Home Hukum Hakim Sarudi Sebut Rakyat Rugi Memilih Eet Jadi Anggota DPRD

Hakim Sarudi Sebut Rakyat Rugi Memilih Eet Jadi Anggota DPRD

Pekanbaru, Gatra.com - Sidang dugaan gratifikasi proyek pembangunan jalan Duri-Sei Pakning degan terdakwa Bupati Bengkalis Nonaktif Amril Mukminin kembali digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis (9/7/20). Dimana dalam sidang ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan 4 orang saksi. Salah satunya yakni mantan Anggota DPRD Bengkalis Indra Gunawan Eet.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Lilin Herlina itu, Indra Gunawan Eet yang saat ini menjabat Ketua DPRD Riau mengaku banyak tidak mengetahui tentang proyek jalan Duri-Sei Pakning. Eet yang kini juga selaku Sekretaris DPD Riau partai Golkar, mengaku saat menjabat anggota DPRD 2014-2019 hanya fokus pada programnya yakni rumah layak huni.

"Memang buku kegiatannya banyak, itu tebal. Tapi saya tidak ngurusi itu. Saya hanya fokus pada program kegiatan saya saja seperti rumah layak huni untuk masyarakat, kata Indra. 

Sontak pernyataan dari Eet tersebut membuat Hakim Ketua marah. Bahkan sampai mengatakan bahwa Eet tidak layak dipilih masyarakat sebagai anggota DPRD.

"Cuma itu saja (rumah layak huni) yang anda urusi selama lima tahun ini, selama menjadi anggota dewan periode 2014-2019 ya pak? Masak itu saja yang anda tau. Kalo ditanya, saya tidak tau yang Iain. Begitu cara kerja saudara," tanya hakim ketua Lilin Herlina dengan nada tinggi. 

Lantaran berbelit Belit dan mengaku hanya mengetahui program layak huni yang diusung Eet, Hakim Ketua Lilin juga sempat mengatakan bahwa rugi rakyat memilih Eet sebagai anggota dewan. "Lima tahun (jadi anggota dewan) saudara cuma ngurusi itu (rumah kayak huni). Rugi rakyat memilih saudara," tuturnya lagi.

Eet yang menjadi saksi pertama dalam persidangan itu juga dinilai berbelit-belit. Dimana sebagian pertanyaan yang dilontarkan majelis hakim kepadanyadijawab dengan tidak mengetahui. Padahal pada saat itu Eet menjabat sebagai salah satu pimpinan di DPRD Bengkalis, yakni Wakil Ketua DPRD Bengkalis.

Misalnya saja, saat majelis hakim menanyakan terkait pengesahan anggaran proyek multiyears atau tahun jamak di Kabupaten Bengkalis, Eet menjawab pertanyaan hakim dengan kata tidak tahu. "Apakah saudara mengetahui terkait pengesahan APBD untuk proyek Multiyears di Bengkalis?" tanya hakim Sarudi.

Eet menjawab tidak mengetahui tentang anggaran APBD Bengkalis multiyear. "Tidak tahu, saya tidak tahu berapa paket yang dibahas. Pengesahan saya tidak hadir, tidak ikut rapat, pengesahan tidak hadir yang mulia. Tahunya setelah berjalan, itu aja yang tahunya, dilaksanakan setelah pengesahan APBD," jawab Eet.

Lalu hakim kembali bertanya kepada Eet. "Apakah saudara mengetahui siapa pemenang lelang, dan kapan proyek itu dilaksanakan?" tanya Sarudi lagi.

Eet menjawab tidak mengetahui siapa pemenang lelang proyek tersebut. "Dilelang yang mulia, siapa pemenangnya tidak tahu yang mulia. Tahun berikutnya dikerjakan, saya tidak tahu. Saya tahunya yang Rupat dan Bengkalis. Tahunya heboh aja setelah yang Rupat yang mulia, informasinya pemenangnya lari yang mengerjakan, siapa pemenangnya saya tidak tahu yang mulia," jawabnya

Karena Eet banyak menjawab tidak tahu, hakim langsung membentaknya dengan kata bengak (bohong)

"Bengak saudara ini. Anda anggota DPRD di sana, masa tidak tahu ada proyek itu. Emang anda di sana tidur saja. Masa anda tidak tahu ada proyek untuk pembangunan Bengkalis, yang benar saja," ketus Sarudi.

