Ratusan korporasi global berinisiatif memboikot dan menolak beriklan di Facebook serta Instagram. Aktivis mendesak platform ini mengubah kebijakan terkait kebebasan menyampaikan ujaran kebencian di media sosial. Mark Zuckerberg bergeming.
Dua pekan belakangan, manajemen Facebook sibuk membujuk para agensi dan korporasi besar kembali memasang iklan di platform sosial media ciptaan Mark Zuckerberg itu. Mereka berjanji melakukan perubahan untuk mengatasi kekhawatiran bahwa Facebook dapat untung dari maraknya pernyataan kebencian dan kemarahan yang beredar di situs web pertemanan ini.
Namun para konsumen ini mengatakan mereka masih berpikir. Washington Post melaporkan, sejauh ini pengiklan tidak terkesan dengan janji-janji kebijakan untuk menghalau ujaran kebencian atau hate speech. Ketidakpercayaan konsumen yang membuat mereka menghentikan pemasangan iklan di Facebook, bermula pada Selasa, 30 Juni lalu.
Kala itu, kelompok-kelompok hak sipil yang mengorganisasi upaya perbaikan di Facebook, berharap bisa diskusi dengan CEO Mark Zuckerberg. Para aktivis itu berencana mendorong banyak perubahan, termasuk penambahan pejabat khusus di level atas, yang bertugas memastikan kebijakan perusahaan tidak pro terhadap rasisme dan radikalisasi.
Gagal bertemu, sembilan mitra koalisi menyuarakan boikot hanya dalam beberapa hari. Koalisi yang terdiri dari berbagai kelompok hak sipil dan organisasi advokasi, lantas menyerukan kampanye #StopHateForProfit yang ditandatangani oleh banyak perusahaan pemboikot.
Belakangan, lebih dari 750 perusahaan termasuk Coca-Cola, Hershey, dan Unilever, menghentikan sementara pemasangan iklan di Facebook dan anak perusahaannya, Instagram. Lebih banyak lagi perusahaan bergabung dalam gerakan ini setiap harinya, dengan Walgreens, Best Buy, Ford, dan Adidas sebagai tambahan baru. Pada Sabtu lalu, lebih dari 200 perusahaan bergabung dalam aksi boikot iklan tersebut.
Dalam waktu singkat, koalisi telah muncul sebagai lawan paling tangguh bagi Facebook. Seperti dikutip dari situs berita politik AS, Politico, upaya mencopot aplikasi Facebook dari gawai yang dilakukan Kongres, regulator di Eropa, pernyataan publik, serta aksi selebritas, ternyata tak berdampak banyak.
Selama ini, model bisnis Facebook memang bergantung pada keterlibatan warganet (netizen). Makin banyak waktu yang dihabiskan orang untuk melihat konten, makin banyak mereka mengeklik, dan berinteraksi dengan orang lain, maka makin banyak pula mereka terpapar iklan dalam feed Facebook serta Instagram.
Para kritikus melihat fenomena konten yang memecah belah dan emosional, cenderung menyebar lebih cepat, terutama dalam grup Facebook pribadi yang anggota-anggotanya punya pola pikir sama. Kemarahan itu lantas menjadi dasar Facebook untuk meraup laba, sebab interaksi warganet makin marak.
Boikot tersebut merupakan gejolak terbesar dalam pertempuran yang berlangsung lama antara pengiklan dan platform media sosial, mengenai siapa yang bisa mengendalikan konten apa saja yang muncul di samping iklan. Pembicaraan global, karena Facebook mengizinkan konten tertentu muncul, bisa mendorong terjadinya kekerasan. Terlebih, Facebook adalah pasar iklan digital terbesar kedua di AS, setelah Google.
Namun analis menyebut gerakan ini tidak akan berdampak signifikan. Sebagian besar iklan yang masuk ke Facebook berasal dari konsumen berskala kecil dan menengah. Bukan perusahaan besar yang aktif menyerukan boikot. Riset Bloomberg memperkirakan, boikot itu hanya memberi kerugian US$250 juta (sekitar Rp3,6 triliun) kepada Facebook dari sektor penjualan iklan, jauh di bawah pendapatan tahunan perusahaan yang mencapai US$77 miliar (sekitar Rp2.561 triliun).
Anggapan itu diperkuat dengan bocoran pernyataan Zuckerberg kepada karyawannya dalam rapat internal pekan lalu bahwa ia akan bergeming dari tuntutan publik. "Saya tidak akan mengubah kebijakan atau pendekatan kami pada apa pun, karena ancaman terhadap sebagian kecil dari pendapatan atau pada persen dari pendapatan kami," begitu pernyataan seorang sumber menirukan Zuckerberg, seperti dilansir Washington Post.
Zuckerberg selama ini membela platform besutannya itu sebagai ruang untuk kebebasan berekspresi. Berdasarkan laporan, ia menegaskan bahwa pengiklan akan segera kembali secepatnya.
***
Menurut seorang eksekutif senior dari agensi iklan besar yang menolak diungkap namanya karena perusahaannya bekerja sama dengan Facebook, pihak Facebook telah bertemu dan berbicara dengan pengiklan, "Hampir setiap menit setiap hari." Eksekutif industri iklan lain yang berpartisipasi dalam pertemuan dengan Facebook, menyatakan kecewa karena Facebook lambat dan melemparkan kesalahan.
"Mereka bertindak seolah-olah mereka hanya platform dan masyarakat itu sendiri penuh dengan orang jahat," katanya. Ia menambahkan, Facebook lantas menyalahkan media sosial lain, seperti YouTube dan Twitter, terkait praktik ucapan kebencian.
Bisa jadi, boikot ini tidak hanya masalah bagi Facebook. Sebuah survei terbaru terhadap hampir 60 perusahaan oleh World Federation of Advertisers, menemukan bahwa sekitar sepertiga perusahaan di AS kemungkinan akan menghentikan pengeluaran iklan di media sosial karena ujaran kebencian. Adapun 40% mempertimbangkan untuk melakukannya.
Perusahaan korporasi global, termasuk Coca-Cola, Verizon, dan Unilever, menyatakan mempertimbangkan kembali pengeluaran iklan mereka tidak hanya di Facebook, tetapi di semua platform media sosial.
Kampanye melawan Facebook pertama kali muncul di tengah percakapan nasional tentang ras yang dipicu oleh pembunuhan George Floyd, seorang pria kulit hitam tak bersenjata di Minnesota. Aktivis mengatakan, platform Facebook menyediakan forum untuk kelompok-kelompok milisi kejam dengan rencana menyerang para pengunjuk rasa.
Perusahaan pakaian North Face merupakan yang pertama kali bergabung dalam boikot iklan. Lalu diikuti oleh sesama perusahaan pakaian lain, Patagonia dan R.E.I. Perusahaan-perusahaan itu memang dikenal peduli terhadap isu sosial.
Tuntutan kampanye sangat luas dan bertujuan mengatasi sejumlah keluhan. Termasuk penghapusan grup percakapan di Facebook yang didedikasikan untuk supremasi kulit putih, gerakan milisi, penyangkalan holocaust, misinformasi vaksin, dan penyangkalan iklim.
Flora Libra Yanti