PM Benjamin Netanyahu siap mewujudkan proposal perdamaian Donald Trump. Namun bersiap juga menguasai permukiman di sebagian besar wilayah Tepi Barat. Amerika Serikat bersikap labil dalam pencaplokan ini.
Setelah menaklukkan lawan-lawan politiknya dan memenangkan masa jabatan baru pada April 2019 silam, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mulai membuka jalan untuk memenuhi janji kampanye yang paling kerap disuarakan kepada publik Israel: mencaplok wilayah pendudukan Tepi Barat. Sebuah janji yang merupakan impian lama para Yahudi sayap kanan.
Rencana aneksasi pemerintah Israel mulai Rabu, 1 Juli, menggambarkan ide Israel untuk menguasai permukiman Yahudi dan Lembah Jordan, yang menempati sekitar 30% Tepi Barat. Dalam proposal perdamaian yang sebelumnya diajukan Presiden AS Donald Trump, sebuah Negara Palestina akan dibentuk di seluruh Tepi Barat, wilayah yang diduduki oleh Israel sejak perang 1967.
Namun sepanjang Juni ini, Netanyahu tiba-tiba menghadapi perlawanan keras, seperti dilaporkan The New York Times. Muncul pula pemberontakan mengejutkan di jajaran pemimpin pemukim yang selama bertahun-tahun mendukung pencaplokan.
Alasan mereka, rencana Netanyahu itu justru akan membuka pintu bagi pembentukan Negara Palestina. Rencana itu dikhawatirkan malah mengakhiri ekspansi permukiman Israel di sebagian besar Tepi Barat serta mematikan proyek zionisme religius untuk mencapai kekuasaan atas seluruh tanah air alkitabiah orang Yahudi.
"Salah satu dari kedua hal itu akan terjadi. Bisa saja permukiman terwujud di masa depan atau negara Palestina yang memilikinya," ucap Bezalel Smotrich, salah satu anggota parlemen Israel yang aktif mendorong pencaplokan selama ini. Oposisi sengit tak terduga, ditambah sinyal beragam dari pemerintahan Trump, menimbulkan pertanyaan tentang apakah Netanyahu akan menindaklanjuti janji pencaplokannya.
Dari kelompok kiri, para pendukung solusi dua negara (two-state solution) telah mengingatkan selama berbulan-bulan ini, bahwa aneksasi sepihak oleh Israel akan memutus komitmennya kepada Palestina di bawah perjanjian damai sebelumnya. Dengan kata lain, akan menghancurkan harapan kesepakatan akhir konflik. Terlebih lagi, langkah itu pasti dikutuk oleh sebagian besar negara karena dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.
Pejabat militer Israel sebelumnya dan masa kini, mulai mempertimbangkan serta memperingatkan bahwa aneksasi dapat memicu gelombang kekerasan baru di Tepi Barat. Dengan demikian akan memaksa Raja Abdullah II dari Yordania untuk mengambil sikap keras terhadap Israel, yang membahayakan perjanjian damai kedua negara. Akan tetapi, resistansi di antara para pemukimlah yang berpotensi menjadi penghalang paling mengganggu.
***
Netanyahu menjanjikan pencaplokan dalam tiga kampanye pemilihan berturut-turut selama setahun terakhir. Pada Januari, ia meraih dukungan dari pemerintahan Trump. Proposal rencana perdamaian yang diumumkan Trump-Netanyahu pada Januari 2020, memungkinkan Israel untuk mempertahankan hingga 30% Tepi Barat, termasuk Lembah Jordan dan semua permukiman Yahudi yang ada. Daerah tersebut, sebagian besar dianggap ilegal oleh mayoritas negara di dunia.
Selain alasan internal, ada tekanan lain atas Netanyahu agar bertindak cepat mewujudkan proposal itu. Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November bisa saja menjadi momen kekalahan Trump dari mantan Wakil Presiden Joseph R. Biden Jr, yang telah menyatakan menentang aneksasi sepihak.
Mengutip peta rencana aneksasi yang belum dipublikasikan, Netanyahu bersama sejumlah pejabat Trump sedang menyusun suatu rancangan. Para kritikus mengatakan, rancangan itu bisa membuat terlalu banyak permukiman Yahudi sebagai kantong tidak terhubung yang mungkin akan dilarang untuk diperluas. Mereka mengkhawatirkan kondisi itu akan makin mengisolasi mereka dari penduduk Israel lain, serta memberikan Palestina kendali atas jalan raya yang bisa mengubah perjalanan 35 menit ke Yerusalem menjadi perjalanan melewati gurun yang berjarak dua jam atau lebih.
