Padang, Gatra.com - Banyaknya daerah atau instansi melakukan tes cepat (rapid tes) sebagai syarat melakukan perjalanan, dinilai berbahaya. Pasalnya, akurasi rapid tes sangat kecil dibandingkan akurasi metode polymerase chain reaction (PCR) melalui tes swab.
Kepala Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand), Sumatra Barat (Sumbar), Andani Eka Putra mengatakan, produk rapid tes yang beredar saat ini akurasinya sangat kecil dan banyak permasalahan. Sensitivitas alat rapid tes sangat rendah, terutama pemeriksaan hari pertama hingga sepekan berikutnya.
"Rapid tes berbahaya saya bilang, karena hasil negatif banyak, dan tentu ini yang jadi masalah. Idealnya itu sebaiknya gunakan PCR, WHO merekomendasikan itu. WHO tidak merekomendasikan rapid tes," kata Andani di Padang, Ahad (12/7).
Ia bahkan memberikan contoh perbandingan hasil rapid tes dan PCR swab. Pada hari pertama hingga hari ketujuh terhadap orang positif, hasil rapid tes hanya menunjukkan 30 persen orang yang reaktif dan 70 persen tidak diketahui. Namun pemeriksaan hari ketujuh hingga 14 atau 21 hari, sensitivitasnya menjadi 60 persen, dan 40 persen tidak diketahui.
Pengakuannya, ia memiliki data dari beberapa rumah sakit memperlihatkan rapid tes yang marak saat ini tidak terlalu bagus. Dengan alasan itu pula, hasil dari pemeriksaan rapid tes sangat tidak akurat, sebab hasil positif melalui PCR swab akan berubah negatif dengan rapid tes.
Bahkan, dari tiga alat rapid tes, satu di antaranya hasilnya kurang akurat. "Pada prinsipnya, rapid tes bisa digunakan, namun alangkah baiknya hasil rapid tes yang dilakukan memiliki akurasi di atas 80 persen. Kalau di bawah itu, janganlah dipakai," imbuhnya.