohnya?
Misalnya saya alokasikan 10.000 orang untuk penerima bansos tunai, ternyata susah. Karena saya bisa pahami, begitu kita buka peluang untuk daerah memberikan data tambahan, itu tidak mudah juga ternyata. Apalagi kalau kita kasih alokasi besar, sehingga ada beberapa daerah yang memberikan datanya terlambat kepada kita. Nah, pada saat terlambat, ini ribut. Kenapa bantuan enggak turun-turun. Baru diumumkan hari ini, besoknya teriak, enggak sabaran, tapi ya memang begitu, mau diapain lagi kan?
Jadi, harapan bagi Kemensos dan daerah menjadikan momentum Covid-19 ini digunakan untuk melakukan pendataan ulang terhadap keluarga-keluarga yang memang layak diberikan bansos. Karena begini, sulitnya itu, dulu keluarga ini mungkin tidak layak diberikan bansos, begitu ada Covid-19 tiba-tiba mereka enggak punya kerjaan dan jadi keluarga miskin baru.
Dengan adanya keluarga miskin baru, apa ada penambahan data jumlah penerima Bansos?
Perluasan [data penerima bansos] itu kita lakukan di awal Maret. Jadi saat itu kartu sembako atau BPNT itu dari 15,2 juta menjadi 20 juta keluarga. Kemudian yang PKH dari 9,2 juta menjadi 10 juta keluarga, itu di Maret ya. Sementara bansos khusus yang sembako dan bansos tunai, itu baru April pertengahan. Karena saya memang ingin bahwa keluarga-keluarga yang sudah dapat bansos regular, ini enggak ada Covid-19 saja, miskin, bagaimana pas Covid-19 ini? Jadi ini yang harus dibereskan dulu, baru setelah itu kita cari keluarga yang membutuhkan bansos khusus yang terdampak Covid-19.
Bagaimana Kemensos menentukan siapa saja keluarga yang berhak menerima bansos bagi masyarakat yang terdampak Covid-19?
Begini ya, ini kadang-kadang saya balikin lagi, saya tanya sama orang, "Coba definisi terdampak Covid-19 itu apa?" Bingung juga mereka. Kita ngomong yang gampang saja. Terdampak Covid-19 itu, gampang, orang yang tadinya bekerja, jadi enggak ada kerjaan dan yang terdampak ini tidak punya tabungan yang cukup untuk menyokong kehidupan sehari-harinya.
Tapi di lapangan instruksinya begini, dari Kemensos ke kabupaten/kota. Misalnya ada salah satu kabupaten, coba saya kasih 50.000 jatah, 50.000 keluarga untuk bansos tunai. Bupati, wali kota, dan dinas sosialnya bekerja. Harusnya dinas sosial turun ke desa atau ke kelurahan, lurah dan kepala desa juga turunin lagi ke RT dan RW. Nah, pada saat di RT/RW ini tidak sinkron dengan dinas sosialnya. Karena begini, anggap misalnya saya RW, saya kumpulin ketua RT-nya, disuruh kumpulin 100 keluarga buat mendapatkan bansos dari Kemensos yang bukan PKH dan bukan BPNT, itu kan juga enggak mudah.
Lantas apa kendala yang terjadi di lapangan?
Kemudian yang banyak begini, pada saat pendataan, kita minta mana ini datanya? Ini yang di bawah belum siap. Ini data belum siap, tapi dinas sosial pakai data yang ada dulu saja, kemudian dikirim ke kita nih. Jadi di bawah sedang pendataan, tapi data lama yang dikirim ke Kemensos. Begitu dikirim ke Kemensos, ya sudah kita oke kan? Karena kita enggak verifikasi dulu segala macem, karena akan lama. Begitu dieksekusi, begitu turun, RT/RW ini bingung, "Loh kok ini bukan data yang kita berikan nih?" Misal dari 100 itu tadi yang sama mungkin cuma 30, jadinya rame.
Makanya memang ini serba mendadak, jadi kalau kita mau sempurna, ya tidak mudah. Pasti ada yang tidak puas. Tapi saya kira karena kita perlu kecepatan. Presiden Joko Widodo juga minta agar kecepatan itu diutamakan. Bahkan presiden bilang kalau ada yang missed satu dua itu wajar, enggak mungkin bisa sempurna. Jadi saya kira ini memang upaya yang tidak mudah, tapi kita learning by doing. Artinya, selama berjalan tiga bulan ini, kita banyak sekali menemukan hal-hal baru yang tidak bisa kita temui di tataran atas.
