Libya kian tercabik-cabik konflik dan perang sipil. Negara Arab ini menjadi medan tempur proksi kekuatan luar.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, menjadi inisiator pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri Uni Eropa untuk membahas aksi Turki di Libya. Pada pertemuan yang dijadwalkan 13 Juli mendatang itu, akan dibicarakan pula kemungkinan sanksi baru terhadap Turki. "Uni Eropa sudah menerapkan sanksi pada Turki terkait pengeboran minyak di zona ekonomi eksklusif Cyprus. Sanksi lainnya bisa dipertimbangkan," ujarnya di depan parlemen Prancis, Rabu pekan lalu.
Ketegangan Prancis-Turki mencuat sejak awal pekan lalu ketika Presiden Prancis, Emmanuel Macron, melontarkan kekhawatirannya terhadap keamanan Eropa. Prancis menuding Turki mengirim senjata dan kombatan Suriah ke Libya. Oleh karena itu, muncul ungkapan "Suriah-isasi" Libya.
Kemenlu Turki bereaksi balik dan mengatakan Prancis terlibat dalam kekacauan di Libya. Menlu Libya, Mohamed Taher Siala, menanggapi Macron. "Kami berharap mendengar dari Presiden Macron yang menyatakan penolakan terhadap agresi [Khalifa] Haftar terhadap Tripoli selama 14 bulan," ucapnya.
Libya adalah negeri yang tercabik-cabik perang sipil sejak tumbangnya Muammar Khadafi pada 2011. Pemerintahan baru, dibentuk pada 2015 di bawah kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun upaya penyelesaian politik terbentur serangan militer pasukan Jendral Khalifa Haftar.
Khalifa Haftar adalah panglima perang yang berpangkalan di timur negeri itu dan menentang pemerintah di Tripoli. Pasukan Haftar didukung Rusia, Mesir, dan UAE. Prancis dianggap bagian dari pendukung Haftar, meski pemerintahnya selalu membantah.
Pertempuran Tripoli dengan Haftar berlangsung sejak April 2019 dengan korban tewas lebih dari 1.000 orang. Akhir 2019, pemerintah Libya yang dikenal juga dengan nama Goverment of National Accord (GNA), mengikat perjanjian dengan Turki. Dilanjutkan dengan pengiriman penasihat dan pelatih militer Turki ke Libya mulai Januari 2020. Akhir bulan lalu, pasukan Haftar berhasil dipukul mundur dari pinggiran Tripoli.
Prancis menuding kerja sama itu diboncengi para petempur dari milisi Syrian National Army yang didukung Turki. Menurut Raghida Dergham, pendiri The Beirut Institute, lembaga think tank Arab, Suriah-isasi Libya sedang terjadi dan tidak terbendung. "Sekali lagi negara Arab menjadi medan tempur proksi kekuatan luar," katanya.
Apa yang sedang terjadi di Libya sangat kompleks dan berkelindan dengan konflik di negeri Arab lainnya. Kekuatan luar yang beroperasi juga saling terkait satu sama lain.
Dalam opininya yang ditulis di laman thenational.ae, Dergham mengaku mendapat informasi bahwa Rusia bertekad membantu Haftar merebut Tripoli dan menguasai Libya pada 30 September. "Artinya, Moskow perlu memberi dukungan sepenuhnya pada apa yang dibutuhkan Haftar untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan itu bisa diraih jika pasukan Haftar memberikan kerugian maksimal kepada militer Turki di Libya. Dengan kata lain, Haftar butuh dukungan jet tempur dan pasukan bayaran Rusia," tulisnya.
Tujuan jangka pendek dari langkah ini adalah menggagalkan rencana Turki di Libya dan mengubah pasukan Haftar yang dikenal dengan nama Libya National Army, menjadi kekuatan lebih efektif. Tujuan jangka panjangnya, mengantarkan Saif Gaddafi, putra mantan penguasa Libya, Muammar Gaddafi, ke kursi presiden.
