Yogyakarta, Gatra.com - Lomba mengumpat dalam bahasa Jawa seputar pagebluk Covid-19 digelar di media sosial. Ajang meluapkan emosi gara-gara pandemi secara kreatif sekaligus mengenalkan budaya Jawa secara utuh.
Kontes bertajuk 'Sayembara Misuh Internasional 2020' ramai diperbincangkan di jagat maya. Dalam bahasa Jawa, misuh berarti mengumpat. Di lomba yang digelar 8 Juli-7 Agustus 2020 ini, peserta harus mengirim video berdurasi 3 menit berisi umpatan yang bebas kata-kata rasis dan seksis.
Konteks, pesan, dan kreativitas umpatan itu akan dinilai dan menentukan pemenangnya. Secara jenaka, juara kontes ini akan dinobatkan sebagai 'Kaisar Misuh Pertama di Dunia'. Pemenang mendapat sejumlah hadiah, dari plakat, kaos, sampai kopi.
“Maksud kami bukan hanya rekaman orang misuh-misuh, namun juga mengharapkan kreativitas peserta bagaimana memberikan jembatan pesan sebelum dan memberikan alasan kuat mengapa harus misuh,” tutur Yani Srikandi, panitia lomba tersebut saat dihubungi Gatra.com, Sabtu (11/7).
Penyelenggara lomba itu adalah komunitas pelestari budaya Jawa, Jawasastra Culture Movement . Komunitas ini digawangi 10 mahasiswa studi sastra Jawa di Yogyakarta. Mereka rutin mengenalkan khazanah budaya Jawa di dunia maya.
Selama tiga tahun ini, Jawasastra rutin menggelar lomba misuh. Pada 2018, lomba umpatan pertama digelar yang membolehkan penggunaan kata saru atau jorok, tapi tak boleh menyinggung SARA atau suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Tahun lalu, Jawasastra mengambil tajuk lomba ‘Ngrumat Jagad’ atau bermakna merawat dunia. “Ini mengangkat isu lingkungan dan mengumpat kepada para perusak atau yang suka buang sampah sembarangan,” kata Yani.
Kendati lucu-lucuan, latar gelaran lomba ini ternyata serius. Jawasastra rupanya berupaya memberi pemahaman soal budaya Jawa secara lengkap, bahkan menggugat pemahaman budaya Jawa hanya dari satu pihak. Selama ini, mengumpat dianggap kontras dengan citra budaya Jawa yang lembut dan sopan.
“Selama ini kami banyak memberikan informasi mengenai budaya Jawa dari banyak perspektif. Dari yang sifatnya adiluhung dan lain sebagainya. Misuh hanya salah satu dari banyak topik yang sudah kami angkat selama tiga tahun ini,” kata Yani.
Menurut dia, Jawasastra ingin memahami budaya Jawa secara utuh. Misuh atau mengumpat dinilai tabu di wilayah Mataram atau Yogyakarta yang berpandangan istana-sentris atau berpusat pada keraton.
“Namun berbeda cerita dengan misuh di daerah pesisir dan arekan, dan daerah pinggiran lainnya atau mancanagari. Kemudian apakah yang berhak disebut budaya Jawa hanya yang di wilayah istana-sentris? Bagaimana dengan identitas budaya Jawa di daerah Jawa yang lain,” ujarnya.