Sarudi kembali menanyakan kepada Eet terkait pelaksanaan proyek tahun jamak tersebut, dan terkait penandatanganan Banggar untuk APBD anggaran proyek. Hakim juga menanyakan adanya kongkalikong untuk mendapatkan uang ketok palu bagi para anggota DPRD Bengkalis.

"Tak ada (kongkalikong) yang mulia, proyek terlaksana tapi tidak selesai, Saya tidak ikut tandatangan di rapat banggar. Yang saya tahu kegiatan itu aja, karena saya tahu itu ada persoalan kami tidak anggarkan, karena pemerintah meminta," jawab Eet.

Lalu Sarudi membacakan BAP dari KPK yang berisi pemeriksaan Eet. Dalam BAP itu, Eet mengakui kepada penyidik, bahwa dirinya mengetahui siapa pemenang lelang dan masalah penganggaran.

"Anda ini bengak (bohong). Tadi anda bilang tidak tahu, tapi dalam BAP anda tahu. Makanya anda dengar baik-baik pertanyaan hakim," kata Sarudi.

Bentakan Sarudi membuat Eet tak berdaya, dia hanya diam dan sesekali tertunduk. Sarudi juga menyebutkan salah satu perusahaan yang memenangkan lelang pada saat itu, yaitu PT Citra Gading Asritama. Saat ditanya hakim soal PT CGA, kali ini Eet mengaku tahu tentang perusahaan itu sebagai pemenang lelang.

"Saudara selang 5 menit berubah, tadi ditanya siapa pemenang lelang tak tahu, sekarang saya tanya CGA saudara tahu. Mana yang benar. Bingungkan, saudara yang berbohong aja bingung apalagi kami yang mendengar," kata Sarudi dengan nada kesal.

Sarudi mengingatkan Eet bahwa kesaksian palsu bisa dijerat pidana dengan pasal 21 Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Sarudi mengingatkan jaksa KPK untuk menjerat para saksi yang memberikan keterangan palsu.

Jaksa Penuntut Umum tahu kanapa yang harus dilakukan jika saksi memberi keterangan palsu, itu pasal 21 UU Tipikor, kata Sarudi kepada jaksa KPK.

Jaksa KPK pun mengangguk-angguk atas perintah hakim tersebut. Sarudi melanjutkan pemeriksaan terhadap Eet, sambil memberikan nasihat agar menyampaikan kesaksian yang sebenarnya. Sarudi juga menyebutkan, rakyat rugi memilih Eet sebagai anggota DPRD Bengkalis.

"Jangan gitu lah, mari kita bongkar ini sama-sama. Apa, dimana letaknya, ini kan membongkar supaya membuktikan siapa yang salah kita hukum, siapa yang benar kita bebaskan. Setiap orang dibawa ke sini (pengadilan) tidak selalu salah. Tapi kalau saksinya bohong ya punya konsekuensi, kalau tahu katakan tahu," kata Sarudi.

Untuk diketahui, Amril Mukminin didakwa JPU KPK dalam perkara dugaan gratifikasi. Jumlahnya beragam, ada yang Rp5,2 miliar hingga Rp23,6 miliar lebih.

Uang Rp5,2 miliar berasal dari PT Citra Gading Asritama (CGA) dalam proyek pembangunan Jalan DuriSungai Pakning. Sedangkan uang Rp23,6 miliar lebih itu berasal dari dua pengusaha sawit. Uang itu ada yang dalam bentuk tunai, maupun transfer.

Atas perbuatannya, Amril dijerat dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 11, dan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

1053