Rencana perdamaian administrasi Trump meniatkan, Israel mempertahankan kendali atas Lembah Yordan dan permukiman di Tepi Barat. Di sisi lain, memungkinkan Palestina berupaya meraih beberapa bentuk kedaulatan terbatas di tempat lain. Namun Palestina hanya bisa mencapai kedaulatan terbatas itu, asalkan mereka melucuti Hamas, kelompok militan yang mengendalikan Gaza; menerima kontrol keamanan utama Israel, mengakui Israel sebagai negara Yahudi; menyerahkan kepemilikan modal di Yerusalem Timur; dan menyetujui rangkaian kondisi lain.
Duta Besar Amerika untuk Israel, David M. Friedman, telah berusaha meredakan kekhawatiran tentang "negara teroris" yang muncul di Tepi Barat. Dalam wawancara kepada sebuah surat kabar Israel bulan lalu, ia menyatakan bahwa Israel hanya perlu bersaing dengan Negara Palestina, "Ketika Palestina menjadi Kanada." Dengan kata lain, ia optimis kedua negara bisa hidup berdampingan dan bersaudara.
Perdebatan tentang hak Israel, bermuara pada: apakah dorongan Netanyahu menerapkan kedaulatan di Tepi Barat merupakan taktik untuk membuat pemukim menyetujui Negara Palestina? Pertanyaan lain, apakah rencana perdamaian Trump merupakan taktik agar pendukung solusi dua negara akan menerima pula langkah aneksasi Israel? Faktor pemicu kedua sisi argumen, yaitu keretakan yang dirasakan dalam tim urusan Timur Tengah pemerintahan Trump. Tim tersebut telah mengirim sinyal saling bertentangan sejak Januari.
Saat itu, Friedman mendorong pencaplokan segera, tetapi disangkal oleh Jared Kushner, menantu dan penasihat senior Trump. Ia melakukan penundaan pencaplokan dengan mengharuskan komite pemetaan Israel-Amerika menyetujui kontur tanah terlebih dahulu. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, juga tampak mendorong penundaan aneksasi selama kunjungan singkat ke Israel bulan lalu.
Flora Libra Yanti
Indonesia Prakarsai Pertemuan DK PBB Tolak Rencana Aneksasi Israel
"Sudah terlalu lama, rakyat Palestina mengalami ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan situasi kemanusiaan yang buruk. Aneksasi Israel merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Palestina," ujar Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, pada Pertemuan Terbuka Dewan Keamanan (DK) PBB yang dilakukan secara virtual, mengenai situasi di Timur Tengah, pada Rabu 24 Juni lalu.
Dalam pertemuan yang dipimpin Prancis selaku Presiden DK PBB Juni 2020 ini, Retno menegaskan tiga alasan mengapa masyarakat internasional harus menolak rencana aneksasi Israel. Pertama, rencana aneksasi formal Israel terhadap wilayah Palestina merupakan pelanggaran hukum internasional. Memperbolehkan aneksasi, artinya membuat preseden di mana penguasaan wilayah dengan cara aneksasi merupakan perbuatan legal dalam hukum internasional.
"Seluruh pihak harus menolak secara tegas di seluruh forum internasional, baik melalui pernyataan maupun tindakan nyata bahwa aneksasi adalah ilegal," ujar Retno.
Kedua, rencana aneksasi formal Israel ini merupakan ujian bagi kredibilitas dan legitimasi DK PBB di mata dunia internasional. DK PBB harus cepat mengambil langkah cepat yang sejalan dengan Piagam PBB. Ketiga, aneksasi akan merusak seluruh prospek perdamaian. Aneksasi juga akan menciptakan instabilitas di kawasan dan dunia. Maka dari itu, terdapat urgensi adanya proses perdamaian yang kredibel, sehingga seluruh pihak berdiri sejajar.
Bersama Tunisia dan Afrika Selatan, Indonesia memprakarsai penyelenggaraan pertemuan DK ini di tingkat menteri, guna membahas rencana aneksasi Israel. Pertemuan dihadiri Sekretaris Jenderal PBB, Sekretaris Jenderal Liga Arab, UN Special Coordinator for the Middle East Peace Process, Menteri Luar Negeri Palestina, dan menteri luar negeri dari beberapa negara anggota DK PBB.
Flora Libra Yanti