Home Internasional Diplomasi Corona dan Geo-Politik Eropa

Diplomasi Corona dan Geo-Politik Eropa

Implikasi Covid 19 ternyata juga berdampak pada pola hubungan antar-negara. Di Uni Eropa (UE), misalnya, di awal pandemi merebak kegamangan akan rapuhnya solidaritas negara anggota. Di awal pandemi, anggota UE tidak bisa saling membantu. Alih-alih membantu, mereka malah menyelamatkan diri masing-masing. 

Justru dalam kegagapan UE, Cina tampil dengan diplomasi coronanya. Selama pandemi, semua anggota  UE menerima bantuan dari Cina berupa alat kesehatan (alkes) dan tenaga medis. Banyak pihak beropini pandemi corona menjadi pintu masuk (entry point) bagi Cina untuk menanamkan pengaruhnya dan mengubah konstelasi geo-politik Eropa. Karenanya, menarik untuk dipertanyakan: bagaimana implikasi diplomasi corona Cina terhadap lansekap geo-politik Eropa? Pertanyaan ini bisa diteropong dari tiga aras observasi: ekonomi-bisnis, politik-ideologis, dan militer-pertahanan. 

Pertama, dari aspek ekonomi-bisnis, Cina sudah lama coba tanamkan pengaruhnya di Eropa. Namun manuver diplomasi secara masif baru dimainkan sekitar dekade 2010-an. Semua itu bermula dari ditahbiskannya Cina oleh Bank Dunia pada 2010 sebagai ekonomi terbesar kedua dunia setelah AS. Dengan predikat itu, Cina percaya diri memainkan instrumen ekonomi dalam diplomasi dan politik luar negerinya.  

Dalam perspektif geo-politik Eropa, manuver dipomasi ekonomi Cina tak semata berlatar kepentingan ekonomi-bisnis. Kepentingan Cina di Eropa beririsan dengan agenda politik UE. UE ingin merangkul negara bekas sosialis-komunis Eropa Timur (Ertim) agar sejalan dengan garis ideologis Eropa yang mengusung ekonomi terbuka, demokrasi, dan kemanusiaan. 

Jatuhnya negara-negara itu ke haribaan UE, bagi Cina adalah peluang sekaligus ancaman. Peluang, karena jika negara bekas sosialis-komunis itu menganut ekonomi terbuka, itu menjanjikan pasar dahsyat dengan daya beli tinggi. Ancaman, karena UE (dengan anggota semakin banyak) akan semakin rewel terhadap pelanggaran nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan negara lain. 

Manuver diplomasi ekonomi Cina di Eropa tak berhenti di situ. Pada 2013, Cina mencanangkan program infrastruktur raksasa, Belt Road Initiative (BRI): pembangunan jalur kereta yang menghubungkan Beijing dengan benua Eropa. Jalur kereta yang menjulur di sekujur benua Asia dan Eropa itu akan menjadi urat nadi pergerakan barang dari Cina ke Asia Tengah, Eropa Timur, dan berujung di Eropa Barat. Proyek infrastruktur BRI bukan pepesan kosong, karena didukung oleh lembaga pendanaan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank). Dari 27 anggota UE, ada 18 negara yang ikut dalam proyek BRI dan menjadi anggota AIIB.  

Terlihat jelas upaya Cina memanfaatkan kekuatan ekonomi sebagai instrumen pengembangan pengaruh di Eropa sudah dimulai jauh sebelum Covi-19 menerpa Eropa. Covid-19 hanya menjadi pintu masuk bagi Cina untuk akselerasi penanaman pengaruhnya di Eropa. 

Dalam takaran strategi geo-politik, ditengarai Cina sedang memainkan jurus “memecah dari dalam“ soliditas UE. Proyek ambisius BRI boleh saja mengeratkan hubungan ekonomi Cina dengan beberapa anggota UE. Tapi belum tentu akan berimplikasi sama di bidang politik-ideologis di kawasan Eropa.

Kedua, diteropong dari aspek politik-ideologis, diplomasi corona Cina di Eropa membentangkan aras pengamatan lebih luas dari sekedar isu ekonomi-bisnis. Menarik diamati: Cina pandai betul memainkan psikologi politik Eropa. Ketika Eropa sedang gamang menghadapi masa-masa awal merebaknya Covid-19, Cina justru mengabarkan kepada dunia bahwa Cina sukses melawan corona. 

