Home Internasional Kabar Rusia Membajak Brexit

Kabar Rusia Membajak Brexit

Parlemen Inggris menemukan fakta bahwa Rusia terlibat dalam dua referendum di Inggris. Memicu kontroversi karena tidak langsung diungkap ke publik dan tidak ada usaha Pemerintah untuk mencari fakta mendalam. PM Boris Johnson menyanggah temuan itu.   


Laporan komite intelijen dan keamanan parlemen Inggris, Intelligence and Security Committee (ISC), yang kemudian bocor ke publik lewat situs Guido Fawkes pada Selasa pekan lalu membikin gaduh masyarakat Inggris. Ada dua kesimpulan yang menjadi sorotan dari dokumen yang sebenarnya sudah selesai dibuat pada Maret tahun lalu itu.

Pertama, Rusia ikut campur dalam referendum Skotlandia 2014. Kedua, Pemerintah Inggris gagal menggali cukup dalam tentang kemungkinan campur tangan Kremlin dalam pemilihan Brexit 2016. "Ada komentar sumber terbuka yang kredibel yang menunjukkan bahwa Rusia melakukan kampanye pengaruh, sehubungan dengan referendum kemerdekaan Skotlandia pada 2014," tulis laporan tersebut.

Diketahui, pada 18 September 2014, penduduk Skotlandia melakukan pemungutan suara terkait kemerdekaan mereka. Hasil yang diumumkan keesokan harinya menyatakan bahwa 55% pemilih mendukung Skotlandia tetap menjadi bagian dari Inggris Raya.

Di sisi lain, dikatakan ada indikasi sumber terbuka bahwa Rusia berusaha memengaruhi kampanye Brexit, tetapi, seperti dilansir Al Jazeera pemerintah Inggris belum mencari bukti mendalam tentang campur tangan itu. Bahkan setelah muncul bukti campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden AS dan referendum Skotlandia.

Ketika diminta bukti tentang dugaan campur tangan Rusia dalam pemungutan suara, badan intelijen utama Inggris MI5 hanya menghasilkan enam baris teks, begitu kesimpulan komite dalam dokumen itu.

"Meskipun demikian, pandangan Komite bahwa Badan Intelijen Inggris harus menghasilkan penilaian soal potensi gangguan Rusia dalam referendum Uni Eropa dan bahwa ringkasan yang tidak diklasifikasikan itu dipublikasikan," begitu bunyi laporan tersebut.

Laporan itu menyebut Rusia sebagai kekuatan lawan yang menimbulkan ancaman signifikan bagi Inggris dan Barat di berbagai bidang. Dari spionase dan serangan dunia maya, hingga campur tangan pemilu dan pencucian uang kotor.

"Tampaknya Rusia menganggap Inggris sebagai target intelijen Barat nomor satu," masih menurut laporan itu.

Para penulis laporan menyimpulkan bahwa pertanyaan serius perlu ditanyakan mengapa menteri tidak melihat masalah ini.

Di situ laporan itu juga menyebut pembunuhan Alexander Litvinenko dan pencaplokan Crimea sebagai indikator mencolok tentang kurangnya kepatuhan Rusia terhadap hukum internasional.

***

Anggota Parlemen Skotlandia yang juga anggota ISC yang berpengaruh di parlemen Inggris, Stewart Hosie, mengatakan pihaknya terkejut Pemerintah Inggris tidak melihat kemungkinan campur tangan Rusia.

Dia menambahkan, Downing Street secara aktif menghindari melakukan penyelidikan itu karena mereka tidak mau tahu. Langkah yang dia nilai sangat kontras dengan respons Amerika Serikat terhadap gangguan yang dilaporkan dalam pemilihan presiden 2016.

Seperti dilaporkan Euro News, Hosie mengatakan bahwa Rusia telah mencoba untuk meragukan kebenaran hasil referendum pemisahan diri Skotlandia dalam upaya untuk melemahkan Inggris di mata rakyat Rusia.

Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, menolak klaim bahwa pemerintah telah menghindari penyelidikan Rusia. "Kami memiliki periode panjang untuk mendalami ancaman dan signifikan yang ditimbulkan oleh Rusia," katanya.

Perdana Menteri Boris Johnson pada Rabu pekan lalu menyangkal setiap tudingan bahwa suara Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa telah dipengaruhi oleh campur tangan Rusia. Pemerintah menolak setiap kritik dan mengatakan laporan itu tidak perlu untuk ditinjau lebih lanjut.

Pemerintah mengatakan telah mengambil langkah-langkah sejak peninjauan, yang selesai pada Maret 2019, dan akan mengajukan undang-undang untuk melawan aktivitas negara asing yang bermusuhan untuk menangani lebih efektif saat muncul ancaman spionase, tulis Reuters. "Orang-orang di negara ini tidak memilih untuk meninggalkan Uni Eropa karena tekanan dari Rusia atau campur tangan Rusia. Mereka memilih karena mereka ingin mengambil kembali kendali," kata Johnson di hadapan parlemen.

