Jakarta, Gatra.com - Kebijakan menuju energi bersih masih dipandang sebelah mata. Negara G20 habiskan US$151 miliar untuk energi fosil. Sebagiannya dikucurkan dengan kedok penanggulangan Covid-19.
Kembali mempertanyakan komitmen negara negara G20 guna mendukung energi bersih dan perlindungan terhadap lingkungan sepertinya harus dilakukan terus menerus. Pasalnya, belum ada upaya signifikan yang terlihat.
Data terbaru yang dirilis Energi Policy Tracker, sebuah situs yang melacak kebijakan pemulihan terkait iklim dan energi menunjukkan kalau pemerintah negara – negara G20 yang terbilang powerfull justru menghabiskan total US$ 151 miliar untuk melestarikan bahan bakar fosil.
Baca Juga : KSP: Penting Membangun Investasi Cerdas di ... - Gatra.com
Baca Juga : Tujuan dan Posisi Indonesia dalam Pertemuan G20 ... - Gatra
Dari dana itu, hanya sekitar 20 persen yang memberi dukungan finansial dengan mensyaratkan kebijakan ramah lingkungan seperti menetapkan target iklim atau mengimplementasikan rencana pengurangan polusi. Bahkan, dari komitmen sebesar US$ 89 miliar untuk energi bersih, 81 persen diantaranya merupakan subsidi yang tidak spesifik memerlukan stipulasi perlindungan lingkungan. Data yang dirilis pada 16 Juli 2020 itu menyebut, hanya sebanyak US$ 16 miliar yang memastikan dukungan pada energi bersih seperti matahari dan angin.
“Dengan kedok pengeluaran pemulihan Covid-19, pemerintha mengalirkan sejumlah besar uang publik untuk industri fossil yang melemah, membuang kesempatan memerangi krisis iklim,” kata Alex Douglas, Direktur Program Oil Change International.
Padahal menurutnya, pemulihan harus secara signifikan mengubah arah mendukung energi bersih sebagai investasi masa depan ketimbang mensubsidi para pencemar di masa lalu.
“Bahan bakar fosil adalah investasi yang buruk, bahkan sebelum pandemi dimulai,” tambahnya.
Meski retorika pemulihan hijau menguat di tataran kebijakan, pada praktiknya tidak demikian. Data menunjukkan, produsen bahan bakar fosil dan sektor tinggi karbon seperti maskapai penerbangan saat ini menerima 70 persen lebih banyak bantuan pemulihan ketimbang sektor energi bersih.
Energy Policy Tracker mendaftarkan lebih dari 200 kebijakan dari negara-negara G20, menggabungkan jumlah dari setiap kebijakan tersebut untuk menghitung total angkanya. Untuk memberi informasi detail mengenai dukungan terhadap berbagai jenis energi, data dari fosil dan energi bersih dibagi menjadi sub-sub kategori—dengan syarat dan tanpa syarat. Kategori ini memberikan gambaran berdasarkan tingkat dukungan pemerintah untuk pemulihan hijau.
Angela Picciariello, peneliti senior Overseas Development Institute (ODI), mengatakan, terlepas dari sejumlah besar kebijakan bersih yang disetujui pemerintah beberapa bulan terakhir, sistem pelacakan menunjukkan industri fosil terus melobi pembuat kebijakan secara agresif. Apalagi, tidak mudah juga membedakan antara kebijakan bersih dan fosil. Karena itulah penting untuk mengidentifikasi kebijakan merusak lingkungan yang seringkali tersembunyi.
Negara G20 menghasilkan 85% dari PDB global dan bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi gas rumah kaca global. Dengan pemerintah G20 berkomitmen menyuntikkan lebih dari US$ 8 triliun ke dalam ekonomi global, keputusan yang dibuat hari ini tentang distribusi anggaran tersebut akan mengunci jejak lingkungan dunia selama beberapa dekade mendatang.
Kebijakan di Indonesia
Setali tiga uang, kebijakan di negara sendiri juga menemui tantangan serupa. Kebijakan mendukung bahan bakar fosil nilainya menembus Rp 95,33 triliun. Hanya Rp 3,5 triliun yang masuk kategori energi bersih bersyarat. Namun anggaran itu malah dipakai untuk paket stimulus yang dianggap memberi keuntungan bagi perusahaan pembakar bahan bakar fosil, termasuk membayar dana talangan dan kompensasi ke sejumlah BUMN seperti Pertamina, PLN, dan Garuda Indonesia. Sementara kebijakan hijau tercecer hanya diberikan berupa penangguhan angsuran pinjaman dan penurunan suku bunga untuk proyek energi terbarukan.
Energy Policy Associate at Internatonal Institute for Sustainable Development IISD Annisa R Suharsono mengatakan, dalam agenda rencana pemulihan dan pembangunan masa depan Indonesia, rancangan sistem energi yang tangguh harusnya menjadi prioritas. Indonesia menurutnya perlu memberi perhatian serius dalam mengembangkan energi terbarukan. Bukan hanya mencoba keluar dan pulih dari krisis pandemi, tapi juga mengupayakan agar mampu kembali dengan lebih baik.
“Krisis Covid-19 dan tanggapan pemerintah atas kondisi tersebut mengintensifkan tren yang ada sebelum pandemi,” kata pakar Dr Ivetta Gerasimchuk, sekaligus pimpinan proyek Energy Policy Tracker.
Meski begitu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut Indonesia berkomitmen kuat menerapkan energi bersih dalam upaya meningkatkan pasokan energi, memperluas pemanfaatan, serta mendorong investasi energi terbarukan. Hal ini ia sampaikan ketika menjadi pembicara dalam pertmuan virtual International Energy Agency (IEA) Clean Energy Transitions Summit pada Kamis (9/7).
Baca Juga : Indonesia Butuh Road Map Menuju Transisi Energi Bersih ...
Dalam pertemuan yang mengumpulkan lebih dari 40 menteri yang mewakili 80 persen penggunaan dan emisi energi global, Arifin Tasrif menyebut Indonesia menetapkan target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi 2025. Kebijakan ini dikombinasikan dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030.
Pandemi Covid-19 menurut Arifin membuat tantangan semakin tidak mudah mengingat dampaknya yang mendunia. Dan tentu saja, menghambat pembangunan berkelanjutan dan transisi energi bersih. Kebijakan isolasi dan lockdown berpengaruh paling kuat terhadap konsumsi energi global. Sisi baiknya, terjadi pengurangan signifikan emisi CO2 di Indonesia.
“Selama masa penuh tantangan ini, produksi energi harus disesuaikan untuk menciptakan keseimbangan baru dan mendorong transisi energi bersih,” lanjutnya.