Bantul, Gatra.com - Konsep merdeka belajar ala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ibarat burung dalam sangkar. Pendidikan pun belum masuk pada esensi dan terjebak birokrasi, termasuk di masa pandemi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ‘Pendidikan yang Membebaskan: Membalik Paradigma Pendidikan Urban’ di ajang Kongres Kebudayaan Desa, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (2/7).
Saat menjadi pembicara, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud, Samto, mengakui susahnya penerapan konsep merdeka belajar Nadiem.
“Ibaratnya seperti burung dalam sangkar. Waktu di dalam sangkar ingin bebas, tapi begitu dibebaskan malah bingung. Ini seperti minta dimerdekakan, tapi begitu pendidikan dibebaskan pada minta juknis (petunjuk teknis). Merdeka kok minta juknis,” tutur Samto.
Menurut dia, mengupayakan merdeka belajar di birokrasi pendidikan Indonesia bukan perkara gampang. Konsep ini bahkan diragukan, terutama pada aspek pengawasan ke peserta didik.
“Memperjuangkan merdeka belajar di sistem birokrasi tidak mudah. ‘Kalau bebas belajar dan belajar sendiri, seperti apa pengawasannya’. Ini pemikiran negatif. Padahal kalau diberi kepercayaan, peserta didik akan bertanggungjawab,” katanya.
Dengan kondisi itu, Kemendikbud tetap berupaya mewujudkan konsep ini dan memadunya kurikulum pendidikan. “Kurikulum nasional kami padatkan dan 40 persennya untuk belajar yang memerdekakan,” kata dia.
Samto menjelaskan, pendidikan kita selama ini tak memperhatikan konteks masyarakat. “Padahal pendidikan membebaskan itu memahami betul bersama-sama antara pendidik dan yang dididik. Warga jadi memahami masalahnya sehingga berpikir kritis untuk mengatasi masalahnya,” kata dia.
Apalagi sistem pendidikan kita selama ini ibarat sistem bank yang memperhitungkan output lebih besar. “Pendidikan bukan seperti hitung-hitungan matematis. Sistem pendidikan seperti bank tidak akan memunculkan kreativitas,” ujarnya.
Menurut dia, banyak paradoks di dunia pendidikan Indonesia. Samto mencontohkan, institusi pendidikan dan perguruan tinggi bidang pertanian justru tidak banyak mencetak petani. “Dalam pendidikan, memahami realitas itu penting. Jangan mengawang-awang dan muluk-muluk tapi lihat sumber daya setempat,” tuturnya.
Di masa wabah Covid-19, konsep merdeka belajar sangat tepat diterapkan. Siswa belajar di rumah dan tak harus datang ke sekolah. Pembelajarannya pun sesuai perkembangan anak di abad 21 yang menekankan kemandirian. “Ini sangat pas dengan kondisi pandemi,” ujarnya.
Namun pegiat pendidikan dari Yogyakarta, Toto Rahardjo, menyebut metode belajar di masa pandemi justru berkutat pada aspek teknis yang bukan jadi pokok pendidikan.
“Apa kalau tidak ada internet jadi tidak belajar? Itu bukan esensinya. Kita selama ini belajar secara tidak mandiri. Orang dibikin jadi tergantung (dengan pendidikan di sekolah). Pandemi ini membuka topeng pendidikan kita,” tuturnya.
Menurut Toto, materi dan teknis belajar kita saat ini tergantung pada pakar dan birokrasi. “Maukah sistem belajar diubah dari pakar ke orang awam seperti petani yang selama ini dianggap tidak ahli, padahal mengerti banyak tanaman. Orang tidak sekolah dianggap tidak belajar. Ini bukan merdeka belajar,” katanya.
Ia menjelaskan, sistem pendidikan kita telah dipengaruhi sistem pasar dan globalisasi yang menekankan kompetisi. Padahal masa pandemi mendesak orang untuk hidup bersama dan bekerjasama. “Sejak SD sudah disuruh untuk bersaing, bagaimana bisa kemudian kolaborasi?” tukasnya.
Namun ia juga mengakui upaya menata pendidikan oleh Kemendikbud juga bukan urusan mudah. Saya bayangkan kalau saya jadi Mendikbud juga pusing. Pendidikan kayak benang kusut, tidak bisa diurai,” kata pendiri lembaga pendidikan Sanggar Anak Alam atau Salam, Yogyakarta, ini.