Wabah membuat hidup berubah. Kenormalan baru ditempuh meski berisiko. Meski belum ada petunjuk jelas dalam menjalankan kenormalan baru, kuncinya ada pada efektivitas bauran kebijakan yang menjadi pijakan.
Gatra Review - Ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi global, membuat sejumlah negara mulai memikirkan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Terlalu lama roda perekonomian stagnan, jika tidak segera bergerak, malah ketinggalan. Namun terlalu cepat melonggarkan aktivitas ekonomi juga berpotensi membuat kurva penularan meninggi. Keadaan inilah yang kemudian membuat pemerintah merasa perlu mengambil keputusan terkait pemulihan ekonomi.
Presiden Joko Widodo kemudian mengumumkan 102 daerah akan menerapkan kondisi kenormalan baru. Keputusan yang harus disikapi hati-hati, karena kenyataan di lapangan masih banyak temuan ragam masalah dari cara pemerintah menangani pandemi. Jauh sebelum Jokowi mengumumkan kepada publik soal langkah kenormalan baru, sempat beredar pesan berantai terkait langkah-langkah pemulihan ekonomi pemerintah yang dilaksanakan secara bertahap.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Iskandar Simorangkir, menjelaskan bahwa pesan berantai itu sumbernya dari paparan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sebuah forum. Materi itu kemudian difoto dan diedarkan salah satu peserta. Tahapan-tahapan pemulihan ekonomi dalam edaran itu, diakuinya sedang dikaji serius. Sama halnya dengan langkah-langkah yang diambil negara lain di dunia. Indonesia harus memiliki strategi juga untuk bangkit dan dijalankan dalam masa pandemi.
Tahapan itu, menurutnya masih kajian awal, sebagai antisipasi dalam mengambil langkah yang diperlukan. Terlepas dari upaya strategis yang sedang disiapkan, Airlangga menilai bahwa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdampak pada membaiknya indikator ekonomi pada Juni, setelah mencapai titik terendah pada Mei 2020. Realisasi pertumbuhan ekonomi RI kuartal I 2020 tertekan dengan hanya mencatatkan pertumbuhan 2,97%. Angka itu jauh lebih rendah dibanding kuartal IV 2019, sebesar 4,7% dan jauh lebih rendah lagi dibanding pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019 sebesar 5,07%.
Kuartal II 2020, menurut Airlangga, Indonesia masih masuk zona negatif, baru pada kuartal III sudah masuk tahap pemulihan. Ia menilai, layaknya di dunia medis, dunia usaha juga memerlukan shock sebagai pemicu. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang CSR dan Persaingan Usaha, Suryani Motik, menilai langkah pemerintah menyiapkan skenario kenormalan baru untuk menggerakkan ekonomi, butuh proses lama. Tergantung pada proses temuan vaksin Covid-19, sehingga orang merasa aman. Saat ini, yang dilakukan merupakan masa transisi bagi pengusaha agar bisa kembali menjalankan usaha.Hal ini karenatingkat kewaspadaan masyarakat masih terbilang rendah dan cenderung skeptis terhadap Covid-19. Belum soal biaya yang harus dikeluarkan jika mau menjalankan kembali usahanya. Jika modal usaha meningkat, berdampak pada harga jual.
“New normal itu mahal. Restoran, biasanya bisa menampung sampai 30 orang, nanti harus dikurangi kapasitasnya jadi 10 orang,” ujar Suryani kepada Dwi Reka Barokah dari GATRA REVIEW. Kendala-kendala inilah yang menurutnya harus menjadi pertimbangan pemerintah. Alih-alih insentif pemerintah bisa membantu, nyatanya tidak cukup membuat pengusaha bertahan. Sektor UMKM malah bersyarat, bantuan restrukturisasi diberikan kepada para debitur dengan limit kredit mencapai Rp500 juta hingga Rp10 miliar dan pemberian bunga kredit. UMKM yang bergerak di sektor makanan dan kesehatan sebenarnya bisa jadi prioritas, karena menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Pemerintah Jangan Latah
Skema relaksasi atau pelonggaran demi berjalannya aktivitas ekonomi, dinilai jadi opsi jalan pintas dari ketidakmampuan pemerintah mengawal pelaksanaan PSBB. Padahal, mengatasi dan menekan angka penyebaran virus harus jadi yang utama sebelum opsi relaksasi diambil
Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut riset yang dilakukan sejak awal Maret hingga pertengah Mei 2020 menunjukkan pemerintah tidak berpijak pada data dalam menentukan kebijakan transisi menuju kenormalan baru. Pasalnya, data menunjukkan pergerakan masyarakat kerap terjadi. Peneliti INDEF, Yorga Permana, mengatakan bahwa pemantauan gerak masyarakat itu dibantu dengan beberapa data yang berasal dari Google Community Report, LOTaDATA CityDash, hingga Facebook. Untuk mengukur efektivitas kebijakan PSBB, pemerintah seharusnya menggunakan data sebelum menentukan kebijakan berikutnya.
