Yogyakarta, Gatra.com - Bukan hanya yang tak profesional, menteri yang bukan usungan parpol politik juga rawan untuk diganti. Perombakan kabinet menjadi ajang tawar menawar politik.
Hal ini disampaikan peneliti lembaga Hicon Law and Policy Strategies di Yogyakarta, Puguh Windrawan, Selasa (7/7), merespons pernyataan Presiden Joko Widodo soal kemungkinan penggantian menteri.
Kendati Menteri Sekretariat Negara Pratikno belakangan menyatakan pergantian menteri tak lagi relevan, Puguh menyebut perombakan kabinet atau reshuffle patut dilakukan untuk mengganti menteri yang kurang tepat.
“Harus diakui, kabinet sekarang banyak yang posisinya tidak pas. Menteri banyak yang bekerja tidak pada porsinya,” ujar dia saat dihubungi Gatra.com.
Menurut dia, penanganan Covid-19 bisa menjadi indikator untuk penggantian menteri. “Keprofesionalan seorang menteri dalam bertugas saat ini kurang bagus. Misalnya, (Menteri) Pertanian yang membuat kalung Covid,” tutur Puguh.
Sebelumnya sejumlah menteri santer disebut layak diganti lantaran tak oke dalam menganani Covid-19, seperti Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Puguh menjelaskan, seorang menteri pasti dipatok tujuan dan target dalam jangka waktu tertentu oleh presiden. “Ini bisa dijadikan alasan presiden untuk mereshuffle, sekaligus bargainning baru kepada partai,” kata dia.
Sebab, kata Puguh, perombakan kabinet juga akan mempertimbangkan unsur politik. “Memang reshuffle mutlak hak presiden. Tetapi tidak bisa dihilangkan faktor politik dan akomodasi partai,” ujarnya.
Menurutnya, dengan alasan ketidak profesionalan menteri termasuk soal penanganan Covid-19, Jokowi bisa melakukan tawar menawar dengan partai politik. “Yang mungkin bisa kena imbas justru menteri yang murni tidak berasal dari partai,” kata dia.
Karena itu, menurut dia, Menteri Pariwisata Wishnutama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga rentan diganti. “Rentan dalam arti karena background-nya bukan dari parpol,” kata Puguh.
Ia mengingatkan gaya politik Jokowi sangat kental kultur Jawa yang menekankan harmoni dan akomodasi. Untuk itu, perombakan kabinet membuka peluang partai politik non-koalisi masuk.
“Tetapi kemungkinan bukan PAN, bisa jadi justru Demokrat. Tetapi hal ini masih berupa prediksi. Politik Indonesia sangat dinamis,” kata dia.