Jakarta, Gatra.com - Pemerintah daerah Bangka Belitung mengajukan permohonan pengujian UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 10 Juli 2020. Pemohon di antaranya adalah Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Djohan.
Seperti diketahui, pada tanggal 12 Mei 2020, DPR bersama dengan Pemerintah telah menyetujui bersama RUU tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU.
Menurut pernyataan dari para pemohon, terbentuknya UU No. 3 Tahun 2020 ini mengandung potensi moralitas hukum formil dan materiil yang jahat bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara.
Soalan lain yang melingkupinya adalah tidak ada keterlibatan pemerintah daerah untuk ikut serta dalam penyusunan RUU tersebut. Erzaldi mengatakan bahwa tidak ada ajakan dari pemerintah pusat untuk bersama-sama menyusun legislasi ini.
"UU Pertambangan yang baru ini kami rasa perlu kami lakukan uji formal. Kami tidak pernah diajak untuk berkonsultasi bersama dalam menyusun UU ini. Begitu juga dengan DPD," kata Erzaldi saat ditemui di MK (10/7).
Erzaldi menerangkan bawa ada satu pasal yang akan mengakibatkan relaksasi pemerintah daerah akan terkekang. Misalnya, pada Pasal 35 di UU Minerba baru mengenai tata ruang; bahwa pemerintah daerah menjamin untuk tidak mengubah tata ruangnya untuk pertambangan.
Padahal, kata Erzaldi, Bangka Belitung saat ini sedang bertransformasi dari sektor pertambangan ke pariwisata. Jika pemerintah daerah sudah melakukan perubahan itu, maka tata ruang sudah seharusnya berubah. Sementara UU baru mengatakan sebaliknya.
Sementara itu, anggota DPD RI Alirman Sori, yang juga terdaftar sebagai pemohon, mengatakan bahwa tidak ada keterlibatan DPD dalam proses legislasi UU Minerba. Padahal ada kewajiban konstitusionalitas DPD. Progres yang dilakukan UU Minerba, kata dia, baik secara mekanisme dan aturan tidak berjalan semestinya.
Menurtnya, jika RUU tersebut berasal dari pemerintah dan DPR, maka DPD harus menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM). Dan DIM itu harus dibahas bersama antara DPR, Pemerintah, dan DPD. "Progres ini tidak berjalan," kata Alirman.
Proses yang dilaksanakan, DPR dan pemerintah hanya meminta pandangan dan masukan kepada DPD. Menurut dia, hal itu sama sekali tidak sesuai dengan konstitusi. "DPD harus ikut secara tuntas pada tingkat satu. Tidak boleh bolong," ia menambahkan.
Dengan kata lain, seperti kata Alirman, UU ini adalah UU yang sangat sentralistik; semua wewenang ditarik ke pusat. "Ada kewajiban kami sebagai kepala daerah untuk ikut bertanggungjawab menyelamatkan daerah. Kalau uji formil gagal, kami akan menggugatnya melalui uji materil," pungkasnya.