Purworejo, Gatra.com - Inovasi di tingkat desa, selalu menjadi bahasan menarik. Apalagi inovasi itu melibatkan peran serta masyarakat dan bertujuan meningkatkan taraf hidup bersama. Tengok saja salah satu inovasi yang dilakukan masyarakat desa Krandegan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Desa Krandegan sendiri sejak dipimpin Kepala Desa (Kades) Dwinanto, punya berbagai inovasi. Apalagi di situasi sekarang dengan bencana wabah seperti ini. Banyak program dalam mengatasi persoalan akibat pandemi Covid-19, seperti program Pasar Bergerak, Meja Anti Lapar, Baju Lebaran Untuk Si Kecil, dan Telu Nulung Siji .
Namun, salah satu inovasi yang membuat gebrakan bagi peningkatan kesejahteraan desa ini adalah program irigasi gratis. Sejak beberapa tahun lalu, sang Kades memang berinisiatif memperkuat sistem irigasi di desanya.
Ini dipicu dari keadaan di mana lahan pertanian yang digarap warga, yang luasnya sekitar 70 hektar lebih banyak mengandalkan siraman air hujan. "Sehingga dulu, petani kalau garap sawah hanya pas musim hujan, saat kemarau tanam palawija," kata Dwinanto kepada Gatra.
Usaha untuk meningkatkan produksi lahan biasanya dilakukan warga dengan membuat sumur atau menyedot air dari sungai, namun tentu saja ini membikin biaya jadi lebih mahal. Maka agar biaya petani lebih ringan, Pemerintah Desa melakukan usaha pengadaan air irigasi memanfaat aliran sungai yang berada dekat desa itu, yaitu di Sungai Dulang dengan pompa besar untuk kemudian dialirkan ke sawah milik petani.
Untuk membiayai pengadaan pompa ini, Pemerintah desa memilih beberapa alternatif. Menurut Dwinanto, meskipun desa memiliki Dana Desa, namun dana ini tak bisa sembarangan untuk mendukung pengoperasian pompa. "Bisa saja Dana Desa untuk beli pompa, namun tidak bisa dipakai untuk beli bensin," kata alumni Fakultas Ekonomi UNS Solo ini.
Singkat cerita pengadaan pompa air itu bisa diwujudkan. Tak hanya satu pompa, Pemerintah Desa Krandegan memasang dua pompa, satu pompa dengan kekuatan 26 PK dibeli dari Program Nasional Penanganan Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan satu pompa lagi dengan kekuatan 20 PK didapat dari iuran warga. Dan ini bisa berdampak positif. "Dengan adanya pompa, petani bisa panen tiga kali setahun," ujarnya.
Namun, seiring waktu, pada tahun 2013, air untuk mengairi sawah warga digratiskan. Petani di desa Krandegan bisa cuma-cuma menggunakan air irigasi dari pompa pengadaan Pemerintah Desa. "Hitungannya, petani jika buat memakai pompa sendiri, per hektar bisa habis sekitar Rp4 juta hanya untuk BBM. Berarti ada penghematan uang petani sekitar Rp280 juta," jelas Dwinanto.
Namun para petani penikmat pengairan gratis ini juga didorong untuk terlibat memakmurkan warga, bila panennya bisa memenuhi syarat dengan berzakat.
Dana zakat dan sedekah itu harus diserahkan ke Posko Siaga Desa. Setelah itu akan didistribusikan oleh Posko kepada warga miskin yang layak dibantu. "Sedekah dan zakat yang dipergunakan untuk membantu warga yang kurang mampu, diharpkan bisa memupuk rasa kebersamaan antar warga," katanya.
Dana zakat ini juga terbukti sangat membantu bagi jaring pengaman sosial di desa Krandegan. Apalagi di musim pandemi seperti ini. Pada bulan Mei lalu, dana yang bisa dikelola Pemerintah Desa secara mandiri bisa mencapai Rp120 juta dan pada bulan Juni Rp60 juta.
Bersama program lain seperti Telu Nulung Siji, Meja Anti Lapar juga Baju Lebaran untuk si kecil, Desa Kradegan bisa membuat warganya makmur. Seperti program Telu Nulung Siji atau tiga menolong satu (3N1), ini merupakan kegiatan yang bernafaskan semangat gotong royong antar warga. Konsepnya adalah, dimana ada 3 keluarga mampu yang membantu dan menopang 1 keluarga miskin di sekitarnya.
Semua warga yang ada didata dan dipetakan menjadi tiga kelompok, yaitu merah, kuning, dan hijau. Merah adalah kelompok keluarga yang sangat miskin, yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan saja kesulitan. Kuning adalah kelompok keluarga miskin yang masih bisa memenuhi kebutuhan pangan, akan tetapi tidak bisa hidup secara layak. Adapun hijau adalah kelompok keluarga yang mampu, hidup layak, dan berpotensi membantu warga yang lainnya.
Setelah didata dan dipetakan menjadi tiga kelompok, maka didata pula apa yang menjadi kebutuhan kelompok merah dan kuning, sekaligus apa yang bisa diberikan oleh kelompok hijau dalam membantu yang membutuhkan.
Data itu kemudian direkap dan disatukan oleh tim di Posko Siaga di Kantor Desa Krandegan, untuk kemudian dilakukan eksekusi. Misal di bidang pangan, bantuan dari kelompok hijau yang berupa makanan siap saji, bisa langsung diberikan kepada kelompok merah secara terjadwal.
Sedangkan bantuan yang berupa uang dan bahan pangan, diserahkan ke dapur umum untuk kemudian dimasak, dan didistribusikan kepada warga yang membutuhkan.
Saat ini, warga Krandegan mengoperasikan dapur umum yang setiap harinya memasak dan mendistribusikan ratusan porsi makan untuk warga yang masuk kategori kelompok merah. Dari 900 KK, 212 di antaranya adalah Keluarga miskin. Dari 212 KK tersebut, ada sekitar 60 KK yang dalam kondisi kerepotan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Mereka inilah prioritas pertama yang di selamatkan. "Sumber dananya dari donasi, baik warga maupun dari luar desa. Konsepnya adalah gotong royong. Dari warga, untuk warga. Dari semua, untuk semua," jelas Dwinanto.
Upaya gotong royong dari rangsangan dana mandiri yang bertujuan kemakmuran bersama ini bisa jadi adalah sebuah upaya sosiopreneur yang nyata. Terakhir ata semua usaha yang dilakukan itu, desa ini pun ditetapkan statusnya sebagai Desa Maju.