Jakarta, Gatra.com - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai beberapa ketentuan menjadi penghalang bagi pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan uang hasil korupsinya secara sukarela kepada negara jika Indonesia menerapkan restorative justice.
"Saya berpandangan, ada beberapa halangan yang timbul untuk implemetasi restorative justice," kata Gayus dalam Webbinar bertajuk "Restorative Justice" gelaran Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Rabu (8/7).
Salah satu ketentuan yang menghambat, lanjut Gayus, yakni Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
"Di Pasal 4 ini mengganggu sekali untuk mengembalikan uang negara secara sukarela. Karena di pasal ini disebutkan, pengembalian uang negara tidak menghapus pidana," katanya.
Tentunya, lanjut Gayus, akan terjadi pro-kontra soal ini. Namun, untuk pelaku mengembalikan uang negara secara sukarela telah dikuci di Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Saya memperhatikan aktivis antikorupsi ini berkembang, atau ada doktrin-doktrin baru mengenai bagaimana mengatasi Pasal 4 ini," katanya.
Salah satunya, lanjut Gayus, dengan adanya UU baru, yakni Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Melalui UU ini, penegak hukum bisa menelusuri ke mana uang yang diambil atau dikorupsi itu mengalir dan bermuara.
"Ini tugas TPPU untuk menelusuri, sehingga bisa dirampas. Ini disebut dimiskinkan. Orang rela dipenjara tapi keluarga dan ahli warisnya tetap kaya. Ini suatu konsep," katanya.