Pekanbaru, Gatra.com – Wajah lelaki paruh baya ini nampak berbinar, bibirnya yang dihiasi kumis tebal itu berulang kali sumringah.
Kemarin, hampir dua jam di kantornya di kawasan Menteng Jakarta Pusat, menjadi tak terasa saat dia mendapati banyak masukan berharga dari tetamu istimewanya; keluarga besar Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo).
"Semua masukan ini sangat berharga dan mempermudah pekerjaan kami. Lantaran itu saya berharap, diskusi bermanfaat semacam ini bisa rutin diagendakan. Kami sangat butuh masukan yang konstruktif, sebab kami ingin Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bergerak lebih cepat," kata Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Mantan Sekretaris Menko Perekonomian ini ditemani dua direkturnya; Sunari dan Edy Wibowo.
Bagi Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, ketemu dengan Eddy menjadi teramat penting lantaran dia menengok, Eddy yang mantan Dirjen Bea Cukai itu sangat serius mengurusi kepentingan petani kelapa sawit.
"Sepanjang tahun ini, BPDP-KS nampak semakin gesit merealisasikan sederet program bagi petani. Baik itu soal PSR maupun beasiswa anak petani dan buruh tani serta sarana prasarana (sarpras). Itulah makanya kami, sangat mengapresiasi dan hormat kepada Pak Eddy dan timnya," Lelaki 47 tahun ini memandang lekat wajah Eddy.
Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino, Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara (Dewan Pembina), Syaipul Bahari dan Dr. Tri Chandra (dewan pakar) yang ikut menemani Gulat, juga memandangi Eddy.
Gulat kemudian cerita bahwa pada Mei hingga Juni, DPP Apkasindo menggelar 9 sesi diskusi webinar. Di tiap sesi, tak kurang dari 280 peserta yang berasal dari 117 kabupaten/kota se-Indonesia menjejali ruang webinar itu.
Dan sepanjang diskusi digelar, sederet unek-unek petani berseliweran. Mulai dari persoalan PSR, hilirisasi, sarana dan prasarana hingga beasiswa.
Di PSR misalnya. Peserta PSR masih kesulitan mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) meski mereka berasal dari Koperasi grade A. Artinya, segala persyaratan yang dibutuhkan untuk PSR, clear and clean.
Kesulitan ini muncul lantaran bank terkesan mengabaikan kemampuan petani. Padahal kalau dihitung-hitung, nilai aset petani rata-rata Rp80 juta per hektar.
Uniknya, pinjaman KUR mentok, petani justru disodori pinjaman bunga komersial. Lantaran pohon kelapa sawit sudah kadung ditebang, mau tak mau petani legowo meminjam duit bunga komersil tadi.
"Kenyataan ini menjadi berbanding terbalik dengan Presiden yang berkali-kali menyebut kalau dana KUR 7% akan menjadi dana pendamping PSR. Setiap launching PSR, Presiden menyebut itu. Kami berharap, Pak Eddy berkenan mengkomunikasikan masalah ini kepada bank penyalur biar petani PSR dipermudah mengakses dana KUR itu. Bisa juga kok dibikin skema KUR khusus untuk petani PSR,” ujar Gulat.
Dana KUR itu kata Gulat sangat penting untuk kelanjutan PSR di tahapan P1 sampai P3. Sebab dana bantuan PSR yang Rp25 juta per hektar yang per 1 Juni 2020 sudah dinaikkan menjadi Rp30 juta, hanya cukup untuk P0. "Tahapan P1 hingga P3 itu adalah tahapan perawatan tanaman sampai menjelang menghasilkan (panen). Kalau duit KUR ini tidak dapat terealisasi, tujuan PSR memperbaiki produktivitas sawit petani akan terganggu," tegas Gulat.
Masih soal PSR, sampai sekarang banyak petani kesulitan ikut PSR lantaran kebunnya terjebak dalam status kawasan hutan. Padahal pohon kelapa sawitnya sudah berumur di atas 20 tahun.
"Kami sangat berharap pemerintah hadir menyelesaikan status kawasan ini, sebab PSR ini program strategis pemerintah," pinta Gulat.
Lantas soal program sarpras, hingga saat ini petani sangat mengharapkan dukungan BPDP-KS. Mulai dari alat transportasi khusus untuk mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) dan pembangunan Pabrik Kelapa Sawit.
"Untuk kebun yang dekat dengan sungai, bisa saja dibantu kapal bermotor. Kalau yang semacam ini ada, tentu akan bisa menekan biaya produksi," ujar Gulat.
