Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi (Usakti) Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat bahwa penyerangan air keras atau teror kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, bukan dendam pribadi.
"Kalau dilihat kasusnya Novel Baswedan ini bukan dendam pribadi atau ketidksukaan secara pribadi kepada Novel. Ini lebih pada kedudukan Novel Baswedan sebagai penyidik KPK," katanya, Selasa (7/6).
Fickar melanjutkan, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini merupakan puncuk dari berbagai teror yang menimpa para penegak hukum di lembaga antirasuah yang sedang gencar memberantas korupsi.
"Kalau kita lihat setting peristiwanya, kasus Novel Baswedan itu terjadi puncak dari perseteruan, dulu istilahnya ada cicak vs buaya pascakasusnya Korlantas. Itu puncaknya," kata dia.
Dalam webbinar kuliah umujm Jilid V Universitas Borobudur, Jakarta, bertajuk "Keadilan yang Dipertaruhkan Vs Tuntutan JPU 1 Tahun dalam Proses Hukum Kasus Novel Baswedan" ini, Fickar melanjutkan, bukan hanya Novel yang mengalami teror.
"Sebelum itu, banyak juga terjadi teror-teror, bukan hanya terhadap Novel. Ada beberapa penyidik KPK dan bahkan ada juga, dulu teman saya di Biro Hukum KPK, Chatarina Girsang itu kena juga sebenarnya. Cuma tidak banyak terpublikasi," ujarnya.
Artinya, ketika seseorang bekerja di KPK, ada semacam kengerian karena keamanannya tidak terjamin atau terancam. Pasalnya, setelah KPK terbentuk dan gecar melakukan pemberantasan korupsi di berbagai sektor, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka lembaga ini menjadi musuh bersama koruptor.
"Waktu itu bisa dipastikan, KPK menjadi common enemy, jadi musuh bersama para koruptor, karena KPK sedag gecar dan giat berantas korupsi di lintas kekuasaan, di birokrasi, eksekutif, pemda, DPR bahkan di MK. Ketua MK tertagkap tangan sedang korupsi," katanya.
Peristiwa yang menimpa Novel dan sejumlah penegak hukum dari KPK lainnya, itu merupakan upaya dari pelemahan pemberantasan korupsi dan KPK. Pelemahan juga bukan hanya dilakukan melalui teror, tetapi juga kriminalisasi terhadap komisionerya dan uji materi (judicial review) UU KPK.
"UU KPK di-judicial review itu hampir puluhan kali. Yang terakhir adalah judicial review yang menempatkan KPK sebagai bagian dari pemerintahan," katanya.
Sementara itu, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Dr. Faisal Santiago, mengatakan, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan menarik perhatian publik karena yang bersangkutan merupakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, lanjut Faisal, Novel Baswedan juga sangat bersemangat dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sayangnya, kasus penyiraman air keras ini juga dinilai terdapat banyak kejanggalan hingga kedua terdakwa penyiraman Novel Baswedan bergulir di persidangan.
Kasus ini kian menarik perhatian publik karena jaksa penuntut umum dalam surat tuntutannya terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dianggap aneh. Jaksa menuntut keduanya masing-masing dihukum 1 tahun penjara.
"Tuntutan JPU 1 tahun [penjara] terhadap pelaku, jelas mencederai rasa keadilan dan penegakan hukum. Tindak pidana korupsi harus segera mungkin untuk diberantas tanpa pandang bulu untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur sesuai tujuan UUD 1945," ujarnya.
Sebelumnya, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, diduga pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, mengaku melakukan perbuatannya karena dendam pribadi terhadap Novel. Pengakuan ini dianggap janggal karena mereka tidak pernah mempunyai relasi apapun dengan Novel.
Selanjutnya, tuntutan jaksa penuntut umum pun dianggap janggal. Pasalnya, penuntut umum menyatakan kedua terdakwa yang merupakan oknum anggota Polri itu tak sengaja menyiram bagian muka Novel menggunakan air keras.
Jaksa penuntut umum menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis masing-masing dijatuhi 1 tahun penjara karena dinilai terbukti melanggar dakwaan subsider yakni Pasal 353 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut penuntut umum, keduanya tidak terbukti melanggar dakwaan primer karena mereka tidak sengaja menyiram bagian muka Novel menggunakan air keras atau asam sulfat. Mereka dinyatakan terbukti melakukan penganiayaan berat secara terencana.