John Bolton menerbitkan buku yang mengupas aib manajerial Trump. Bikin repot Trump dan sejumlah tokoh dari negara-negara sekutu AS.
Dua buku tentang Presiden Trump masuk jajaran top-selling books di raksasa retail Amazon, Juni lalu. Buku pertama, yaitu Too Much and Never Enough: How My Family Created the World’s Most Dangerous Man yang ditulis Mary L. Trump, Ph.D, keponakan Presiden Trump. Buku yang lebih laris lagi, berjudul The Room Where it Happened karya mantan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, John Bolton.
Sebelum diterbitkan, buku Bolton sudah bikin heboh. Presiden Trump dan orang-orangnya mengecam rencana penerbitan buku itu. Bahkan Departemen Kehakiman mengajukan gugatan ke pengadilan agar buku ini dilarang terbit. Pengadilan menolak gugatan pemerintah. Buku itu terbit juga pada dua pekan lalu.
Bolton mengundurkan diri dari tim Trump pada September 2019, usai Trump mengungkapkan rencananya menggelar pertemuan damai dengan Taliban. Banyak kisah sensitif terungkap dalam buku itu. Banyak pihak tersengat. Tidak hanya di lingkungan pemerintah AS, tetapi juga di negara-negara lain.
Pemerintah Jepang ikut disebut dalam buku ini. Bolton mengisahkan, dalam kunjungan muhibahnya ke Jepang pada Juli 2019, ia membawa pesan Presiden Trump kepada pejabat senior pemerintahan Jepang. Isi pesannya: AS meminta Jepang untuk membayar US$8 miliar (Rp114,8 triliun) per tahun untuk mengongkosi pasukan AS di negara itu. Angka itu, empat kali lipat dari yang dibayarkan Jepang selama ini.
Bolton bertemu Shotaro Tachi, Penasihat Keamanan Nasional di bawah PM Shinzo Abe, untuk menjelaskan proposal itu. Jika Jepang keberatan, Trump meminta Bolton menggunakan ancaman menarik pasukan dari Jepang untuk tawar-menawar. Kisah ini dikutip Kyodo News.
Trump juga meminta Korea Selatan membayar US$5 miliar untuk alasan sama. Jepang dan Korsel merupakan sekutu lawas AS di Asia dan sama-sama direpotkan dengan Korea Utara. "Ini saat yang tepat untuk meminta uang," kata Trump dengan latar belakang peluncuran rudal oleh Korea Utara, seperti dikisahkan Bolton.
Saat ini, ada lebih dari 50.000 tentara AS di Jepang. Pada tahun fiskal 2019, Jepang mengalokasikan 197,4 miliar yen (Rp26,1 triliun) dan 199,3 miliar yen (Rp26,4 triliun) pada tahun fiskal 2020 untuk ongkos menampung tentara-tentara itu.
Sebagai respons atas publikasi buku Bolton itu, Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengatakan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam negosiasi bilateral saat ini. "Oleh karena itu, tidak benar bahwa pemerintah AS telah menuntut peningkatan pembayaran untuk pasukan AS yang ditempatkan di Jepang," ujarnya di Tokyo, Senin pekan lalu.
***
Kisah lain dalam buku Bolton menyentuh Presiden Cina, Xi Jinping. Dalam pertemuan puncak Trump dan Xi untuk menurunkan tensi perang dagang yang merepotkan dunia, Trump mengajukan permintaan tak teduga. Dalam buku itu diceritakan, "Dengan menakjubkan (Trump) mengalihkan pembicaraan ke pemilihan Presiden AS, merujuk pada kemampuan Cina untuk memengaruhi kampanye yang sedang berlangsung, memohon Xi untuk memastikan ia menang."
Bolton menulis, Trump menekan pentingnya peran petani AS dan dengan meningkatkan pembelian kacang kedelai serta gandum oleh Cina, dapat memengaruhi hasil pemilu di AS. Untuk membujuk Xi, Trump bersedia mengabaikan isu hak asasi Uighur, khususnya apa yang disebut sebagai kamp konsentrasi Xinjiang.