***
Mendengar nama keturunan Gaddafi disebut-sebut, alarm di Washington, D.C. berdering. AS memberi sinyal akan menolerasi petualangan Turki di Libya. Militer AS juga menuding jet tempur Rusia memberi perlindungan udara untuk pasukan bayaran yang bertempur di Libya.
Dukungan terbuka AS disampaikan David Schenker, Asisten Menlu AS Urusan Timur Dekat, dalam pertemuan Beirut Institute Summit di Abu Dhabi. "Mengapa Anda berpikir Turki yang menciptakan bencana dengan mendukung pemerintah yang diakui internasional, sedangkan Rusia mengirim tentara bayaran dan jet tempur?" ujarnya. Ketika dikaitkan dengan tentara bayaran Turki, Schenker menukas, "Semua pihak punya tentara bayaran di Libya."
Terkait tentara bayaran ini, BBC pernah menulis tentang laporan PBB yang bocor pada Mei lalu. Dalam laporan itu disebutkan, ratusan tentara bayaran Rusia yang dikelola Wagner Group, beroperasi di Libya mendukung pasukan Haftar. Salah satunya dalam operasi merebut dan menguasai ladang minyak terbesar di Libya. Pemimpin Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, dikenal dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
The Wall Street Journal mengutip data militer AS yang menyebut bahwa pesawat kargo Rusia bolak-balik terbang dari pangkalannya di Suriah ke Libya beberapa pekan belakangan. Mereka dengan mudah bisa mengirim senjata dan orang untuk memperkuat Haftar.
Rusia juga mengirim jet tempur MiG-29 dan sistem radar canggih. Pesawat itu bisa saja dipiloti kontraktor (istilah halus untuk tentara bayaran) dan menurut Direktur Operasi AS di Afrika Command, Brigjend Bradford Gering, hal itu melanggar aturan internasional.
Rosyid
Perang, Siapa yang Ingin Damai?
17 Desember 2015: Perjanjian Politik Libya di Skhirat, Maroko
Pemerintahan GNA terbentuk dan diakui PBB sebagai entitas sah dan berdaulat untuk memulai produksi minyak, ekspor, dan perang melawan ISIS di Sirte. Panglima perang Khalifa Haftar menentang perjanjian tersebut, karena GNA berhak memecatnya.
25 Juli 2017: Pertemuan Paris
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengundang kedua pihak dari konflik Libya ke Prancis dengan harapan menyelesaikan konflik. Kedua belah pihak menerima gencatan senjata dan merencanakan pemilihan umum pada musim semi 2018, tetapi tidak ada yang terjadi.
12-13 November 2018: Konferensi Palermo
Konferensi Palermo bertujuan menetapkan landasan bagi Konferensi Nasional Libya, yang akan diadakan pada awal 2019. Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, menjadi tuan rumah. Pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa.
27 Februari 2019: Pertemuan Abu Dhabi
Tidak ada satu pun keputusan solid dibuat.
14 April 2019: Konferensi Ghadames
Ketika PBB berada di ambang konferensi nasional tentang masa depan politik Libya di Kota Ghadames, panglima perang Haftar dan milisinya menyerang Tripoli. Alhasil, konferensi dibatalkan.
13 Januari 2020: Pertemuan Moskow
Pertemuan Moskow yang diselenggarakan Turki. Haftar meninggalkan meja tanpa menandatangani kesepakatan, meski pihak GNA menerima untuk menandatangani perjanjian.
19 Januari 2020: Konferensi Berlin
Setelah Prancis dan Italia gagal, giliran Jerman. Kanselir Angela Merkel mengundang sejumlah pihak untuk memastikan konsensus tercipta. Hanya sehari, milisi panglima perang Haftar membom Tripoli. Sekali lagi, pembicaraan gagal.
18 Februari 2020: Pertemuan Jenewa 5+5
Perundingan ditunda setelah serangan panglima perang Haftar pada Tripoli.
Sumber: TRT World