Batam, Gatra.com - Pilkada Serentak di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bakal diwarnai politik dinasti. Ansar Ahmad yang digadang-gadang berdampingan dengan Marlin Agustina dalam Pilgub Kepri 2020 membuktikan politik dinasti bakal terjadi di Kepri. Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartanto pun sudah menyerahkan secara resmi SK rekomendasi keduanya.
Sebagai informasi, Ansar Ahmad merupakan Ketua DPD Golkar Kepri. Pada Pilgub Kepri 2015 ia pernah digadang-gadang sebagai calon wakil gubernur mendampingi Soerya Respationo.
Adapun Marlin Agustina merupakan istri dari Wali Kota Batam, Muhammad Rudi. Petahana yang rangkap jabatan Kepala BP Batam ini juga akan kembali maju di Pilkada Batam 2020.
Meski kedua pasangan Cagub Kepri tersebut memiliki kendaran politik berbeda, namun parpol pengusung mereka telah memberi restu.
Di Kabupaten Bintan rencananya Bupati petahana Apri Sujadi bakal menggandeng Roby Kurniawan yang notabene anak kandung Ansar Ahmad, dalam Pilbup Bintan 2020 mendatang.
Ketua DPD 1 Partai Golkar Kepri, Ahmad Makruf Maulana belum dapat memberi keterangan resmi terkait ikhwal tersebut. “Langsung aja ke Pak Ansar, saya belum dapat beri keterangan resmi,” singkatnya, di Batam. Begitu pun Muhammad Rudi yang juga menjabat Ketua DPD Partai Nasdem Kepri tak merespon sambungan telephone dari media ini.
Pengamat politik Kepri, Samsul Paloh menyebut, selain kondisi pandemi Covid-19, keterlibatan dinasti politik pada pilkada 2020 akan menjadi salah satu pemicu berkurangnya partisipasi pemilih dalam pesta politik ini. Hal ini akan cenderung dinilai tidak menarik dimata publik.
“Itu termasuk hal yang membuat pemilih tidak menyalurkan hak pilihnya. Lantaran sosok yang maju tersebut kiprahnya bisa diprediksi. Coba kalau sosok penantang yang maju terbilang wah, publik mungkin akan tertarik menggunakan hak suara,” jelasnya.
Lebih lanjut, Paloh menambahkan pilkada yang dimenangkan oleh kalangan dinasti politik juga akan terlihat pada pemilu 2024 mendatang. Lantaran besarnya peluang menang kalangan tersebut ada pada pemilu legislatif Tahun 2019 lalu.
Pemilihan kepala daerah yang disertai politik dinasti, kata Paloh menjadi senjata ampun untuk melawan calon lainnya. Hal itu, kata dia akan menimbulkan stigma negatif ditengah masyarakat yang berakibat rendahnya partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi tersebut.
“Tolak ukurnya begini apabila terjadi politik dinasti di suatu daerah yang menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah langsung itu menunjukan kemunduran demokrasi,” katanya.
Masyarakat akan lebih vakum untuk terlibat dalam proses pemilihan suara pada Pilkada 2020 mendatang. Selain itu, politik dinasti apabila terjadi dalam struktur partai politik bisa mencerminkan krisis kader di internal partai.
“Kepala Daerah yang rencana melakukan politik dinasti, dia akan menpresure ke bawah dengan segala upaya dan pengaruhnya di birokrasi. Yang lebih parah mengendalikan strukturisasi dikalangan pemerintahan hingga ke tingkat paling bawah,” tuturnya.