Yang juga sangat hangat dibicarakan pada diskusi webinar itu kata Gulat adalah PKS tadi. sebab sampai sekarang, belum ada PKS khusus petani. Padahal luas lahan kebun kelapa sawit petani sudah hampir sama dengan luas kebun perusahaan.
"Kami berharap BPDP-KS membikin terobosan. Kalau PKS petani ada, ini akan menjadi percontohan untuk menopang harga TBS di tingkat petani. Dan PKS ini juga akan sangat bisa membantu pemenuhan kebutuhan CPO untuk bahan bakar terbarukan. Ini sangat strategis," wajah Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini nampak serius.
"Roh PSR adalah intensifikasi, tidak menambah luasan. Ini berarti, lewat PSR, produktifitas sawit petani akan naik 4-5 kali lipat. Lonjakan ini harus diantisipasi dengan menghadirkan PKS milik petani. Kalau PKS petani terwujud, maka ‘pecah telur’ lah program sarpras ini. Soalnya sudah 5 tahun BPDP-KS berdiri, tapi duit sarpras ini enggak cair-cair. Pak, sudah saatnya petani menjual CPO, tidak lagi TBS. Kami petani pengen move on, naik kelas dengan data base yang lengkap dan digital," kandidat doktor lingkungan ini kembali memandangi Eddy.
Panjang lebar akhirnya Gulat menceritakan semua keluhan para petani sepanjang webinar itu. "Soal PKS tadi, ada sederet lokasi yang ideal dijadikan pilot project. Bisa di daerah Mamugo, Kabupaten Rokan Hilir, Riau dan Sulawesi Barat. Daerah Mamugo tidak jauh dari Refineri Unit II Pertamina Dumai, jarak tempuhnya cuma 1 jam. Hasil dari PKS ini tentu enggak sulit diantar ke pertamina," Rino menambahkan.
Apkasindo kata Rino sangat mendukung program ketahanan energi dalam negeri. Dengan mendukung program itu, petani yang belum ISPO tetap masih bisa bernapas lega lantaran produksinya tak perlu di ekspor. Cukup dikonsumsi dalam negeri," tegas auditor ISPO ini.
Erro Kusnara sendiri justru mengulik soal beasiswa. Mantan Danrem 031 Wira Bima ini berharap anak-anak petani sawit dapat terwakili dalam program itu.
"Perlu dipertimbangkan azaz keterwakilan, baik berdasarkan daerah maupun profesi orangtuanya. Persyaratannya jangan ribet-ribet lah. Sebab program ini sangat bisa jadi batu loncatan anak petani untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka. Tujuan lainnya, anak petani peserta beasiswa bisa diberdayakan membantu program PSR. Mereka jadi tenaga pendamping,” katanya.
Terlepas dari semua unek-unek tadi kata Gulat, sepanjang webinar berlangsung,"Petani akhirnya benar-benar mendapatkan sosialisasi dan edukasi soal PSR, Pajak, Administrasi Pelaporan PSR, implementasi dan pengelolaan PSR secara Good Agriculture Practise (GAP). Puncaknya petani sangat puas setelah pada sesi akhir, Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo, Jend TNI (Purn) Moeldoko, hadir di webinar itu," urai ayah dua anak ini.
Imbas dari diskusi 9 sesi itu, petani semakin paham soal PSR. Mulai dari persyaratan hingga teknis pengerjaannya. "Dan gara-gara diskusi webinar ini pula, secara tidak langsung petani naik kelas lantaran mereka sudah bisa memanfaatkan teknologi saat mengikuti diskusi," Gulat tertawa.
Mendengar semua unek-unek dan masukan tadi, Eddy menarik napas panjang. "Yang jelas, progam PSR ini bertujuan mulia untuk membantu pengentasan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat daerah sentra sawit. Lewat PSR ini, produksi petani harus setara dengan produksi korporasi," ujarnya.
Selain itu, BPDP-KS juga kata Eddy sangat konsen dengan program biodiesel yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Program ini sangat penting menjaga stabilitas harga sawit di dalam negeri.
"Kebijakan B30 Presiden Jokowi ini sangatlah visioner dan baik sekali untuk membantu sektor industri sawit apalagi dalam kondisi sekarang," katanya.
Gulat sangat mendukung omongan Eddy tadi. "Program B30 musti dilanjutkan. Sebab efek positifnya nyata dirasakan petani sawit. Kalau ada pihak yang mengecam B30 dan pungutan ekspor, saya bisa bilang mereka itu bukan petani. Lantaran mereka bukan petani, tentu mereka enggak akan pernah merasakan manfaat pungutan ekspor itu," sindir Gulat.
Abdul Aziz