Home Politik LPSK Sesalkan RUU PKS Disingkirkan dari Prolegnas 2020

LPSK Sesalkan RUU PKS Disingkirkan dari Prolegnas 2020

Jakarta, Gatra.com – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan keputusan DPR mengeluarkan atau menyingkirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/7), mengatakan, LPSK yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU ini, meyelesalka keputusan tersebut karena mendukung RUU ini.

Livia menjelaskan, bukan tanpa alasan LPSK mendukung pembahasan RUU PKS. Pasalnya, RUU ini sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual kepada LPSK.

Tahun 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, naik menjadi 111 permohonan pada 2017 dan melonjak ke angka 284 pada tahun 2018. Kemudian di tahun 2019, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual naik lagi ke angka 373.

Sedangkan jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual, per 15 Juni 2020, mencapai 501 korban. Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Diyakini, angka riilnya bisa lebih besar. Itu disebabkan tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.

"Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat RUU PKS penting untuk segera dibahas. Salah satunya, kehadiran RUU PKS ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual.

"Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam," ujarnya.

Pada kasus kekerasan seksual, lanjut Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal, khususnya yang ada di KUHP tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini. Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.

“Misalnya, pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya," kata Livia.

161