Home Milenial Mengenang Karya Sang Profesor Cinta

Mengenang Karya Sang Profesor Cinta

Jakarta, Gatra.com - Banyak orang mengenal Sapardi Djoko Damono sebagai penyair sajak-sajak cinta. Anggapan itu makin dikenang ketika ia mengarang “Aku Ingin” yang terkenal itu. Sesudahnya, lalulalang kepenyairan penyair bertopi kep itu menghiasi halaman cerita anak-anak muda pada zamannya. Sapardi menawarkan perenungan dan kekuatan estetika dalam perjalanan kreatifnya. Ia menyulap kata menyuguhkannya kepada khalayak, seperti ia bilang, “sebermula adalah kata/baru perjalanan dari kota ke kota”.

Tak banyak diingat, Sapardi pernah menulis sajak-sajak yang “keras”. Ia menunjukkan kapasitas kepenyairannya yang tidak mampu lepas dari kepekaan. Impresi sosial itu terlihat pada “dongeng Marsinah” dalam kumpulan sajak “Arloji” (1998). Sapardi merasa gundah ketika Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo itu, diculik dan dihabisi sesaat berunjuk rasa menuntut kenaikan upah. Sapardi membatini kepergian perempuan malang itu dalam tuntutannya yang sederhana: sekedar hidup layak, hidup demi sebutir nasi.

Ia membayangkan Marsinah sebagai arloji sejati, “tak lelah berdetak/memintal kefanaan/yang abadi”. Kepedulian sosial ala Sapardi juga turut terlihat dalam “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996” yang termuat dalam kumpulan puisi “Ayat-ayat Api” (2000).

Ia merasakan kehilangan itu;

Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu.

Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tidak begitu jelas memang,

kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?)

tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya.

(“Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”)

 

Ekspresi sosial itu diakuinya ditulis dalam masa-masa amarah. “Saya nulis, marah, nulis, marah. Sampai hari ini saya masih marah, tapi karena sudah jadi puisi jadi tidak marah lagi,” kata Sapardi.

Goenawan Muhammad, di suatu kesempatan menyebut karya sang profesor cinta lebih banyak bercerita tentang metafora: cinta, kematian, persahabatan, gerimis, hujan. Sapardi membuat repetisi yang menjadi “efek kejut” dalam karya-karyanya. Getaran repetisi ala Sapardi menjadikan sajak-sajaknya berhasil dikenang dan dinikmati pembaca.

“Puisi membuat repetisi, tidak melulu membuat pengulangan yang itu-itu saja”. Getaran repetisi Sapardi dalam sajak-sajaknya, menurut GM, memperbaiki proses pengulangan yang oleh sebagian penyair dibikin kaku, tak dinamis. “Repetisi itu tiba-tiba memperbaiki apa yang diulang”. Getaran repetisi itu terlihat berhasil dalam sajak “Aku Ingin”, “Gerimis di Jalan Jakarta, Malang” dan “Berjalan ke Barat Waktu Pagi”.

Baca juga: Selamat Jalan Sapardi, Puisimu Abadi..

Sajak itu (juga pada sajak-sajaknya yang lain) menceritakan serangkaian citra aku lirik dalam menangkap momen indah, penting, abadi, dalam peristiwa hidupnya.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(“Aku Ingin”)

 

Upaya menangkap peristiwa, mengungkap pengertian, menikamnya dalam bait-bait puisi juga terlihat dalam “Berjalan ke Barat Waktu Pagi”. Yang diakui Sapardi, sebagai sajak yang paling digemarinya dari setumpukan sajak yang pernah ia buat.

Ia menulis metafora, “aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami/yang telah menciptakan bayang-bayang, aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara/kami yang harus berjalan di depan”. Seperti berfilsafat, Sapardi tengah bermain kata, menggubah kata menjadi makna.

Dengan itu, tak sedikit yang tertarik menyadur puisi-puisi Sapardi ke dalam bentuk lagu. Repetisinya yang teratur, indah, penguasaan kata yang khidmat, menjadikan sajak Sapardi enak dilagukan.

Baginya, ruang mengolah puisi menjadi lagu, film atau apapun adalah hal lumrah sebagai kelanjutan proses kreatif. “Membuktikan bahwa sastra itu bukan hanya huruf-huruf yang berjejeran di halaman, tapi dia bisa jadi apa saja,” tukas Sapardi.

Sang penyair hujan itu juga sering membuat kejutan dalam puisi-prosaisnya. Contohnya dalam sajak “Surah Penghujan: Ayat 1-24” dalam kumpulan puisi “Ada Berita Apa Hari ini Den Sastro ?”. Puisi yang ditulisnya dibikin dengan gaya kredo bersambung (tanpa tanda titik dan koma). Sapardi, saat itu, benar-benar memanfaatkan licentia poetica secara penuh guna mendapatkan citraan yang kuat pada pembacanya.

Ia menulis,

“musim harus berganti musim agar langit menjadi biru untuk kemudian kelabu agar air menguap untuk kemudian membeku agar pohon tumbuh untuk kemudian rubuh agar akar menyerap air untuk dikirim ke tunas daun untuk kemudian gugur agar lebah menyilangkan putik dan benang sari untuk kemudian layu agar rumput meriap untuk kemudian keringagar telur menetas dan burung terbang untuk kemudian patah sayapnya agar hari bergeser dari minggu ke sabtu agar kau mengingat untuk kemudian melupakan-Ku..”

Penyair Joko Pinurbo menyebutkan karya-karya Sapardi yang puisi-prosais itu sebagai khasnya. Puisi-prosais seringkali terlihat dalam karya Sapardi, baik dalam sajak bersambung “Catatan Masa Kecil”, maupun karya sesudahnya.

Jokpin menyebut itu sebagai karya hybrid (persilangan antara puisi-prosa) sebagai bentuk corak karya. Pengetahuan luas Sapardi itu diperoleh dari pengalamannya sebagai dosen, penerjemah maupun pelaku sastra yang berkelindan dengan aneka perkembangannya. “Sapardi ini antara akademisi-penyair, karyanya itu nampak dari ia menyerap (pengetahuan) dari berbagai penjuru”.

Kini Sapardi setia memuisi pada jagat sunyi. Bait-bait puisi terdalam, disembahkan penuh kepada pembacanya. Seperti yang ditulisnya dalam sajak “Solitude” itu: “dari tangan-tanganku yang sunyi/dari jemariku yang gemetar dalam sunyi/kaudengar puisi, sorotmata yang sunyi/yang sampai kepadamu/santun-lembut, adalah puisi".

666