Kemungkinan pandemi masih akan berlangsung panjang dan kita memasuki era new normal. Bagaimana upaya Kemensos terkait penyaluran bansos bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 di era new normal?
Kami sudah mendapat arahan dari Presiden agar dilanjutkan Juli sampai Desember Bansos tunai dan sembako dengan jumlah yang sama. Hanya nilainya kita kecilkan jadi Rp300.000 per bulan dan berdurasi enam bulan. Kalau ditotal ya sama saja. Kenapa? Karena Juli-Desember ini program pemulihan ekonomi nasional sudah berjalan, dari total stimulus itu Rp405 triliun dinaikkan menjadi Rp677 triliun.
Kemudian perlindungan sosialnya hampir naik dua kali lipat dari Rp110 triliun menjadi Rp203 triliun sekian. Ada cadangan, tapi cadangan jangan dihitunglah, karena ada perpanjangan, ada BLT desa juga, kemudian yang lain-lain juga. Tentunya memang kami juga melihat bahwa sampai Desember ini kondisi ekonomi belum membaik. Oleh karena itu, progran yang sampai Desember sekarang bisa dibilang lebih komprehensif. Dulu kan heavy-nya di kesehatan dan perlindungan sosial. Sekarang ya kesehatan lanjut, perlindungan sosial juga lanjut plus pemulihan ekonomi. Ada untuk UMKM, ada untuk insentif pajak, ada untuk korporasi bahkan ada untuk BUMN.
Artinya, kalau saya lihat di tiga bulan pertama ini, supply-demand side lebih banyak kepada demand. Sebenarnya, bansos-bansos ini bukan sekadar bantuan tapi juga supaya ada demand dari bawah. Ada perputaran uang dari bawah. Tapi supply side-nya kurang, yang sampai Desember ini sudah banyak supply side-nya. Ada insentif dari fiskalnya pajak, ada UMKM, ada yang untuk BUMN juga. Jadi kalau yang saya lihat dari Rp677 triliun itu, hampir 50:50 antara demand dan supply side-nya. Karena kalau cuma demand tapi gak ada supply-nya kan juga jadi inflasi.
Bagaimana dengan masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dari kalangan pekerja seni, organisasi kemasyarakatan, dan komunitas lain. Apakah mereka juga menerima bansos khusus?
Jadi yang kita lakukan itu tidak hanya mengacu pada jalur formal yang dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, tapi kita juga menyamping ke komunitas, misalnya para pekerja seni, para pekerja film. Kita juga merangkul organisasi kepemudaan. Saya baru bertemu dengan unsur dari Pemuda Muhammadiyah, kemarin GP Ansor, Pemuda Katolik, GAMKI, bahkan Pemuda Pancasila juga minta diatensi.
Kita juga rapat dengan Kementerian agama yang minta diperhatikan juga pondok pesantren, kemudian juga Ibu Menakertrans (Ida Fauziah) juga sudah mengirimkan data-data gelombang PHK. Pak Menparrekraf (Wishnutama) dan Pak Menkop (Teten Masduki) juga sudah mengirimkan data.
Jadi memang ini yang istilahnya bukan jalur dari pemda. Karena begini, untuk pekerja film dan kru film, ini sudah hampir empat bulan mereka tidak ada income sama sekali. Bayangkan mereka punya keluarga dan tidak ada income sama sekali itu bagaimana? Makanya begitu saya berbicara dengan artis senior, oke deh berapa saja datanya nanti kita tanggulangi.
Contoh di Surabaya, penyanyi-penyanyi di kafe, kalau kondisi normal mereka tidak perlu bantuan sosial, karena ada pekerjaan. Namun setelah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), otomatis [kegiatan] mati semua, income-nya pun enggak ada. Mereka kan bukan karyawan atau PNS yang tiap bulan rutin dapat gaji. Mereka saya ikutkan ke Pemkot Surabaya juga untuk mendapatkan bansos tunai. Mungkin nilainya enggak seberapa, tapi mereka senang sekali. Sebulan dapat Rp600.000, enggak seberapa tapi mereka senang.
Untuk mencegah penyalahgunaan dalam penyaluran bansos, apa Kemensos melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan jaksa? Selama ini bagaimana sinergisitasnya?
