Saling memberi rasa hormat itu nilai yang berlaku universal. Rasa hormat juga tidak berhenti hanya oleh sebuah kematian. Di kalangan masyarakat Jawa tradisional ada ungkapan “mikul duwur mendhem jero”, yang merujuk pada cara penghormatan yang dianggap patut bagi orang yang dituakan, atau orang yang yang memiliki kredensial sosial di masyarakat.
Ungkapan mikul duwur mendem jero itu sendiri adalah value yang yang berangkat dari realitas praksis dan operasional. Memberi hormat kepada kanjeng sinuwun itu dengan memikul tandu setinggi bahu, tidak boleh hanya dijinjing di atas lutut. Menggali makam hanya satu semeter itu jelas akan dianggap kurang ajar. Seisi kampung bisa ngamuk. Menggali kubur itu setidaknya 1,5 meter. Lebih boleh.
Orang mati juga perlu dihormati, sebagaimana yang hidup. Norma itu dijaga oleh institusi paguyuban di desa, di kampung-kampung, meski tidak semuanya bisa berjalan dengan sempurna. Sebagai kelompok sosial yang berbasis ikatan batin (berasosiasi dengan tempat tinggal, asal usul) dan punya relasi timbal-balik di antara sesamanya, paguyuban dipercaya akan memberikan rasa hormat yang sepatutnya pada warganya yang meninggal.
Ketika di masa pandemi ini, urusan pemakaman (bagi mereka yang positif Covid-19 atau suspek), diambil alih oleh lembaga patembayan (formal), persoalan menjadi kacau. Terjadi aksi penyerobotan jenasah di Surabaya, Pasuruan, Makassar, Gowa dan banyak tempat lainnya. Ujungnya, kriminalisasi.
Yang mengemuka dalam realitas media, sebatas gambaran seolah ada dispute soal status medis. Pihak keluarga tak mau menerima fakta bahwa almarhum “terkonfirmasi positif”, setidaknya suspek . Namun, karena diyakini jenasah itu positif atau suspek dan berpotensi menjadi carrier virus, pemakaman harus ditangani lembaga resmi. Tentu dengan SOP resmi pula: jenasah dibungkus plastik, dimasukkan dalam peti berlapis plastik, peti dipaku lalu dilapisi plastik lagi. Setelah itu, kubur secepat mungkin.
Tim penguburan, yang mewakili kelompok patembayan, enteng saja membawa jenazah ke liang kubur. Tanpa empati, tanpa doa-doa, dan tanpa untaian melati. Pokoknya, angkut lalu ‘’blung” saja, masuk ke liang kubur. Enggak kenal ini, nggak ada relasi timbal balik. Yang penting cepet selesai, lalu lapor ke atas : ‘’Boss, mission is accomplished’’. Mikul duwur mendem jero sama sekali tidak berlaku.
SOP itu yang menjadi biang sengketa sosial. Bukan saja diperlakukan sebagai kriminal, para penyeborot peti jenazah itu juga dibego-begoin orang se-Indonesia. Apa itu adil? Rasanya tidak.
Yang jadi sumber masalah justeru SOP pemulasaraan itu sendiri. Enggak pakai hati. Terlalu paranoid, dan celakanya basis sains-nya juga remang. Buat apa jenazah harus dibebat plastik mirip mumi seperti yang heboh di medsos tempo hari? Habis itu dimasukkan ke peti berlapis plastik, lalu peti diplastikin lagi. Duh, keterlaluan.
Bahwa jenazah korban Covid-19 bisa jadi sumber infeksi baru, ya ialah. Namun, apa itu berarti jenazah harus diperlakukan seperti mumi? Di Inggris jenazah dibungkus kain (mirip kafan), dimasukkan ke dalam kantung plastik, kemudian ditempatkan ke dalam peti yang berlapis plastik di bagian dalamnya. Di luar tidak. Cukup.
Pihak keluarga dan kerabat boleh berkirim doa, meletakkan kembang, atau menuliskan pesan di papan peti yang berada di ruang persemayaman. Pemulasaaraannya pun boleh dihadiri keluarga dan kerabat, dengan physical distancing tentunya. ‘’We serve the decesaed person with a dignity and respectfully,’’ kata seorang relawan di sebuah funeral house. Hal serupa terjadi di negara Eropa yang lain dan di AS.
Bukan hanya di funeral house saja , keluarga boleh melakukan prosesi ritual di depan jenazah. Bagi para fakir miskin yang tak bisa menyewa layanan rumah duka, yang di New York tarifnya US$3.400 (tapi ada subsidi separuh selama pandemi), Pemkot memberi kesempatan prosesi di pekuburan seraya menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Di Indonesia prosesi cepat pun sulit. Bahkan, ada yang harus dimakamkan malam hari. Padahal, tak ada bukti bahwa virus Covid-19 bisa menembus peti. SOP yang paranoid itu yang memantik terjadinya aksi “pemberontakan” kaum paguyuban. Mereka tidak rela pemulasaraan dilakukan sekenanya, asal cepat.
Mitos dan Teror
Saya pernah mempertanyakan isu inikepada Prof. Dr. Pratiwi Sudarmono, pakar biologi molekuler dari UI yang juga aktif di Gugus Tugas Covid19. Prof. Pratiwi mengakui sejumlah SOP dibikin hanya berdasarkan asumsi para dokter. Tujuannya baik untuk perlindungan. Tapi, tanpa bukti empirik, itu ya mitos.
Namun, mengapa urusan sederhana itu hanya disandarkan pada sebuah asumsi. Kini tidak sulit untuk mengecek bisa ada virus keluar dari peti jenazah. Asal mau, penelitian itu sepele. Tinggal oleskan saja kapas ke peti mati, masukkan kedalam medium virus lalu dicek biakannya di PCR. Apalagi, perkakas PCR kini sudah ada di 140 lab lebih dengan kapasitas hampir 30 ribu spesimen per hari.
Yang sering terjadi, setelah ada insiden perebutan jenazah, para “perusuh” diperiksa swab. Bila positif Covid-19, bergulir mitos baru, mereka tertular oleh jenazah almarhum. Padahal, logikanya bisa terbalik, almarhum tertular oleh lingkungannya dan karena kondisinya rentan, ia yang menjadi korban.
Banyak mitos lain yang berseliweran di lingkungan kita. Ada potensi droplet bervirus di kereta komuter, di angkot, di stasiun, di atas uang recehan, dan seterusnya. Mungkin saja semua benar. Tapi, seberapa besar orang menemui probabilitas tertimpa virus di area publik. Lagi-lagi, tak ada data empiris menyangkut droplet di kereta api, baju penumpang, di handel pintu angkot.. Mitos itu dibiarkan menteror publik.
Mitos itu pun mengalami dramatisasi di kamar jenazah. Di situ almarhum dibebat plastik dan buru-buru dikubur. Sementara, ribuan pasien Covid-19, yang tentu menurut asumsi dokter adalah pembawa virus, dibiarkan menjalani perawatan isolasi mandiri karena hanya mengalami simtom ringan. Tidak ada SOP pengawasan yang ketat. Lembaga paguyuban dianggap tidak berhak tahu (alasannya stigmatisasi).
Ada kontradiksi yang telanjang. Ada inkonsistensi yang bikin penasaran.
Putut Tri Husodo (Wartawan)