Beograd, Gatra.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bergabung dengan delegasi yang memimpinnya untuk menyelesaikan proses ekstradisi buronan yang melakukan pembobolan Bank BNI, Maria Pauline Lumowa dari negara Serbia.
"Dengan gembira saya menyampaikan bahwa kami telah secara resmi menyelesaikan proses penyerahan atau penyerahan buronan atas nama Maria Pauline Lumowa dari pemerintah Serbia," kata Yasonna dalam keterangan persnya kepada wartawan, Kamis (9/7).
Yasonna menyebut pemulangan ini sempat mendapat 'gangguan', namun Pemerintah Serbia menegaskan atas komitmennya untuk mengekstradisi Maria Pauline Lumowa ke Indonesia.
Indonesia dan Serbia memang belum saling terikat perjanjian ekstradisi, namun lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan.
Sempat ada upaya hukum dari Maria Paulina Lumowa untuk melepaskan diri dari proses ekstradisi, juga ada upaya dari salah satu negara Eropa untuk mencegah ekstradisi terwujud.
"Dalam pertemuan kami, Presiden Serbia Aleksandar Vucic juga kembali menggaris bawahi komitmen tersebut. Proses ekstradisi ini salah satu dari sedikit di dunia yang mendapat perhatian langsung dari kepala negara. Di sisi lain, saya juga sampaikan terima kasih dan apresiasi tinggi kepada Duta Besar Indonesia untuk Serbia, Bapak M. Chandra W. Yudha, yang telah bekerja keras untuk mengatur dan memuluskan proses ekstradisi ini," tuturnya.
Menkumham juga menyebut ekstradisi Maria Pauline Lumowa tak lepas pula dari asas resiprositas (timbal balik. Sebelumnya, Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada 2015).
Sebagai catatan, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan dua kali proses ekstradisi ke Pemerintahan Kerajaan Belanda, yaitu pada tahun 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa telah menjadi warga negara Belanda sejak tahun 1979. Namun, permintaan kedua itu direspons dengan permintaan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum untuk memulai babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.