Kami bekerja erat sekali dengan KPK dan Bareskrim Polri. Bahkan saya diundang KPK untuk yang program "jaga bansos", itu program aduan. Saya juga sudah instruksikan agar tiap minggu dari tim Irjen (Inspektorat Jenderal Kemensos) kami untuk melakukan rapat dengan KPK. Kita juga punya saluran pengaduan, KPK juga buka, biar kita nanti pilah-pilih. Karena bisa saja ada 1.000 atau 2.000 pengaduan, bisa saja ada pengaduan yang enggak ada buktinya sama sekali, atau juga bikin ngaco-ngaco juga ada kan.
Apa tindak lanjut untuk pengaduan itu?
Saya minta, pengaduan ini dibikin klaster. Misalnya nanti ada pengaduan terkait tidak tepat sasaran, contohnya orang kaya yang dapet nih. Kemudian mungkin pengaduan kualitas paket sembako, pengaduan terkait pungutan liar, misalnya. Ada urusan gratifikasi di Kemensos, bisa juga. Nanti kita pilih dan kita klaster. Yang paling penting kalau ada pengaduan, tindak lanjutnya seperti apa. Bikin mekanisme-mekanisme pengamanan. Jadi kami sangat apresiasi kepada teman-teman KPK dan Bareskrim yang sering memberikan masukan.
Mengenai di lapangan ada pencatutan, segala macam, ya ada satu dua tapi [jumlahnya] kecil ya. Itu tadi, misalnya ada 100, tapi ada dua yang enggak dapat. Jadi ya kecil sekali, saya beranilah debat untuk itu. Karena kalau 100% sempurna, ya enggak mungkin. Prinsipnya saya selalu sampaikan kalau di Kemensos, penyaluran bansos tunainya ini tertib karena kita menggunakan PT Pos, karena tertib sekali. Datang bawa ID, terus jika penerima orang tua enggak bisa datang, dapat diwakili, KK (kartu keluarga)-nya, bawa KTP (kartu tanda penduduk) juga, bawa surat undangan juga. Setelah penerimaan uang lalu di foto yang langsung masuk ke server PT Pos. Jadi enggak mungkin dicatut, ya.
Instansi atau institusi penyalur Bansos cukup banyak ada dari Kemendes, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota. Apa ada kemungkinan dobel dalam pembagian dilapangan. Bagaimana koordinasi antar-lembaganya?
Ya itu bisa jadi [dobel]. Kalau kita dengan Kemendes sudah sepakat, misal di satu desa dapat bansos tunai Kemensos, BLT, dan dana desa. Kita sudah sepakat bahwa yang diturunkan mesti bansos tunai dulu, kalau dengan Kemendes sudah clear. Setelah itu yang tidak terima bansos tunai, baru dikasih Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Kalau mau gampang lewat Kemensos semua bisa, tapi Presiden tidak mengarahkan seperti itu. Kita terima tugas kita masing-masing, karena kami yakin presiden memutuskan yang terbaik.
Kami berharap kepada daerah-daerah juga seperti itu. Artinya minimal begini, datanya lebih akurat, siapa yang dapat dari Kemensos, siapa yang dapat dari BLT dana desa, siapa yang dapat dari Pemprov atau pemkot dan pemkab. Ini banyak ya, belum lagi yang di luar pemerintahan, ada Baznas, segala macam.
Apa benang merah dari pernyataan Presiden soal permintaan agar bansos diberikan cepat dan tepat sasaran?
Ya, Presiden selalu minta eksekusinya cepat. Hampir tiap rapat Presiden meminta itu. Namun karena contoh untuk penyaluran bansos kita perlu data penerima, sedangkan data penerima ini engggak bisa asal-asalan. Suatu saat kita juga diperiksa [oleh BPK ataupun KPK]. Namun ada daerah yang cepat dan ada juga yang lambat. Akhirnya tidak mungkin seragam, oleh karena itu ke depannya saya berharap daerah agar cepat memberikan data begitu juga kalau ada revisi bisa cepat juga ditarik. Karena tadi ada yang 150 kabupaten/kota itu sudah mau selesai tahap pertama, malah minta kita untuk mengembalikan datanya. Kita enggak mungkin melakukan itu. Ini kan komitmen saya dengan presiden.
Jadi memang tidak mudah, menyangkut orang banyak, menyangkut SDM, menyangkut juga geografis. Kalau bicara yang di kaki bukit, kita harus ke gunung, daerah terpencil tidak bisa disamaratakan, karena Indonesia bukan negara kontinental yang daratan semua.
Bagaimana Kemensos melaksanakan aktivitas kerja di era new normal ini?
