Jakarta, Gatra.com – Ketegangan konflik di Laut Cina Selatan terus meningkat. Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) pada Jumat (26/6) mengirimkan pesawat militernya ke Selat Bashi dan Laut Cina Selatan untuk melakukan misi pengintaian terhadap kapal selam Cina.
Sebuah lembaga think thank Cina, South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSPI) mengungkap misi tersebut. Laporan terbaru SCSPI yang beroperasi di bawah Institut Penelitian Kelautan Universitas Peking menyebutkan tiga (3) unit pesawat tempur AS sempat terdeteksi terbang di atas Kanal Bashi dan Laut Cina Selatan.
Tiga pesawat tempur AS yang terbang di perairan Laut Cina Selatan yakni pesawat pengintai EP-3, pesawat antikapal selam P-8A dan pesawat pengisian bahan bakar udara KC-135. Laporan SCPI itu menguat ketika ketegangan di Laut Cina Selatan meningkat setelah Cina terus mengumbar klaim historisnya atas kepemilikan perairan sumber daya alam di wilayah itu beberapa bulan terakhir.
Januari lalu, Cina mengerahkan puluhan kapal ikan dan kapal patrolinya ke Laut Cina Selatan hingga menuai friksi dengan Malaysia dan Indonesia. Puluhan kapal ikan Tiongkok juga menerobos wilayah ZEE Malaysia dan Indonesia dalam insiden terpisah.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia telah sering menyerukan agar pihak-pihak yang terlibat ketegangan di Laut Cina Selatan untuk saling menarik diri dan menjaga stabilitas dan perdamaian. Hal itu disampaikan Retno saat dirinya menghadiri pertemuan informal ASEAN Ministerial Meeting lewat video conference, Rabu (24/6).
“Untuk situasi Laut Cina Selatan, Indonesia melihat terdapat hal penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai rivalitas antara kekuatan besar di laut Cina Selatan. Dalam hal ini Indonesia menyampaikan bahwa penting bagi ASEAN untuk terus mengirimkan pesan kepada semua pihak agar berkontribusi bagi stabilitas dan perdamaian di laut laut Cina Selatan,” kata Retno.
Di kesempatan terpisah, pengamat militer dan pertahanan Wibisono mengatakan Indonesia tidak pernah menempatkan diri sebagai negara yang turut bersengketa dalam perebutan wilayah di Laut Cina Selatan. Namun belakangan aktivitas Cina di dekat perairan Natuna kian mengkhawatirkan Jakarta.
“Indonesia meyakini bahwa hukum internasional dan UNCLOS berada di pihaknya. Norma ini menjadi sandaran Indonesia dalam menghadapi upaya pihak asing manapun yang mengusik kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Indonesia harus ambil peran penting dalam sengketa ini, karena posisi di Laut Cina Selatan persis di atas pulau Natuna,” ujar Wibisono kepada Gatra.com, Ahad (28/6).
Menurutnya agresivitas Cina dalam memperkuat klaim di wilayah perairan Laut Cina Selatan berpotensi mengancam kedaulatan. “Saya apresiasi sikap pemerintah lewat Menteri Luar Negeri Retno yang mengatakan Indonesia bukan merupakan negara claimers. Dalam hal ini tentunya negosiasi di antara negara claimers menjadi kunci. Selain itu, Indonesia juga mendorong agar negosiasi COC/Code of Conduct yang terhenti karena pandemi, juga sudah waktunya dimulai lagi karena kita meyakini bahwa COC akan berkontribusi dalam penciptaan kondusif environment di Laut Cina Selatan,” katanya.
Kondisi di Laut Cina Selatan menurutnya sudah berada dalam eskalasi ketegangan yang tinggi dimana militer AS dan Cina saling unjuk kekuatan dan memonitor kondisi perairan setiap saat. “Saya berharap pemerintah Indonesia tidak hanya mengimbau atau menyerukan perdamaian, tapi juga harus waspada dan mengerahkan kemampuannya untuk menjaga kedaulatan NKRI di sana. Proxy War antara Cina dan AS di wilayah tersebut sudah tidak sewajarnya, kita jangan sampai lengah, dan Indonesia harus berdiri di depan dengan negara negara ASEAN untuk meredakan konflik di Laut Cina selatan, karena saat ini tudingan Indonesia lebih pro Cina sangat keras di publik,” tandasnya.