Jakarta, Gatra.com - CEO Pustakapedia, Muzambik, mengatakan, pendidikan mesti bersifat transformatif dan mengarah pada kemajuan berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Sedangkan bagi peserta didik, kata Muzambik, dalam keterangan pers, Rabu (8/7), transformasi akan mengarah pada perkembangan tiga aspek, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ketiga aspek tersebut, lanjut Muzambik saat membuka webbinar bertajuk "Arah Pendidikan Kita: Mas Nadiem Mau ke Mana?", dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di Tanah Air.
Sementara itu, pakar pendidikan Doni Koesoema, mengatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara sudah sangat jelas dalam memberikan gambaran tentang manusia merdeka. Manusia merdeka setidaknya memiliki 3 sifat, yakni mandiri atau berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain secara lahir dan batin, serta bersandar pada diri sendiri yang berarti tumbuhnya sikap percaya diri.
Menurutnya, ketiga ciri di atas bisa menjadi panduan kebijakan pendidikan negeri ini jika bangsa Indonesia konsisten dengan gagasan manusia merdekanya Ki Hadjar Dewantara. Sayangnya, konsep merdeka ala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, baru berkutat pada hal administratif yang membebani guru.
Artinya, lanjut Doni, konsep dasar manusia merdeka yang digagas Ki Hadjar Dewantara belum dianggap hal fundamental oleh Nadiem. Bukan hanya itu, Nadiem tidak fokus pada hal-hal detail tentang pendidikan. Regulasi yang dibuatnya belum menyentuh problema pendidikan negeri ini.
Namun demikian, Doni menilai bahwa ada upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengimplementasikan konsep Ki Hadjar Dewantara ini. Namun, ini masih dalam tataran praktis.
"Kemerdekaan yang diusung Nadiem hanya berkutat pada ranah teknis, tidak menyentuh hal esensial dalam menjawab problem pendidikan," ujarnya.
Doni juga mengkritik wacana Nadiem untuk mempermanenkan belajar daring. Sebab, ini akan menjadi persoalan bagi peserta didik di daerah yang infrastrukturnya belum cukup. "Ini juga akan membebani guru," katanya.
Terlebih, lajut Doni, jika semua metode belajar menggunakan sistem daring maka hal ini akan menyebabkan kemunduran kualitas bagi materi pelajaran yang butuh mentoring, seperti yang diajarkan di SMK misalnya.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Wahyudi Kumorotomo, menyampaikan, Kemendikbud belum menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Ini terlihat dari target skor Programme dor Internasional Student Assessment (PISA) yang masih di bawah 400.
"Padahal negara lain sudah menargetkan hingga 500 sampai 600," ujarnya. Ia juga meyoroti soal kebijakan merdeka ?belajar. Katanya, di tingkat operasional tidak ada yang betul-betul kuat sebagai implementator untuk pembelajaran merdeka ini.
Adapun Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim, mengaku sempat menaruh harapan ketika Nadiem ditunjuk sebagai Mendikbud karena dia masih muda dan diharapkan membawa progresivitas.
Selain itu, Nadiem juga sukses sebagai pengusaha dan masuk dalam generasi milenial yang sangat melek teknologi digital. "Kita berharap karena profil menteri ini berbeda," ujarnya.
Namun, sampai saat ini Nadiem belum menunjukkan kinerja maksimal. Konsep merdeka belajar pun implementasinya tidak optimal karena tidak memahami situasi lapangan dan problem yang dihadapi guru. "Sejauh ini hanya gimmick dan slogan," ujarnya.
Sedagkan Editor in Chief Pustakapedia, David Krisna Alka, mengatakan, sulit mencerna jika para menteri harus dimarahi terlebih dahulu oleh Presiden untuk bergerak. Tentunya, seseorang ditujuk menjabat sebagai menteri karen kapasitas, profesionalitas, dan integritas.