Pesan itu disampaikan ketika Presiden Jinping mengunjungi rumah sakit di Wuhan pertengahan Maret lalu. Tak ayal, puluhan ton alkes dikirimkan ke berbagai negara, termasuk UE. Bantuan medis Cina untuk Eropa sepertinya bukan sekadar benda mati berwujud alkes. Terselip di dalamnya pesan politik: Cina siap berbagi pengalaman sebagai role model dalam penanganan corona dengan dunia, termasuk Eropa.  

Maka dibangunlah narasi besar: Cina dengan sistem politik partai tunggalnya yang berbasis sosialisme berhasil mengalahkan corona dengan cara yang padu, kuat, efektif, dan efisien. Narasi ini seolah ingin memperhadapkan sistem politik partai tunggal yang diklaim efektif dan efisien dengan demokrasi liberal Barat yang dinilai lamban, gaduh, dan panik dalam pengambilan keputusan. 

Menjadi kasatmata, diplomasi corona Cina tidak hanya membawa misi ekonomi-bisnis dan kemanusiaan. Ada aroma politik-ideologis di sana. Menjadi pertanyaan: apakah negara anggota UE, terutama negara bekas sosialis-komunis Ertim, mau memutar balik jarum sejarah bangsanya? Mood politik dan ekonomi di Eropa, utamanya di negara-negara bekas  Ertim,  sudah sedemikian dalamnya terkoneksi dengan demokrasi liberal Barat dan ekonomi terbuka. 

Ketika demokrasi liberal dan ekonomi terbuka sudah menjadi politik-ideologi mainstream dunia, dengan tingkat kemakmuran ekonomi yang dinikmati selama ini, sulit bagi negara bekas Ertim berpaling  ke masa lalu dan tidak akan banyak mengubah orientasi politik-ideologis Eropa. 

Ketiga, jika diukur dari aspek militer-pertahanan, keuntungan politik diplomasi corona Cina tak lebih cerah dari aspek politik-ideologis. Akademisi politik internasional nyaris sepakat, kepemimpinan global dapat diraih jika negara memiliki tiga keunggulan: kemakmuran, kemampuan mengatasi krisis dunia, dan kekuatan militer (Campbel & Doshi, The Coronavirus Could Reshape Global Order, Foreign Affairs, 18 Maret 2020). Sejauh menyangkut diplomasi corona, Cina dengan cerdik memainkan instrumen ekonomi dan kemakmurannya untuk melancarkan soft power diplomacy-nya ke berbagai belahan dunia, termasuk UE. 

Bantuan alkes dan tenaga medis yang dikirim bisa membantu negara anggota UE untuk mengatasi krisis. Jika begitu halnya, itu berarti Cina menunjukkan kemampuannya dalam membantu dunia mengatasi krisis pandemi Covid 19. Tapi itu hanya kemampuan dalam penanganan krisis kesehatan global. Bagaimana jika terjadi krisis politik, katakanlah, di Eropa yang membutuhkan intervensi militer?

Dalam bidang militer-pertahanan, mayoritas anggota UE adalah sekutu tradisional AS dalam kerja sama militer strategis di bawah payung keamanan NATO. Dalam pandangan kaum realist, kemampuan untuk menjadi pemimpin dunia atau true hegemon sangat ditentukan oleh kekuatan militer. 

Justru karena kekuatan militer inilah AS dan UE bisa berpengaruh dalam penyelesain konflik, sehingga pada gilirannya mengubah konstelasi geo-politik di kawasan. Justru aliansi militer strategis seperti NATO ini yang tidak dimiliki Cina di Eropa. Sulit membayangkan Cina --hanya dengan kekuatan ekonominya, tanpa kekuatan dan aliansi militer--bisa menjadi true hegemon dan mengubah konstelasi geo-politik Eropa. 

Pandemi corona boleh saja dimanfaatkan Cina untuk menaikkan citranya sebagai pemain global yang harus diperhitungkan. Namun untuk menjadi pemain utama yang mampu mengubah geo-politik Eropa, kekuatan ekonomi saja tidak cukup. 

Untuk menjadi penentu dalam percaturan politik di Eropa, Cina masih menghadapi kendala politik-ideologis. Apalagi dengan tidak adanya aliansi militer strategis di Eropa, Cina masih butuh waktu lama untuk mewujudkan mimpinya menjadi the true hegemon di bumi Eropa. 


Darmansjah Djumala

Diplomat senior, bertugas untuk Austria dan PBB di Vienna; dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung