Home Hukum Pengembalian Uang Negara Melalui 'Restorative Justice'

Pengembalian Uang Negara Melalui 'Restorative Justice'

Jakarta, Gatra.com - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, ada beberapa cara untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi, di antaranya melalui restorative justice.

"Tujuan pemberantasan korupsi salah satunya di Indonesia adalah mengembalikan kerugian negara," kata Gayus dalam webbinar bertajuk "Restorative Justice" gelaran Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Rabu (8/7).

Gayus mengungkapkan, berbagai cara telah dilakukan untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi pihak tak bertanggung jawab. Misalnya, dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerapkan sistem release and discharge (R&D).

"Beliau [Gus Dur] menggagas pengembalian uang negara yang disebut release and discharge. Artinya, bisa uang ini dikembalikan, tidak usah 100%, Gus Dur ingin 30%," ujarnya.

Gus Dur menerapkan cara tersebut karena Bank Indonesia (BI) banyak dijebol dengan berbagai cara dan uangnya mengalir kepada banyak pihak serta tidak bisa dikembalikan. "Gus Dur menggunakan teori R&D. Tujuannya untuk for give and forget. Kalau sudah dibayar, selesai," katanya.

Menurut Gayus, ini merupakan salah satu konsep untuk mengembalikan uang negara. Sedangkan untuk mengembalikan uang negara melalui restorative justice tidak hanya berdiri sendiri, karena juga bagaimana merestorasi korban.

"Teori yang lain bukan hanya restorasi, tetapi juga ada restributive justice. Menekankan pada hukuman, yang penting orang-orang itu dihukum setimpal dengan perbuatannya yang menjadi efek jera bagi calon-calon koruptor lainnya," kata dia.

Kemudian, lanjut Gayus, ada distributive justice. Ini bagaimana sesungguhnya pengembalian itu bisa dipakai sebagai restritusi, pengembalian saja dan tidak dihukum," ujarnya.

Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini, hanya fokus pada perbuatan pelaku dan tidak memikirkan bagaimana dari korban dari suatu tindak pidana.

"Kalau yang ditabrak kakinya pincang, yang menabrak dihukum penjara, yang pincang tetap pincang," ujarnya.

Beberapa teori di atas, tentunya menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Namun intinya sama, yakni orang yang melakukan suatu tindak pidana bisa mengembalikan dan memulihkan dari dampak yang diperbuatnya demi kebaikan semua.

Seiring berjalanya waktu, lanjut Gayus, terjadi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan hukum pada akhir abad ke-20. Adapun ciri-cirinya, yakni humanitarian law, law and civilization, law as a part of human welfare, dan law and moral.

Adapun restorative justice merupakan proses pengembalian ke keadaan semula bagi para pihak yang terlibat dalam suatau tindak pidana, yaitu korban, pelaku, masyarakat, dan bahkan pemerintah.

"Keuntungan kalau retorative justice itu digunakan oleh sebuah negara, masyarakat telah diberikan ruang untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Jadi ada rasa keadilan," katanya.

Kemudian, lanjut Gayus, beban negara menjadi berkurang untuk mengurusi terpidana yang harus ditanggung negara. Namun demikian, tentunya ada syarat tertentu dalam penerapan restoravire justice, seperti ancaman hukumannya di bawah 4 tahun dan bukan terkait ancaman negara.

Keuntungan lainya, yakni memulihkan keadaan. Misalnya, seorang CEO perusahaan besar menabrak seseorang hingga kakinya pincang. Kemudian, CEO tersebut tidak harus menjalani hukuman penjara, namun menjamin sejumlah hal bagi korbannya.

2251