Riset menunjukkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai efektif dan tidak efektif. Kebijakan efektif ditandai dengan kurva hijau, yakni ketika pemerintah mengumumkan COVID-19 sebagai bencana nasional pada 14 Maret 2020 yang dilanjutkan dengan pembatasan pergerakan masyarakat. “Disusul dengan penutupan kantor, sekolah, kegiatan keagamaan, dan lainnya. Itu clear menurun, masyarakat menghindari keramaian,” kata Yorga dalam diskusi daring INDEF yang dilaporkan Erlina Fury Santika dari GATRA REVIEW. Kemudian kebijakan efektif kedua, yakni larangan mudik. Yorga menilai, keputusan itu cukup efektif, jika dilihat secara statistik. Ditandai kepatuhan masyarakat, meski dengan catatan. Menjelang Lebaran, kepatuhan itu menurun.
Kebijakan kurang efektif, ditandai dengan kurva berwarna hitam.Hal ini terjadisaat penetapan Status Penerapan protokol kapasitas pengunjung sebanyak 50 persen dari kapasitas ruangan restoran di Kota Bogor, Jawa Barat. JUNI 2020 48 review SBM.ITB.AC.ID Darurat Kesehatan Masyarakat pada 31 Maret 2020 lalu. Ada kebingungan di masyarakat karena keputusan tidak dikomunikasikan dengan jelas oleh pemerintah. Adapun kebijakan lain yang dianggap tidak efektif, ditandai dengan kurva merah, yakni pelongaran transportasi pada 7 Mei 2020 yang justru direspons negatif karena berbahaya.
Hal ini kontradiktif dengan kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat. Faktanya setelah itu, masyarakat mulai melonggarkan diri dan banyak keluar rumah. Dengan tahapan-tahapan pengambilan gegabah tanpa data, ia khawatir kasus baru justru bermunculan. Pemerintah harusnya tidak latah dengan terburuburu merelaksasi PSBB dan menerapkan kenormalan baru. Langkah Thailand, Filipina, Korea Selatan, Jerman, dan negara lainnya dalam mengendurkan pembatasan sosial, harus ditelaah lebih jauh. Pelonggaran di sejumlah negara itu saja masih dikritik, karena membuka episentrum baru atau menambah kasus. Kalau mau ikut melonggarkan, kajian data harus jelas. “Kajian kami [INDEF] mengatakan belum bisa, masih harus perketat PSBB,” ucap Yorga.
Langkah Antisipasi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Muhammad Faisal, mendukung langkah transisi kenormalan baru. Baginya, dengan kondisi saat ini, memang tidak akan siap. Ini kondisi yang memaksa. Namun langkah pemerintah, menurutnya, menyalahi aturan kenormalan baru itu sendiri. Kondisi kenormalan baru, baru bisa diambil ketika pertambahan kasus sudah nihil. Atau setidaknya berkurang dan banyak yang sembuh. Itulah langkah yang diambil di beberapa negara. Untuk itu, ada baiknya pemerintah ambil langkah antisipasi, terutama dari sisi kesehatan. Langkah pencegahan harus masif. Kemudian ketika kenormalan baru berlangsung, harus ada antisipasi potensi ledakan eksponensial.
“Ada risiko besar di balik penerapan “new normal”, sehingga saya pikir perlu antisipasi,” katanya kepada Qonita Azzahra dari GATRA REVIEW.
Untuk menghindari risiko itu, perlu penegasan kembali pemberlakuan protokol kesehatan, baik masyarakat maupun pelaku usaha. Perlu juga menyiapkan anggaran ekstra penanganan wabah dan bantuan ekonomi menghadapi ketidakpastian pandemi. Sektor ritel dan manufaktur mungkin bisa jadi sektor paling realistis jika kenormalan baru diberlakukan. Kedua sektor itu merupakan sektor industri yang paling bisa menerapkan protokol kesehatan, serta paling mudah dikontrol pemberlakukan protokol kesehatannya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Sekjen APRINDO), Solihin, menyambut baik rencana pemulihan ekonomi, khususnya sektor ritel. Baginya, panduan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020 jadi acuan bagi pengelola mal dan ritel dalam pelaksanaan kenormalan baru. Kini, pusat perbelanjaan memang terlihat telah bersiap-siap, sepertimembuat jalan satu arah sehingga pengunjung tidak berpapasan. Jumlah pengunjung pun terbatas, menyesuaikan kapasitas tempat perbelanjaan.
Diharapkan, dengan bantuan perangkat keamanan pemerintah, maka tingkat kedisiplinan masyarakat yang berkunjung ke pusat perbelanjaan akan makin meningkat dan benar-benar dilaksanakan. “Panduan sudah ada. Sekarang, tinggal bagaimana pusat perbelanjaan memenuhi persyaratan tersebut,” kata Solihin.