Jakarta, Gatra.com - Sebanyak 42 orang anak korban kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), kekerasan, dan kekerasan seksual mendapatkan bantuan psikososial berupa biaya pendidikan, dengan nilai mencapai Rp84 juta.
Puluhan anak tersebut mendapatkan bantuan pendidikan difasilitasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai upaya pemenuhan rehabilitasi psikososial korban. Bantuan tersebut diberikan oleh Kementerian BUMN melalui yayasan yang dimilikinya, setelah memutuskan mendukung program rehabilitasi psikososial yang diajukan oleh LPSK.
Bantuan tersebut disalurkan langsung ke rekening bank milik korban yang telah diverifikasi oleh pihak Kementerian BUMN. Masing-masing anak mendapat bantuan sebesar Rp2 juta untuk keperluan pendidikan.
Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, dalam keterangan pers yang diterima Gatra.com di Jakarta, Selasa (30/6)?, menyampaikan, sebelumnya, LPSK mengajukan data 51 nama anak yang menjadi korban TPPO, kekerasan, dan kekerasan seksual.
Menurut Livia, jumlah korban yang terbanyak menerima bantuan berdomisili di Jawa Barat yakni 9 orang, disusul oleh Sumatera Utara dan DKI Jakarta masing-masing 6 aak, Kalimantan Timur 5, dan Riau 4. Sisanya tersebar mulai dari Sulawesi Tenggara, Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Para korban memiliki latar pendidikan yang beragam, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Gayung pun bersambut. Usulan LPSK diterima pihak Kementerian BUMN. Dari 51 nama yang diajukan, sebanyak 42 korban anak lolos verifikasi untuk mendapatkan bantuan karena merespons untuk melengkapi data sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Di antara penerima bantuan, terdapat korban yang kasusnya sempat mencuat ke media seperti kasus TPPO kafe khayangan, kekerasan seksual di Buton dan Cibinong.
"Atas nama LPSK serta mewakili korban, kami ucapkan terima kasih kepada pihak Kementerian dan Yayasan BUMN atas bantuan yang diberikan, kami sudah cek ke korban dan bantuannya telah diterima," kata Livia.
Ia meyakini, bantuan pendidikan yang diterima para korban tersebut sangat besar manfaatnya apalagi diberikan dalam masa pandemi Covid-19. Ia berharap, kegiatan semacam ini dapat diikuti oleh instansi lain, baik itu kementerian, pemerintah daerah, badan usaha milik pemerintah, swasta bahkan lembaga filantropi di masa mendatang.
Pemenuhan hak psikososial, kata Livia, merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Melalui rehabilitasi psikososial, LPSK berupaya meningkatkan kualitas hidup saksi dan korban, misalnya dengan bantuan untuk mendapatkan pekerjaan, atau bantuan pendidikan bagi saksi dan korban yang membutuhkan.
Bantuan rehabilitasi psikososial merupakan semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis, serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga dianggap mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Namun, lanjut Livia, pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin terjadi jika ada kerja sama antara LPSK dengan Kementerian atau lembaga terkait. Untuk itu, diperlukan dukungan banyak pihak agar hak psikososial para korban bisa terpenuhi.
Dalam mewujudkan pemenuhan hak rehabilitasi psikososial, pada semester I tahun 2020, LPSK telah melakukan sinergi dengan beberapa kementerian atau lembaga pemerintah, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PUPR, BNPT, dan beberapa kementerian untuk mengakses program bantuan yang ada dalam instansi tersebut.
Hasilnya, selain program bantuan pendidikan untuk 42 korban anak dari Kementerian BUMN, LPSK juga telah memfasilitasi pemberian bantuan paket sembako dari Kementerian Sosial untuk 75 orang korban pelanggaran HAM berat dan terorisme yang didistribusikan menjelang hari raya Idulfitri silam.