Jakarta, Gatra.com - Pandemi Covid 19 yang menginfeksi dunia sejak akhir tahun 2019 telah menggerus perekonomian global dan mengubah peta produksi dan daya saing minyak nabati. Tidak hanya produksi minyak kedelai yang menjadi komoditas unggulan negara barat yang terdampak pandemi, keberadaan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang hampir dalam satu dekade terakhir mendominasi pasar minyak nabati dunia ikut terdampak.
Saat ini pertumbuhan domestik menjadi harapan bagi serapan produksi minyak sawit Indonesia. Meski demikian, pasar ekspor juga patut terus dikembangkan dengan beragam strategi. Hanya saja, sebagai minyak nabati yang kompetitif, keberadaan minyak sawit justru menjadi lebih kuat dibanding minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari dan rapeseed oil.
Oleh karenanya, untuk menjaga agar komoditas strategis tetap berdaya saing, seluruh pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit perlu menjaga keberlangsungan penyerapan pasar domestik sekaligus tetap mendorong kinerja ekspor minyak sawit.
“Perkebunan besar baik swasta maupun negara memberikan kontribusi terbesar terhadap peningkatan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Sebaliknya perkebunan rakyat memiliki produktivitas yang lebih rendah,” tutur mantan Ketua Wantimpres, Prof. Sri Adiningsih, dalam Webinar yang diadakan Forum Jurnalis Sawit (FJS) bertajuk “Mendongkrak Pasar Domestik dan Ekspor Minyak Sawit Indonesia,” pada Rabu (22/7).
Dari segi produktivitas kelapa sawit cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun namun relatif meningkat selama periode 2014-2020 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 0,37% per tahun. Untuk komposisi pemilik perkebunan kelapa sawit saat ini sekitar 41% dikelola oleh masyarakat, dan sekitar 54,8% dikelola oleh perkebunan kelapa sawit besar swasta, dan sisanya sebanyak 4,3% dikelola perusahaan plat merah.
Tercatat, Provinsi Riau berada di posisi pertama dalam daftar daerah yang memiliki kebun sawit terluas di Indonesia mencapai 2,80 juta ha pada 2019, atau sekitar 19% dari luas areal sawit di Indonesia dan posisi kedua dan ketiga ditempati Provinsi Kalimantan Barat seluas 1,86 juta ha dan Kalimantan Tengah sekitar 1,68 juta ha.
Pada 2018 tercatat 65% dari total produksi CPO Indonesia diekspor, dan sisanya dikonsumsi di dalam negeri. “Nilai ekspor sawit dan kontribusinya jauh lebih tinggi dari komoditas strategis lainnya yang dapat diartikan sebagai nilai plus dari kinerja industri sawit nasional relatif terhadap industri komoditas strategis lainnya,” tutur Sri yang saat ini menjabat Komisaris Indosat Ooredoo.
Dirinya menerangkan selama masa pandemi perlu ada transformasi industri kelapa sawit yang akhirnya mendorong gaya hidup dan ekonomi di dunia mulai berubah. Sebab itu dibutuhkan perubahan mindset kelapa sawit, dari bisnis perkebunan ke indsutri pengolahan kelapa sawit. Termasuk sektor bioenergi adalah masa depan bisnis kelapa sawit. “Indonesia berpotensi menjadi produsen bioenergi terbesar di dunia, tetapi mesti dicari formula DMO dan cap pricing yang kompetitif dan menarik,” katanya.
Di kesempatan yang sama, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN), Kementerian Perdagangan, Dr. Kasan, minyak sawit mentah dan turunannya memiliki peran penting terhadap ekspor non migas, misalnya pada Januari hingga Mei 2020, ekspor CPO dan turunannya mencapai US$7,6 miliar dan mampu memberikan kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar 12,5%. Secara nilai ekspornya meningkat dari tahun sebelumnya. Namun demikian terdapat penurunan pangsa ekspor pada periode 2017-2019. “Kita perlu mewaspadai tren penurunan pangsa ekspor sawit Indonesia yang terjadi dalam tiga tahun belakangan ini,” tutur Kasan.
Sementara total ekspor bulanan CPO dan produk turunannya tercatat anjlok semenjak merebaknya wabah virus corona (Covid-19), dimana ekspor CPO dan produk turunannya melemah sejak awal Januari 2020. Kondisi demikian menyebabkan penurunan yang cukup dalam jika dibandingkan bulan Desember 2019. Kasan menjelaskan tercatat nilai ekspor minyak sawit Indonesia dan turunannya pada 2019 mampu mencapai US$15,98 miliar, atau sekitar 53,5% pangsa pasar dunia. Nilai ini turun 12,32% dibanding pada periode yang sama tahun lalu sementara tren ekspor sepanjang periode 2015-2019 tercatat melorot 0,04%.
Dari informasi Kementerian Perdagangan, terdapat 5 negara tujuan pasar minyak sawit asal Indonesia, yakni Cina dengan nilai pasar sekitar US$ 3,1 miliar, lantas disusul India mencapai US$2,3 miliar, Pakistan sekitar US$1,17 miliar, Malaysia mencapai US$ 820,9 juta dan Bangladesh sejumlah US$ 710,8 juta. Dimana untuk ekspor produk utama sawit yaitu RBD Palm Olein masih mengalami tekanan.
Ekspor RBD Palm Olein anjlok cukup dalam pada periode Januari-Mei 2020 bila dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu, khususnya secara volume dengan penurunan mencapai 28,1%, atau turun dari 4,92 juta ton menjadi 3,54 juta ton. “Sementara itu, nilai ekspor RBD PO turun 10,4% atau turun dari US$ 2,64 miliar menjadi US$ 2,37 miliar,” pungkas Kasan.