Dalam referendum 2016, 52% mendukung keluar UE dan 48% bersikeras tetap tergabung di UE.  Status Inggris lepas sepenuhnya dari UE pada Jumat pukul 23.00, 31 Januari 2020. Inggris bergabung dengan Uni Eropa sejak 1973.

"Justru Inggris-lah yang memimpin dunia untuk berhati-hati soal campur tangan Rusia," kata pria yang kerap berkampanye mendorong Brexit tersebut.

Juru bicara untuk pemimpin Partai Buruh, Keir Starmer, mengatakan partai oposisi utama memiliki keprihatinan mendalam tentang kurangnya keseriusan dalam tanggapan PM. Johnson karena menunda penerbitan laporan selama lebih dari satu tahun.

Sementara itu, Kremlin mengatakan Rusia tidak pernah ikut campur dalam proses pemilihan negara lain. Rusia telah berulang kali membantah campur tangan di proses demokrasi Barat. Mereka mengklaim Amerika Serikat dan Inggris dicengkeram oleh histeria anti-Rusia.

"Rusia tidak pernah ikut campur dalam proses pemilihan negara mana pun di dunia, bukan Amerika Serikat, bukan Inggris, atau negara lain," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.

Sedangkan juru bicara Kementerian Luar Negeri, Maria Zakharova, menyebut laporan itu sebagai "Russophobia dalam bingkai palsu".

***

Hubungan antara London dan Moskow kini jatuh ke posisi terendah pasca-Perang Dingin. Dulu, Inggris menyalahkan Rusia karena meracuni mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal, dan putrinya, Yulia, dengan zat kimia penyerang saraf di Kota Salisbury, Inggris.

Laporan terbaru soal campur tangan Rusia di Brexit ini pun mengundang kontroversi lain. Pada halaman pembahasan referendum UE, laporan itu telah diedit dan ada lampiran rahasia yang tidak dipublikasikan.

Masalah campur tangan Rusia di Inggris ini juga semakin pelik, di mana ISC juga menyebut Rusia sebagai sumber uang tidak halal di London, yang dikenal sebagai ibu kota keuangan internasional utama dunia.

"Inggris menyambut uang Rusia. Jika ada beberapa pertanyaan yang muncul, yakni tentang asal muasal kekayaan yang besar ini," kata laporan itu. "Inggris telah dipandang sebagai tujuan yang sangat disukai oligarki Rusia dan uang mereka."

ISC menyimpulkan uang kotor dari Rusia kemduain dicuci di Inggris."Ini menawarkan mekanisme ideal di mana keuangan gelap dapat didaur ulang melalui apa yang disebut sebagai tempat pencucian uang London," kata laporan itu.

Flora Libra Yanti

 

-----------POINTERS & KUTIPAN -------------

 

Tampaknya Rusia menganggap Inggris sebagai salah satu target intelijen Barat nomor satu.

 

"Orang-orang di negara ini tidak memilih untuk meninggalkan Uni Eropa karena tekanan dari Rusia atau campur tangan Rusia.

Boris Johnson

 

“Laporan intelijen itu adalah Russophobia dalam bingkai palsu.”

Maria Zakharova

 

----------BOKS -------------

 

Habis Brexit Terbitlah Italexit

 

Seorang senator Italia membentuk partai politik yang bertujuan untuk membawa Italia keluar dari Uni Eropa (UE). Momen ini tepat setelah Roma meraih kesepakatan besar dana pemulihan pandemi Covid-19 dari UE. Mereka bersiap mengucurkan 750 miliar euro (sekitar Rp12.731 triliun), yang sebagian besar akan diberikan pada Italia.

Gianluigi Paragone, mantan jurnalis TV, mempresentasikan partainya "Italexit" pada Kamis, 23 Juli lalu, dua hari setelah pertemuannya di London dengan ketua Partai Brexit, Nigel Farage, yang berperan penting dalam keputusan Inggris untuk keluar dari UE.

Paragone menunjuk sebuah survei oleh lembaga survei Piepoli Institute pada akhir Juni, yang menyimpulkan bahwa sekitar 7% orang Italia kemungkinan akan memilih partai yang berkampanye untuk meninggalkan UE. "Konsensus hanya akan tumbuh lebih jauh, sejalan dengan kebohongan Eropa kepada kita," katanya, seperti dilansir Al Jazeera.

Analis politik dan pakar jajak pendapat Renato Mannheimer mengatakan, perasaan orang Italia terhadap UE telah terombang-ambing luas selama beberapa bulan terakhir. Meskipun warga Italia tetap menjadi negara yang paling sedikit mempercayai Brussels, pusat adminstrasi UE.

"Kebanyakan orang Italia tidak ingin meninggalkan UE. Hanya sekitar 30% --meningkat menjadi 40% dalam beberapa saat-- yang mengatakan "ya" untuk keluar," kata Mannheimer kepada kantor berita AFP.

Alhasil, dia tidak percaya partai Paragone dapat membangun pengikut yang cukup besar untuk Italexit.

Flora Libra Yanti

 

-------------g -----------