Home Gaya Hidup Garin Nugroho Ungkap Jimat & Strategi Budaya di Masa Pandemi

Garin Nugroho Ungkap Jimat & Strategi Budaya di Masa Pandemi

Bantul, Gatra.com- Budayawan dan sineas Garin Nugroho rupanya menyimpan tiga jimat menghadapi pagebluk Covid-19. Pengetahuan dari desa semacam ini dapat menjadi strategi budaya menyambut revolusi 4.0 di masa wabah.

Jimat itu bukan jimat betulan melainkan ungkapan atau falsafah. Ketiga jimat itu adalah jimat kalimasada, yakni doa kepada Tuhan; jimat cokro atau gotong royong sesama manusia; dan jimat tumbak karawelang alias penemuan obat sebagai penyembuhan.

Falsafah ini ditulis di akun Instagramnya, akhir Maret silam, yang bersumber dari wejangan sang bapak, seorang penerbit buku Jawa. “Itu diambil dari kisah pewayangan,” ujar Garin saat berbicara di Kongres Kebudayaan Desa dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/7).

Seperti halnya konsep ‘jimat’ menghadapai pagebluk, saat mengisi diskusi daring ini, Garin mengingatkan asalnya dari desa yang menjadi lumbung pengetahuan.

“Desa sejak dahulu menjadi lumbung berbagai aspek kehidupan, seperti seni, pangan kesehatan. Saat menghadapi pandemi, lumbung pegetahuan ini turut menjadi sumber kesejahteraan,” tutur sutradara film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ ini.

Saat kini memasuki revolusi 4.0, Garin mengingatkan desa turut menjadi imbas sejak revolusi 1.0 kala lahirnya industrialiasi. “Masyarakat kehilangan tanah dan desa karena untuk lokasi industri. Industrialisasi masuk desa tapi desa-desa Nusantara tak puny akses modal dan teknologi,” ujarnya.

Saat memasuki revolusi kedua dan ketiga, yakni ketika berkembangnya abad informasi, masyarakat Indonesia juga ketinggalan momentum itu. Pada masa Orde Baru, menurut Garin, pemerintah memberantas buta huruf, tapi budaya baca tidak tumbuh. “Masyarakat jadi melek huruf tapi tidak fungsional. Tidak ada budaya baca, analisis, dan diskusi,” kata dia.

Karena itu ketika revolusi 4.0, masyarakat Indonesia tidak punya landasan. “Kita kehilangan momentum saat revolusi 1.0 hingga 3.0 Dengan pandemi di masa revolusi 4.0 ini, justru saatnya mengambil momentum yang gagal kita ambil dari revolusi 1.0 hingga 3.0. Butuh suatu strategi kebudayaan,” tuturnya.

Perkara jimat itu disinggung Garin lantaran disebut oleh Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono sebagai pembicara diskusi sebelumnya.

Menurut Giri, nilai-nilai kearifan desa telah tercerabut dari budaya warga desa, sepeti kesederhaan dan keteladanaan--dua hal yang turut memicu praktik korupsi.

“Kota makin hilang keteledanan dan apresiasi. Budaya wani piro (berani bayar berapa), penyakit orang kota yang mulai menjangkiti warga desa. Orang ingin cepat kaya,” tuturnya.

Padahal semula waga desa hidup secara simpel dengan mementingkan kebahagiaan batin. Namun lambat laun desa juga mesti menghadapai problem masyarakat kota, termasuk godaan korupsi misalnya dengan adanya dana desa. “Tantangan desa kini beda dengan yang dahulu. Desa perlu dilibatkan dalam pemberantasan korupsi,” kata dia.

344