Jakarta, Gatra.com - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) akan membacakan vonis terhadap dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dalam perkara penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Tim Advokasi Novel Baswedan meminta ketua Mahkamah Agung (MA), Muhammad Syarifuddin, menjamin bahwa majelis hakim bersikap objektif.
"Ketua Mahkamah Agung untuk memberikan jaminan bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan bertindak objektif dan tidak ikut andil dalam peradilan sesat," kata Fatia Maulidiyanti dari Tim Advokasi Novel dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com pada Kamis (16/7).
Tim Advokasi Novel Baswedan mengingatkan majelis hakim harus benar-benar memahami bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie yang memiliki pengertian bahwa dasar pembuktian dilakukan menurut keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) dengan didasarkan pada dua alat bukti sebagaimana Pasal 183 jo Pasal 184 KUHAP.
"Untuk itu, jika hakim tidak yakin dan terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dengan fakta kejadian, maka dua terdakwa tersebut semestinya dibebaskan," katanya.
Selain itu, tim advokasi juga meminta Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pasalnya, persidangan ini hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya, atau setidaknya aktor intelektual.
Dalam persidangan ini dinilai terdapat berbagai kejanggalan, yakni saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan.
"Barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak ditunjukkan dalam proses persidangan," katanya.
Tim Advokasi Novel menyatakan bahwa jaksa yang seharusnya menjadi representasi kepentingan korban, terlihat berpihak kepada pelaku kejahatan. Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan.
"Pertanyaan yang diutarakan oleh Jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri," ujarnya.
Kemudian, jaksa penuntut umum atau Kejaksaan dalam mendakwa dan menuntut kedua terdakwa tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) jelas merupakan tindakan kelembagaan.
"Oleh karena itu, segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan," katanya.
Selanjutnya, Tim Advokasi Novel Baswedan meminta Komisi Yudisial (KY) harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kemudian, Tim Advokasi Novel Baswedan juga meminta Propam Mabes Polri segera memeriksa Kadivkum, Irjen Rudy Herianto, yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini yang kemudian menjadi kuasa hukum dua terdakwa. Terlebih, terdapat dugaan penghilangan barang bukti dilakukan oleh yang bersangkutan.
"Pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa kental dengan nuansa konflik kepentingan," katanya.
Tim Advokasi Novel Baswedan mendalilkan demikian karena ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya. Sehingga, publik dapat dengan mudah menerka sikap Polri tidak mungkin akan objektif dalam menangani perkara ini.
"Pendampingan hukum langsung dari Polri menurut peraturan perundang-undangan adalah apabila menjadi tersangka karena menjalankan tugas. Apakah terdakwa saat menyiram Novel menjalankan tugas Polri?" ujarnya.
Menurut Tim Advokasi Novel Baswedan, dalam fakta persidangan terungkap bahwa kedua terdakwa berdasarkan duplik yang dibacakan penasihat hukum, tidak pernah ditangkap melainkan menyerahkan diri. Ini berbeda dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono yang menyatakan kedua terdakwa ditangkap.
"Terdapat saksi yang meragukan bahwa kedua terdakwa merupakan kedua orang yang ia lihat sesaat sebelum melakukan penyirman air keras. Sebab, saat diperhatikan ketika dikonfrontir di Mabes Polri dari gestur gerak tubuhnya tidak sama atau berbeda," ujarnya.
Indikasi keterlibatan pelaku lebih dari 2 orang tampak dari kesaksian para saksi di persidangan yang mengungkapkan bahwa 1 bulan hingga 1 pekan sebelum kejadian, terdapat orang-orang yang melakukan pengintaian di sekitar lingkungan rumah Novel Baswedan.
"Bahwa setelah 2 tahun lebih, pada tahun 2020 terdapat saksi dari labfor yang memeriksa kembali cairan kimia yang terkandung di beberapa barang bukti dan hasilnya memiliki kadar yang sama pada pemeriksaan cairan kimia tahun 2017," ungkapnya.
Namun menurut Tim Advokasi Novel Baswedan, terdapat saksi ahli yang berpendapat adanya kejanggalan, sebab sangat mungkin terjadi ada penurunan besaran konsentrasi kimia yang menempel pada barang bukti dalam jangka waktu sekitar 2 tahun lebih, dan kemudian ahli juga berpendapat, ada keanehan mengenai berbedanya variasi tingkat konsetrat asam sulfat di barang bukti.
"Leluasanya terdakwa keluar masuk dari asrama, padahal seharusnya terdakwa mendapatkan izin terlebih dahulu dari atasan hukum terdakwa, terlebih lagi hanya ada satu pintu akses di asrama Brimob Kelapa Dua," ujarnya.
Atas berbagai kejangalan tersebut, Tim Advokasi Hukum Novel Baswedan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen yang diyakini Tim Advokasi dapat membongkar kasus penyerangan terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan.
"Jika hal ini tidak dilakukan, maka Presiden layak dikatakan gagal dalam menjamin keamanan warga negara, mengingat Kapolri dan Kejakgung berada di bawah langsung Presiden, terlebih lagi korban merupakan penegak hukum," ujarnya.
Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis masing-masing dijatuhi 1 tahun penjara karena dinilai terbukti melanggar dakwaan subsider yakni Pasal 353 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut penuntut umum, keduanya tidak terbukti melanggar dakwaan primer karena mereka tidak sengaja menyiram bagian muka Novel menggunakan air keras atau asam sulfat. Mereka dinyatakan terbukti melakukan penganiayaan berat secara terencana.