Sleman, Gatra.com – Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, belum memiliki standard operating procedur (SOP) mitigasi bencana Merapi di tengah pandemi Covid-19. Kapasitas barak pengungsian dikurangi, tapi jumlahnya tak ditambah.
Kepala BPBD Sleman, Joko Supriyanto, mengatakan penyusunan SOP tersebut menunggu anggaran perubahan dari APBD. “Nanti kalau sudah ada anggaran perubahan. Setelah itu baru kami rapatkan,” kata Joko saat dihubungi, Jumat (10/7).
Menurut Joko, prosedur mitigasi erupsi Merapi saat pandemi Covid-19 memang dibutuhkan. “Warga yang mengungsi harus tetap jaga jarak. Di tempat pengungsian juga harus disediakan tempat cuci tangan. Tempat cuci tangan memang sudah ada, tapi perlu ada penambahan,” katanya.
Setelah SOP tersusun, menurut Joko, warga perlu mendapat sosialisasi dan simulasi mengungsi. “Nanti kami akan ajak warga untuk simulasi mengungsi di tengah pandemi Corona,” katanya.
Joko mengatakan, BPBD mengelola 12 barak pengungsian antara lain di Kecamatan Turi, Cangkringan, dan Pakem. “Ada pula barak pengungsian yang dikelola oleh desa, berjumlah 20 tempat. Jadi total 32 barak. Saat ini dalam kondisi baik,” katanya.
Joko mengungkapkan, setiap barak biasa menampung sekitar 300 orang. Namun kapasitasnya akan dikurangi menjadi 100 orang. “Supaya warga tetap bisa melakukan jaga jarak pastinya dikurangi kapasitasnya,” ucapnya.
Meski kapasitas dikurangi, jumlah barak pengungsian tidak perlu ditambah. Menurutnya, tak semua warga di lereng Merapi akan mengungsi saat Merapi erupsi. “Kalau yang bahaya hanya di KRB (kawasan rawan bencana) III, kan hanya warga di sana saja yang mengungsi,” kata Joko.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Hanik Humaida, menjelaskan Merapi mengalami deformasi atau penggembungan sejak 22 Juni 2020.
Hanik mengatakan, laju deformasi sekitar 0,5 centimeter per hari. Hingga kini deformasi tercatat sekitar tujuh centimeter. “Deformasi yang semakin besar bisa jadi indikasi akan erupsi,” ucapnya.