Trump juga memberi jalan kepada Xi untuk melupakan pembantaian di Lapangan Tiannamen. Pada peringatan 30 tahun peristiwa itu, Juni 2019, Trump diminta untuk membuat pernyataan publik. Apa jawab Trump? "Siapa yang masih peduli soal itu, saya sedang berusaha membuat kesepakatan (dengan Cina)," demikian tulis Bolton.
Presiden AS itu juga tutup mata pada upaya sistematis pemerintahan Xi untuk meluncuti peran Hong Kong sebagai pusat investasi dunia. "Saya tidak ingin terlibat," kata Trump seperti dikutip Bolton.
Negara lain yang ikut terusik oleh buku Bolton, yaitu Korsel. Kali ini terkait pertemuan puncak Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, Juni 2018 di Singapura. Menurut Bolton, mak comblang pertemuan itu adalah Korsel yang ingin mendeklarasikan selesainya Perang Korea.
KTT Singapura Juni 2018 antara Trump dan Kim diusulkan oleh Penasihat Keamanan Nasional Korea Selatan, Chung Eui-yong, saat kunjungan ke Gedung Putih pada Maret di tahun yang sama. Bolton menulis, Chung menyampaikan "undangan" Kim kepada Trump.
Chung mengakui, dirinyalah yang meminta pemimpin Korea Utara mengundang Trump. Chung mengunjungi Pyongyang pada bulan yang sama tahun 2018 dan terbang ke Washington, D.C. tak lama setelah itu. Bolton menilai, KTT itu lebih mencerminkan "agenda penyatuan pemerintah Korea Selatan" daripada kepentingan strategis asli AS.
Dalam sebuah pernyataan Senin lalu, Chung mengatakan, "Sebagian besar dari [memoar Bolton] terdistorsi" berdasarkan "sudut pandangnya sendiri".
Chung tidak menjelaskan secara terperinci bidang-bidang yang dianggap tidak tepat oleh Korsel, tetapi menyebut publikasi buku itu sebagai preseden berbahaya. "Secara sepihak menerbitkan konsultasi diplomatik yang dilakukan dengan rasa saling percaya, melanggar prinsip-prinsip dasar diplomasi, dan merusak negosiasi di masa depan," katanya.
***
Meskipun bukunya sudah terbit, bukan berarti Bolton menang di pengadilan. Dalam amar putusannya, Hakim Royce Lamberth menyatakan, "Ini pertaruhan Bolton. Jika ia benar dan buku itu tidak mengandung informasi rahasia, ia mendapatkan haknya. Jika sebaliknya, ia kehilangan keuntungan dari bukunya, ia terancam dipidana dan membahayakan keamanan nasional."
John Bolton dilaporkan menerima uang muka US$2 juta untuk bukunya plus royalti, seperti dilaporkan laman NPR.org. Namun gara-gara gugatan itu, Bolton mungkin tidak akan bisa membawa pulang uang muka itu, sebab Bolton tidak mendapat izin dari pemerintah.
Mantan pejabat keamanan nasional, seperti Bolton, diharuskan menyerahkan naskah kepada lembaga tempat mereka mengabdi sebelumnya. Lembaga itu akan memeriksa apakah ada materi yang dianggap rahasia atau tidak. Jika dianggap rahasia negara, harus dihapus.
Bolton mengirim naskahnya ke National Security Council (NSC/Dewan Keamanan Nasional) Desember tahun lalu, atau sekitar tiga bulan setelah mengundurkan diri. Pemeriksaan NSC selesai akhir April dan Bolton berharap mendapat lampu hijau. Namun rupanya NSC meluncurkan proses kajian tahap kedua dan tidak menerbitkan surat persetujuan. Meski demikian, Bolton jalan terus dengan segala risikonya.
Rosyid