Kami sesuaikan dengan edaran Kemenpan-RB bahwa agar kapasitas jumlah yang bekerja itu tidak lebih dari 60%. Jadi misalnya kalau di kantor ini ada 1.000 orang, berarti yang kerja tidak boleh lebih dari 600 orang. Ini kita sudah susun titik-titiknya, ngantre, tempat duduk segala macam, kemudian masker dan jaga jarak aman. Masuk ke kantor dengan lebih dulu dilakukan disinfektan.
Nanti dari yang 60% pegawai yang masuk itu nanti kita susun siapa saja yang akan di kantor, eselon I, eselon II. Menteri ya WFO (work from office) pasti, karena enggak mungkin kan WFH (work from home), kemudian kepala satker (satuan kerja) itu WFO, kemudian eselon II ke bawah yang berhubungan langsung dengan penyaluran bansos ya dia harus WFO. Itu sedang disusun prodsedur-prosedur seperti itu.
Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, apa ada pemikiran untuk bansos juga diarahkan kepada hal-hal yang produktif, sehingga ada kombinasi dengan lembaga lain untuk pemulihan ekonomi?
Jadi di rapat terbatas beberapa waktu lalu, presiden sudah menyatakan agar mengkonsolidasikan semua program Bansos yang ada di kementerian social. Namun yang sekarang sedang berjalan, ada di Kemensos, ada di Kemendes, ada di daerah-daerah. Ke depan memang arahan Presiden juga jelas bahwa kita harus bisa memetakan ulang lagi. Ini bukan hanya menyangkut bansos Covid-19 ya, bansos yang reguler seperti PKH sudah rutin jalan. Kalau yang bukan murni bansos dengan unsur pemberdayaan, itu sebenernya ada ya, kalau Covid-19 ini enggak ada.
Kita punya Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, di mana ada program pemberdayaan, misalnya memberikan hibah untuk unit ekonomi prduktif untuk 10 orang atau sekian orang. Tapi karena ada realokasi anggaran, jadinya kita berfokus untuk Covid-19. Tapi memang sebelum ada Covid ini saya sudah bikin road map-nya. Artinya, seorang penerima bansos itu bisa graduasi. Semua kita kasih bantuan tetap, tapi lama kelamaan bantuannya berubah, harus sifatnya kepada pemberdayaan ekonomi, apakah bentuknya usaha mikro, atau kerja sama dengan misalnya dengan BUMN-BUMN dengan PNM. Cuma, ya begitu kena Covid-19 tidak jalan semua, fokusnya membantu masyarakat.
Ada yang berpendapat, pemberian bansos berupa bantuan tunai langusng atau uang membuat orang konsumtif. Sebaiknya bansos diberikan dalam bentuk sembako. Bagaimana pendapat Anda?
Begini, pertimbangannya itu yang bansos Rp600.000 itu untuk di luar Jabodetabek. Tidak terbayang bagaimana mengatur pemberian sembako ke seluruh Indonesia? Pengadaannya juga tidak akan gampang, siapa juga yang sanggup? Tidak ada perusahaan yang sanggup. Itu tidak karuan nantinya, makanya bansos kita kasih tunai.
Sementara kalau di DKI yang Rp 600.000 dalam bentuk tunai, mohon maaf nilainya kecil, karena kita tahu standar hidupnya tinggi. Tapi kalau di daerah pemilihan saya di Jawa Tengah I, itu mungkin dia tidak mau Rp 600.000. Kebanyakan, bingung dia. Bahkan minta ke saya, "Rp 600.000 itu bisa dibagi tiga enggak?" Ya, saya bilang enggak boleh dong.
Begitu juga dengan yang gelombang kedua ini nanti, Rp300.000. Mohon maaf lagi, jumlahnya kecil sekali untuk di DKI. Tapi berbeda kalau dalam bentuk makanan, ya. Kalau bentuk makanan kan berasnya bisa 10 kilogram, ada minyak gorengnya, ada sardennya, ada yang lain jadi yang makan bisa ramai-ramai. Bahkan beberapa saya lihat bisa dibagi ke tetangga yang tidak dapat bantuan. Sementara Rp300.000 buat penerima di DKI ini, tiga-empat hari juga habis buat makan. Jadi pertimbangannya itu juga ya, memang standard of living-nya itu ya Jabodetabek. Makanya itu kenapa saya usulkan di Jabodetabek itu sembako dan di luar Jabodetabek tunai.