Jakarta, Gatra.com- Pakar ekonomi dan asuransi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD menilai, minimnya penetrasi asuransi kesehatan di tanah air dikarenakan karakter masyarakat Indonesia sebagai para pengambil risiko dalam hal pembiayaannya.
"Mereka engga peduli kalau muncul risiko handle (tangani biaya-red) sendiri, bisa menjual aset hingga minta tolong tetangga dan teman," kata dia.
Riset pada 2015 kepada para peserta asuransi yang baru saja keluar dari rumah sakit menunjukkan bahwa 18% dari 2.728 pasien masih membayar biaya pengobatan dengan uang pribadi mereka. Penelitian ini dilakukan di enam provinsi, yakni Jakarta, Jawa Timur, serta NTT, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.
“Tantangan kesehatan kini makin kompleks melahirkan sejumlah risiko sakit, sehingga perencanaan keuangan yang tepat menjadi krusial agar terhindar dari pengeluaran katastropik," ungkap Budi.
Katastopik adalah ketika rumah tangga membelanjakan lebih dari 10% total pendapatan mereka. Hal ini diukur dari tingkat konsumsi untuk perawatan kesehatan.
Faktanya, pada 2013 ada 4,2% penduduk atau 10,5 juta jiwa membelanjakan lebih dari 10% total pendapatan mereka untuk biaya kesehatan. Angka ini naik menjadi 4,5% atau 11,8 juta jiwa pada 2017.
“Peluang kejadian belanja katastropik rumah tangga makin tinggi ketika ada anggota keluarga yang membutuhkan pelayanan rawat inap," jelas Budi. Pada 2017, misalnya, kejadian belanja katastropik akibat risiko sakit di antara pasien yang butuh layanan rawat inap mencapai 27,9% atau 3,1 juta jiwa.
"Jika tidak disiasati dengan baik, maka pengeluaran katastropik yang merapuhkan kondisi finansial keluarga berpotensi terjadi pada siapa saja, tanpa pandang bulu,” ungkap Budi.
Oleh karena itu, lanjut dia, asuransi kesehatan dengan harga terjangkau dan memiliki manfaat komplit sangat dibutuhkan agar dapat melindungi kestabilan finansial di tengah biaya rumah sakit yang terus meningkat. Pada 2019, kenaikan biaya rumah sakit Indonesia diperkirakan meningkat 10,8% dari 2018, lebih tinggi dibandingkan beberapa negara Asia lainnya .